
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dunia rasanya seperti arang panas yang tinggal menunggu percikan untuk membakar semuanya. Di abad ke-21 yang katanya penuh dengan teknologi canggih, kecerdasan buatan, dan kesadaran global, kita justru kembali menari di tepi jurang konflik.
Tapi setelah saya renungi, ternyata bukan cuma senjata yang jadi masalah utama. Yang lebih berbahaya dan sering luput dari perhatian adalah perang ego.
Perang ego bukan selalu pertengkaran dengan orang lain, tetapi sering kali juga karena konflik batin.
Ego yang Lebih Tajam dari Peluru
Saya bukan pengamat politik internasional, bukan juga jurnalis perang. Tapi sebagai manusia biasa yang mencoba mengikuti perkembangan dunia, saya merasa lelah.
Lelah membaca bagaimana setiap negara berlomba-lomba menunjukkan siapa yang lebih berkuasa. Siapa yang punya rudal lebih canggih, siapa yang punya aliansi lebih kuat, siapa yang bisa memaksakan kehendaknya lewat veto atau embargo.
Ego ini tidak hanya hidup di kepala pemimpin negara besar. Ia tumbuh subur dalam forum diplomasi, dalam ruang rapat militer, dalam sidang PBB, bahkan dalam lini masa media sosial yang seharusnya jadi ruang terbuka dialog, tapi malah berubah jadi arena caci maki.
Kita kesampingkan nuklir terlebih dahulu. Hari ini, perang tidak selalu identik dengan suara tembakan atau ledakan bom. Perang bisa terjadi lewat embargo ekonomi, serangan siber, boikot dagang, atau disinformasi yang menyusup ke media daring. Perang modern itu sunyi, canggih, dan sangat licik.
Saya membaca bagaimana data jadi senjata baru. Informasi personal dijual, opini publik dimanipulasi, dan identitas digital kita dipertaruhkan oleh pihak-pihak yang bahkan tidak kita kenal.
Saya tidak anti nasionalisme. Saya mencintai negeri saya, dan saya bangga jadi warga negara Indonesia. Tapi saya juga tahu, nasionalisme yang berlebihan bisa berubah jadi racun. Apalagi jika digunakan untuk membenarkan kekerasan, menutup ruang diskusi, atau memandang rendah negara lain.
Lihat saja bagaimana nasionalisme sering dijadikan alasan untuk menutup perbatasan, memperkuat militer, atau menolak kerja sama global. Bahkan, di tengah krisis kemanusiaan, masih ada negara yang memilih kepentingan sendiri ketimbang membantu sesama.
Ketika Rakyat Jadi Tumbal Ambisi
Yang paling menyedihkan dari semua ini adalah: rakyat biasa selalu jadi korban. Anak-anak yang kehilangan orang tua, ibu yang menangisi anaknya yang terbunuh, keluarga yang harus mengungsi tanpa tahu akan tinggal di mana. Saya tidak bisa membayangkan jika itu terjadi pada diri saya sendiri.
Setiap pemimpin dunia mungkin punya alasan masing-masing untuk berkonflik. Tapi yang harus diingat: bom yang dijatuhkan, peluru yang ditembakkan, dan blokade yang diberlakukan---semuanya tidak menghantam ego lawan mereka. Justru rakyat biasa yang menanggungnya.
When elephants fight, it is the grass that suffers.
Di sisi lain, media pun sering kali memperkeruh suasana. Judul-judul bombastis, narasi satu sisi, dan penyebaran video kekerasan tanpa konteks semakin memperbesar bara konflik.
Di tengah hiruk-pikuk ini, publik pun ikut-ikutan perang, entah di kolom komentar, grup WhatsApp, atau cuitan yang penuh amarah.
Saya sendiri pernah terjebak. Ikut marah, ikut menyalahkan, ikut merasa "paling benar". Tapi setelah saya tarik napas panjang dan mencoba melihat lebih jernih, saya sadar bahwa kita semua sedang dikendalikan ego kolektif.
Ego yang bilang, "pihak kita pasti paling benar". Ego yang menolak untuk mendengar sisi lain. Ego yang tidak ingin berdamai karena takut dianggap lemah.
Senjata Nuklir dan Ego
Saya selalu merinding setiap kali membaca berita tentang negara-negara yang berlomba mengembangkan senjata nuklir.
Rusia, Amerika, Tiongkok, Korea Utara, bahkan negara-negara lain yang diam-diam mulai ikut serta dalam permainan berbahaya ini seperti India dan Pakistan juga sangat menegangkan.
Banyak yang mengatakan bahwa senjata nuklir adalah alat "penangkal". Bahwa keberadaan nuklir justru mencegah perang karena semua pihak takut akan kehancuran bersama. Tapi di balik narasi "deterrence" itu, saya melihat ego.
Ego yang membuat pemimpin dunia ingin punya tombol merah di mejanya. Ego yang ingin menunjukkan bahwa mereka bisa "menghapus kota dari peta" jika mereka mau. Ego yang membuat senjata pemusnah massal dijadikan simbol kebanggaan, bukan keprihatinan.
Kita tahu sejarah. Hiroshima dan Nagasaki bukan sekadar dua nama kota. Mereka adalah luka yang seharusnya membuat dunia belajar. Tapi mengapa kita justru kembali berlomba membuat senjata serupa?
Ketika ego lebih besar daripada akal sehat, tombol itu bisa saja ditekan. Maka habislah kita semua tanpa sempat meminta maaf.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Bukan Cuma Perang Senjata, Dunia Juga Sedang Perang Ego"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang