
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Di dunia nyata, kita punya banyak petunjuk dari ekspresi wajah, bahasa tubuh, hingga nada suara; sedangkan secara daring kita sebagian besar berdikusi lewat teks.
Inilah mengapa kita kesulitan mencari cara yang tepat untuk berdiskusi dan bekerja sama di dunia maya. Suatu hari, kita mungkin akan memperkenalkan sinyal-sinyal tertentu, mungkin padanan digital dari ekspresi wajah, untuk membantu kelancaran diskusi online.
Terlepas dari itu, kita tidak harus menunggu tanpa berbuat apa-apa.
Untuk saat ini, kita bisa mengharapkan perubahan dari atas ke bawah, misalnya dengan menuntut perusahaan media sosial agar merancang ruang publik yang mendorong perilaku pro-sosial dan partisipatif, serta institusi yang menciptakan dan menegakkan format dan aturan untuk partisipasi demokratis.
Jika kita menginginkan perbaikan radikal dalam media sosial di mana kita terlibat (hampir) setiap saat, perusahaan platform tersebut harus tanpa henti mengarahkan algoritma mereka ke arah integrasi dan bukannya perpecahan, pengalaman daring bermakna alih-alih penyalahgunaan.
Sebagai contoh, mereka dapat memperkuat akuntabilitas dengan memaksa pengguna untuk mendaftarkan akun mereka dengan nama asli. Bahkan penggunaan emotikon dan avatar yang sederhana bisa membantu mengurangi toksisitas online akibat anonimitas, karena membuat orang lain tampak lebih nyata dan perasaan mereka lebih jelas.
Selain itu, untuk mengatasi rendahnya insentif hukuman atas perilaku buruk secara daring, perusahaan dapat memperkenalkan (lebih tepatnya, memperkuat) moderator konten berbasis artificial intelligence (AI). Menghapus konten berbahaya secara manual tidak lagi praktis karena volume dan keragaman bahasa konten yang luar biasa banyak.
Namun, hal itu tetap terbatas; lihatlah bagaimana konten-konten promosi judi online tetap tersebar dan sulit dihentikan oleh mesin otomatis. Dalam kasus-kasus tertentu, dan bukannya jarang, moderator AI menghukum konten yang salah berdasarkan fitur leksikal yang keliru. Para ahli masih berupaya untuk terus menyempurnakannya.
Alternatif lainnya, perusahaan mungkin dapat merancang semacam hukuman sosial. Satu satu perusahaan game, League of Legends, pernah melakukannya dengan memperkenalkan fitur "Tribunal", yang mana perilaku negatif dipidanakan oleh pemain lain.
Fitur tersebut mendorong pemain untuk memikirkan ulang konsekuensi dari tindakan mereka. Perusahaan melaporkan bahwa hampir 300 ribu pemain "berubah" dalam satu tahun, artinya setelah dihukum oleh Tribunal, mereka memperbaiki perilaku dan kemudian meraih reputasi positif dalam komunitas.
Di atas segalanya, kita juga harus memobilisasi gerakan dari bawah.
Sebagai anggota komunitas (besar maupun kecil), kita harus mengakui bahwa batasan dunia maya dan dunia nyata semakin mengabur; apa yang kita katakan dan lakukan di dunia yang satu akan memiliki konsekuensi di dunia lainnya. Tidak kalah pentingnya, selalu ingat bahwa pengguna media sosial (setidaknya sebagian besar) bukanlah bot, melainkan orang-orang biasa seperti Anda dan saya.
Apa yang Anda katakan kepada mereka memengaruhi bagaimana mereka berpikir dan merasa, demikian pula mereka kepada Anda. Ya, mereka terkadang bertindak buruk di media sosial, dan itu membuat Anda marah. Namun, ingat kembali bahwa terkadang Anda juga seperti itu, untuk alasan yang tidak jelas.
Saya tidak menyerukan kesopanan berlebihan yang berisiko membungkam diskusi penting karena kita terlalu takut menyakiti perasaan satu sama lain; ini juga bukan tentang instrumentalisasi nada bicara sebagai alat kekuasaan. Sebaliknya, ini adalah pengingat bahwa setiap orang berhak mengakses manfaat internet tanpa pelecehan dan kekerasan.
Tanggung jawab ini menuntut kita untuk proaktif mengadvokasi teknologi etis yang melindungi nilai dan integritas ruang digital kita. Sebagaimana ungkap Toni Morrison, bahasa adalah agensi dengan konsekuensi serius. Apa yang kita lakukan dengan bahasa dan bagaimana kita menggunakannya bisa jadi merupakan ukuran masyarakat kita.
Kini, lebih dari sebelumnya, kita perlu membicarakan bagaimana kita berbicara satu sama lain.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mengapa Banyak Orang Baik Berbuat Jahat di Media Sosial?"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang