Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Andi Firmansyah
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Muhammad Andi Firmansyah adalah seorang yang berprofesi sebagai Penulis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Aslinya Baik, Sedangkan di Media Sosial Kok Berbuat Jahat?

Kompas.com - 23/05/2025, 20:47 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Semakin kita jauh menjelajahi dunia internet ternyata kita menemui bahwa manusia kini mulai terdengar naif.

Kecepatan dan jangkauan komunikasi yang ditawarkannya telah memungkinkan pertukaran ide dan kerja sama lintas batas, fitur yang sama juga telah menguatkan kembali kecenderungan tribalisme dan konflik manusia - bahkan mungkin lebih buruk.

Per Maret 2023, pemerintah Indonesia mencatat hampir 1,4 juta kasus konten negatif di media sosial, meliputi ujaran kebencian, hoaks, penipuan, pencemaran nama baik, pornografi, pelanggaran hak cipta, doxing, perjudian, dan perdagangan ilegal.

Sementara itu, selama kampanye Pemilu 2024 saja, studi Monash University bersama Aliansi Jurnalis Independen Indonesia menemukan lebih dari 120 ribu cuitan ujaran kebencian.

Lebih mudah untuk mengenyahkan masalah ini dengan menuduh sebagian kecil sosiopat online, atau biasa disebut "troll", sebagai penyebab semua kerusakan tersebut.

Mereka memang terkadang mengacau: misoginis yang berpartisipasi dalam "Gamergate", sebuah kampanye pelecehan terhadap perempuan dalam industri video game, atau streamer yang memicu kegaduhan publik demi memperoleh banyak audiens.

Bagaimanapun, kenyataannya jauh lebih sederhana tetapi membingungkan: sebagian besar pelakunya adalah orang biasa, seperti Anda dan saya.

Dalam situasi yang tepat, siapa pun bisa menjadi troll. Dan tampaknya kita semua terlalu sering berada dalam situasi yang tepat. Mengapa begitu banyak orang-orang (baik) yang berbuat jahat di dunia maya?

Apakah karena platformnya?

X (Twitter) sering dianggap sebagai platform media sosial paling toxic, tetapi pola bahaya dan keterlibatan serupa juga teramati di platform lain.

Hal ini mengindikasikan bahwa dinamika toksisitas daring (online toxicity) mungkin merupakan aspek mendasar dari interaksi manusia di ruang digital, dan tidak terlalu dipengaruhi oleh desain, budaya, atau kebijakan moderasi platform tertentu.

Apakah ada sesuatu di media sosial yang membuat sebagian orang, bahkan mereka yang sangat ramah sekalipun di dunia nyata, berperilaku buruk? Ada apa dengan lingkungan media sosial yang menyebabkan lebih banyak toksisitas selama komunikasi sosial daripada yang kita temukan dalam komunikasi tatap muka?

Anonimitas merupakan faktor yang paling banyak dibahas. Kedengarannya memang masuk akal untuk mengasumsikan bahwa orang lebih berani mengeluarkan sifat terburuknya secara online ketika semua orang tidak mengenalnya. Tanyakan saja pada orang yang memiliki second account, kemudian bandingkan bagaimana mereka berperilaku di first account-nya.

Namun, betapa pun menghibur untuk berpikir bahwa di luar sana ada musuh tidak dikenal yang bertanggung jawab atas kerusakan ini. 

Wikipedia menemukan bahwa lebih dari separuh serangan pribadi terhadap editor Wikipedia dilakukan oleh para kontributor terdaftar, bukan akun anonim.

Cek kembali diskusi paling kasar yang pernah Anda temukan di media sosial, dan Anda akan mendapati betapa banyak orang yang tidak segan-segan berkomentar toxic dan melecehkan dengan identitas mereka yang sangat publik dan mudah diidentifikasi.

Faktanya tidak sedikit publik figur yang menjadi pelaku (bukan korban) pelecehan di dunia digital.

Daripada anonimitas belaka, mungkin kurangnya visibilitas dan isyarat visual lebih bertanggung jawab dengan menempatkan kita selangkah lebih jauh dari satu sama lain.

Tanpa isyarat visual, misalnya dari ekspresi wajah atau posisi tubuh orang lain, interaksi online sepenuhnya terjadi di dalam dunia internal seseorang.

Percakapan hanya ada di dalam kepala, tidak benar-benar berwujud.

Di sinilah letak masalahnya. Dunia internal kita adalah tempat bermain kita, bukan hanya untuk apa yang ingin kita katakan, tetapi terkadang untuk hal-hal yang tidak boleh kita katakan.

Dalam percakapan "imajinatif" ini, kita sering kali lupa bahwa kita sedang bercakap-cakap dengan orang yang nyata. Filter pun runtuh. Segalanya terasa boleh diutarakan.

Faktor lainnya adalah posisi kita dalam jaringan dan bentuk jaringan itu. Dalam beberapa jaringan, misalnya desa kecil, semua orang biasanya saling terhubung erat.

Jika seseorang mengadakan pesta, Anda kemungkinan besar mengenal semua orang di dalamnya. Hal ini membuat banyak perbedaan.

Sebaliknya, media sosial menyatukan semua orang di jaringan yang sama, tetapi Anda lebih kecil kemungkinannya mengenal semua orang (atau sekadar seperempatnya saja). Jika Anda bersikap buruk, tidak ada orang yang Anda kenal akan melihatnya.

Seberapa erat sebuah jaringan saling terhubung memengaruhi bagaimana perilaku dan informasi menyebar di dalamnya.

Faktor tersebut berakibat pada kurangnya akuntabilitas dan institusi yang lemah. Anda bisa mengatakan sesuatu di media sosial dan sering kali tidak perlu menanggung konsekuensi dari perkataan tersebut. Dengan kata lain, Anda tidak mendapatkan penolakan sosial pada tingkat yang sama seperti jika Anda bersama seseorang secara langsung. 

Tanpa norma sosial dan budaya yang ketat seperti di dunia nyata, semua pikiran buruk bisa diungkapkan begitu saja dari ujung jari tanpa banyak gangguan.

Lemahnya tata kelola dan institusi di media sosial juga menjelaskan mengapa banyak orang terlibat dalam perilaku main hakim sendiri. Tanpa moderasi yang memadai untuk mengatur dan menghukum para pengganggu, perilaku main hakim sendiri kerap dilegitimasi sebagai hukuman yang adil atas kesalahan pelaku (baik diduga pelaku atau pelaku sebenarnya).

Dan itu memberi makan dirinya sendiri.

Perilaku main hakim sendiri kini memiliki nuansa kepahlawanan. Jika Anda menghukum orang lain karena dianggap melanggar norma, misalnya dengan memaki atau melecehkannya secara verbal, itu membuat Anda tampak lebih bisa dipercaya oleh orang lain. Anda meyakini bahwa kemarahan Anda mengekspresikan kebaikan.

Sebagai makhluk sosial, kita menyukai itu.

Terlebih, seandainya kita berbuat baik di dunia nyata, kita mungkin meningkatkan reputasi kita hanya untuk siapa pun yang kebetulan berada di sana saat itu. Di dunia maya, reputasi kita dapat tersiar ke seluruh jaringan sosial, dan itu secara dramatis memperkuat insentif pribadi dari mengekspresikan kemarahan yang dibungkus sebagai "kebaikan".

Tentu saja kita tidak boleh mengabaikan kemungkinan penyebab toksisitas online yang berakar pada dunia nyata, misalnya masalah kesehatan mental dan kesulitan ekonomi. Jika Anda kebetulan sedang badmood, kemungkinan Anda marah-marah di media sosial lebih besar. Jika kesenjangan ekonomi semakin besar, umh, Anda lebih mungkin misuh-misuh di kolom komentar akun Instagram presiden.

Lantas, adakah sesuatu yang bisa kita lakukan?

Beberapa pengamat seperti Cristian Danescu-Niculescu-Mizil dari Cornell University percaya bahwa kita hanya belum berevolusi untuk lingkungan media sosial. Sistem sensorik dan kognitif yang telah kita kembangkan ribuan tahun sebelumnya tidak bisa (atau mungkin belum bisa) diterjemahkan dengan baik ke dunia maya, dunia yang baru kita jelajahi sekitar dua dekade lamanya.

Di dunia nyata, kita punya banyak petunjuk dari ekspresi wajah, bahasa tubuh, hingga nada suara; sedangkan secara daring kita sebagian besar berdikusi lewat teks.

Inilah mengapa kita kesulitan mencari cara yang tepat untuk berdiskusi dan bekerja sama di dunia maya. Suatu hari, kita mungkin akan memperkenalkan sinyal-sinyal tertentu, mungkin padanan digital dari ekspresi wajah, untuk membantu kelancaran diskusi online.

Terlepas dari itu, kita tidak harus menunggu tanpa berbuat apa-apa.

Untuk saat ini, kita bisa mengharapkan perubahan dari atas ke bawah, misalnya dengan menuntut perusahaan media sosial agar merancang ruang publik yang mendorong perilaku pro-sosial dan partisipatif, serta institusi yang menciptakan dan menegakkan format dan aturan untuk partisipasi demokratis.

Jika kita menginginkan perbaikan radikal dalam media sosial di mana kita terlibat (hampir) setiap saat, perusahaan platform tersebut harus tanpa henti mengarahkan algoritma mereka ke arah integrasi dan bukannya perpecahan, pengalaman daring bermakna alih-alih penyalahgunaan.

Sebagai contoh, mereka dapat memperkuat akuntabilitas dengan memaksa pengguna untuk mendaftarkan akun mereka dengan nama asli. Bahkan penggunaan emotikon dan avatar yang sederhana bisa membantu mengurangi toksisitas online akibat anonimitas, karena membuat orang lain tampak lebih nyata dan perasaan mereka lebih jelas.

Selain itu, untuk mengatasi rendahnya insentif hukuman atas perilaku buruk secara daring, perusahaan dapat memperkenalkan (lebih tepatnya, memperkuat) moderator konten berbasis artificial intelligence (AI). Menghapus konten berbahaya secara manual tidak lagi praktis karena volume dan keragaman bahasa konten yang luar biasa banyak.

Namun, hal itu tetap terbatas; lihatlah bagaimana konten-konten promosi judi online tetap tersebar dan sulit dihentikan oleh mesin otomatis. Dalam kasus-kasus tertentu, dan bukannya jarang, moderator AI menghukum konten yang salah berdasarkan fitur leksikal yang keliru. Para ahli masih berupaya untuk terus menyempurnakannya.

Alternatif lainnya, perusahaan mungkin dapat merancang semacam hukuman sosial. Satu satu perusahaan game, League of Legends, pernah melakukannya dengan memperkenalkan fitur "Tribunal", yang mana perilaku negatif dipidanakan oleh pemain lain.

Fitur tersebut mendorong pemain untuk memikirkan ulang konsekuensi dari tindakan mereka. Perusahaan melaporkan bahwa hampir 300 ribu pemain "berubah" dalam satu tahun, artinya setelah dihukum oleh Tribunal, mereka memperbaiki perilaku dan kemudian meraih reputasi positif dalam komunitas.

Di atas segalanya, kita juga harus memobilisasi gerakan dari bawah.

Sebagai anggota komunitas (besar maupun kecil), kita harus mengakui bahwa batasan dunia maya dan dunia nyata semakin mengabur; apa yang kita katakan dan lakukan di dunia yang satu akan memiliki konsekuensi di dunia lainnya. Tidak kalah pentingnya, selalu ingat bahwa pengguna media sosial (setidaknya sebagian besar) bukanlah bot, melainkan orang-orang biasa seperti Anda dan saya.

Apa yang Anda katakan kepada mereka memengaruhi bagaimana mereka berpikir dan merasa, demikian pula mereka kepada Anda. Ya, mereka terkadang bertindak buruk di media sosial, dan itu membuat Anda marah. Namun, ingat kembali bahwa terkadang Anda juga seperti itu, untuk alasan yang tidak jelas.

Saya tidak menyerukan kesopanan berlebihan yang berisiko membungkam diskusi penting karena kita terlalu takut menyakiti perasaan satu sama lain; ini juga bukan tentang instrumentalisasi nada bicara sebagai alat kekuasaan. Sebaliknya, ini adalah pengingat bahwa setiap orang berhak mengakses manfaat internet tanpa pelecehan dan kekerasan.

Tanggung jawab ini menuntut kita untuk proaktif mengadvokasi teknologi etis yang melindungi nilai dan integritas ruang digital kita. Sebagaimana ungkap Toni Morrison, bahasa adalah agensi dengan konsekuensi serius. Apa yang kita lakukan dengan bahasa dan bagaimana kita menggunakannya bisa jadi merupakan ukuran masyarakat kita.

Kini, lebih dari sebelumnya, kita perlu membicarakan bagaimana kita berbicara satu sama lain.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mengapa Banyak Orang Baik Berbuat Jahat di Media Sosial?"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau