
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Tanpa isyarat visual, misalnya dari ekspresi wajah atau posisi tubuh orang lain, interaksi online sepenuhnya terjadi di dalam dunia internal seseorang.
Percakapan hanya ada di dalam kepala, tidak benar-benar berwujud.
Di sinilah letak masalahnya. Dunia internal kita adalah tempat bermain kita, bukan hanya untuk apa yang ingin kita katakan, tetapi terkadang untuk hal-hal yang tidak boleh kita katakan.
Dalam percakapan "imajinatif" ini, kita sering kali lupa bahwa kita sedang bercakap-cakap dengan orang yang nyata. Filter pun runtuh. Segalanya terasa boleh diutarakan.
Faktor lainnya adalah posisi kita dalam jaringan dan bentuk jaringan itu. Dalam beberapa jaringan, misalnya desa kecil, semua orang biasanya saling terhubung erat.
Jika seseorang mengadakan pesta, Anda kemungkinan besar mengenal semua orang di dalamnya. Hal ini membuat banyak perbedaan.
Sebaliknya, media sosial menyatukan semua orang di jaringan yang sama, tetapi Anda lebih kecil kemungkinannya mengenal semua orang (atau sekadar seperempatnya saja). Jika Anda bersikap buruk, tidak ada orang yang Anda kenal akan melihatnya.
Seberapa erat sebuah jaringan saling terhubung memengaruhi bagaimana perilaku dan informasi menyebar di dalamnya.
Faktor tersebut berakibat pada kurangnya akuntabilitas dan institusi yang lemah. Anda bisa mengatakan sesuatu di media sosial dan sering kali tidak perlu menanggung konsekuensi dari perkataan tersebut. Dengan kata lain, Anda tidak mendapatkan penolakan sosial pada tingkat yang sama seperti jika Anda bersama seseorang secara langsung.
Tanpa norma sosial dan budaya yang ketat seperti di dunia nyata, semua pikiran buruk bisa diungkapkan begitu saja dari ujung jari tanpa banyak gangguan.
Lemahnya tata kelola dan institusi di media sosial juga menjelaskan mengapa banyak orang terlibat dalam perilaku main hakim sendiri. Tanpa moderasi yang memadai untuk mengatur dan menghukum para pengganggu, perilaku main hakim sendiri kerap dilegitimasi sebagai hukuman yang adil atas kesalahan pelaku (baik diduga pelaku atau pelaku sebenarnya).
Dan itu memberi makan dirinya sendiri.
Perilaku main hakim sendiri kini memiliki nuansa kepahlawanan. Jika Anda menghukum orang lain karena dianggap melanggar norma, misalnya dengan memaki atau melecehkannya secara verbal, itu membuat Anda tampak lebih bisa dipercaya oleh orang lain. Anda meyakini bahwa kemarahan Anda mengekspresikan kebaikan.
Sebagai makhluk sosial, kita menyukai itu.
Terlebih, seandainya kita berbuat baik di dunia nyata, kita mungkin meningkatkan reputasi kita hanya untuk siapa pun yang kebetulan berada di sana saat itu. Di dunia maya, reputasi kita dapat tersiar ke seluruh jaringan sosial, dan itu secara dramatis memperkuat insentif pribadi dari mengekspresikan kemarahan yang dibungkus sebagai "kebaikan".
Tentu saja kita tidak boleh mengabaikan kemungkinan penyebab toksisitas online yang berakar pada dunia nyata, misalnya masalah kesehatan mental dan kesulitan ekonomi. Jika Anda kebetulan sedang badmood, kemungkinan Anda marah-marah di media sosial lebih besar. Jika kesenjangan ekonomi semakin besar, umh, Anda lebih mungkin misuh-misuh di kolom komentar akun Instagram presiden.
Lantas, adakah sesuatu yang bisa kita lakukan?
Beberapa pengamat seperti Cristian Danescu-Niculescu-Mizil dari Cornell University percaya bahwa kita hanya belum berevolusi untuk lingkungan media sosial. Sistem sensorik dan kognitif yang telah kita kembangkan ribuan tahun sebelumnya tidak bisa (atau mungkin belum bisa) diterjemahkan dengan baik ke dunia maya, dunia yang baru kita jelajahi sekitar dua dekade lamanya.