Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nova Rio Redondo
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Nova Rio Redondo adalah seorang yang berprofesi sebagai Mahasiswa. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Perang Ego, Bisakah Kita Menghentikannya?

Kompas.com - 06/06/2025, 13:51 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Dunia rasanya seperti arang panas yang tinggal menunggu percikan untuk membakar semuanya. Di abad ke-21 yang katanya penuh dengan teknologi canggih, kecerdasan buatan, dan kesadaran global, kita justru kembali menari di tepi jurang konflik.

Tapi setelah saya renungi, ternyata bukan cuma senjata yang jadi masalah utama. Yang lebih berbahaya dan sering luput dari perhatian adalah perang ego

Perang ego bukan selalu pertengkaran dengan orang lain, tetapi sering kali juga karena konflik batin.

Ego yang Lebih Tajam dari Peluru

Saya bukan pengamat politik internasional, bukan juga jurnalis perang. Tapi sebagai manusia biasa yang mencoba mengikuti perkembangan dunia, saya merasa lelah.

Lelah membaca bagaimana setiap negara berlomba-lomba menunjukkan siapa yang lebih berkuasa. Siapa yang punya rudal lebih canggih, siapa yang punya aliansi lebih kuat, siapa yang bisa memaksakan kehendaknya lewat veto atau embargo.

Ego ini tidak hanya hidup di kepala pemimpin negara besar. Ia tumbuh subur dalam forum diplomasi, dalam ruang rapat militer, dalam sidang PBB, bahkan dalam lini masa media sosial yang seharusnya jadi ruang terbuka dialog, tapi malah berubah jadi arena caci maki.

Kita kesampingkan nuklir terlebih dahulu. Hari ini, perang tidak selalu identik dengan suara tembakan atau ledakan bom. Perang bisa terjadi lewat embargo ekonomi, serangan siber, boikot dagang, atau disinformasi yang menyusup ke media daring. Perang modern itu sunyi, canggih, dan sangat licik.

Saya membaca bagaimana data jadi senjata baru. Informasi personal dijual, opini publik dimanipulasi, dan identitas digital kita dipertaruhkan oleh pihak-pihak yang bahkan tidak kita kenal.

Saya tidak anti nasionalisme. Saya mencintai negeri saya, dan saya bangga jadi warga negara Indonesia. Tapi saya juga tahu, nasionalisme yang berlebihan bisa berubah jadi racun. Apalagi jika digunakan untuk membenarkan kekerasan, menutup ruang diskusi, atau memandang rendah negara lain.

Lihat saja bagaimana nasionalisme sering dijadikan alasan untuk menutup perbatasan, memperkuat militer, atau menolak kerja sama global. Bahkan, di tengah krisis kemanusiaan, masih ada negara yang memilih kepentingan sendiri ketimbang membantu sesama. 

Ketika Rakyat Jadi Tumbal Ambisi

Yang paling menyedihkan dari semua ini adalah: rakyat biasa selalu jadi korban. Anak-anak yang kehilangan orang tua, ibu yang menangisi anaknya yang terbunuh, keluarga yang harus mengungsi tanpa tahu akan tinggal di mana. Saya tidak bisa membayangkan jika itu terjadi pada diri saya sendiri.

Setiap pemimpin dunia mungkin punya alasan masing-masing untuk berkonflik. Tapi yang harus diingat: bom yang dijatuhkan, peluru yang ditembakkan, dan blokade yang diberlakukan---semuanya tidak menghantam ego lawan mereka. Justru rakyat biasa yang menanggungnya.

When elephants fight, it is the grass that suffers.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Selain 'Ramah', Apa yang Dibutuhkan Siswa Baru saat MPLS?
Selain "Ramah", Apa yang Dibutuhkan Siswa Baru saat MPLS?
Kata Netizen
Kalau Sudah 'Uang Kita', Apakah Suami akan Malas Bekerja?
Kalau Sudah "Uang Kita", Apakah Suami akan Malas Bekerja?
Kata Netizen
Tahun Ajaran Baru Serba Baru, Memangnya Perlu?
Tahun Ajaran Baru Serba Baru, Memangnya Perlu?
Kata Netizen
Drama-drama yang Terjadi Hari Pertama Masuk Sekolah
Drama-drama yang Terjadi Hari Pertama Masuk Sekolah
Kata Netizen
Tentang Anggaran pada Awal Tahun Ajaran Sekolah
Tentang Anggaran pada Awal Tahun Ajaran Sekolah
Kata Netizen
Terbiasa Hidup Berdampingan dengan Sampah, Bisa?
Terbiasa Hidup Berdampingan dengan Sampah, Bisa?
Kata Netizen
Melihat dengan Jelas Paradoks 'Needing Nothing Attracts Everything'
Melihat dengan Jelas Paradoks "Needing Nothing Attracts Everything"
Kata Netizen
Musim Bediding, Tradisi, dan Orang Toraja
Musim Bediding, Tradisi, dan Orang Toraja
Kata Netizen
'Kangkung Cabut', Kangkung yang Bisa Dipanen Berkali-kali
"Kangkung Cabut", Kangkung yang Bisa Dipanen Berkali-kali
Kata Netizen
Liburan Sekolah Sambil Belajar, Memangnya Bisa?
Liburan Sekolah Sambil Belajar, Memangnya Bisa?
Kata Netizen
Menyiapkan Diri untuk Jadi Pasangan (yang) Sempurna
Menyiapkan Diri untuk Jadi Pasangan (yang) Sempurna
Kata Netizen
Apa yang Bikin Punya Rumah Pakai KPR Sulit?
Apa yang Bikin Punya Rumah Pakai KPR Sulit?
Kata Netizen
Apakah Kemampuan Menulis Tangan Berguna di Masa Depan?
Apakah Kemampuan Menulis Tangan Berguna di Masa Depan?
Kata Netizen
Ini Cara Deteksi Barang KW di Marketplace
Ini Cara Deteksi Barang KW di Marketplace
Kata Netizen
Cerita Orangtua yang Anaknya Latihan Main 'Push Bike'
Cerita Orangtua yang Anaknya Latihan Main "Push Bike"
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau