Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Bayangkan jika ada seorang lulusan universitas ternama dengan pengalaman kerja tiga tahun di perusahaan multinasional kini justru mengalami tantangan: dirinya tidak diterima di sebuah perusahaan lokal yang sedang ekspansi besar-besaran.
Padahal, jika dilihat secara klasifikasi CV-nya rapi, portofolio lengkap, hingga mampu menjawab beragam pertanyaan ketika wawancara.
Hal-hal semacam ini pada akhirnya umum kita temui dan tantangan yang dialami HRD.
Proses rekrutmen yang seharusnya berbasis kompetensi sering kali dibelokkan oleh selera personal atasan.
Kandidat terbaik bisa tersingkir hanya karena "kurang sreg" atau tidak masuk radar like & dislike atasan.
Ironisnya, di saat perusahaan kesulitan mempertahankan karyawan dan turnover kian tinggi, solusi yang diambil justru menambah beban kerja karyawan lama sambil tetap pasang syarat selangit untuk pelamar baru dengan gaji yang nyaris tak naik dari angka UMR.
Bukan karena tak ada kandidat yang kompeten, tapi karena proses rekrutmen yang terlalu subyektif, dan gaji yang tidak kompetitif.
Rekrutmen yang Tersandera Like & Dislike
Dalam praktik ideal, rekrutmen semestinya dijalankan dengan pendekatan objektif: berdasarkan kompetensi, pengalaman, dan kecocokan nilai antara kandidat dan budaya perusahaan. Namun, yang terjadi di banyak organisasi justru sebaliknya.
Keputusan akhir sering kali bukan berada di tangan HRD, melainkan diserahkan pada preferensi subjektif pimpinan. Tak jarang, pemilihan kandidat berubah menjadi ajang “siapa yang paling cocok di mata bos”, alih-alih “siapa yang paling layak mengisi posisi.”
Kandidat dengan kemampuan unggul bisa tersingkir hanya karena dianggap “terlalu vokal”, “terlalu berani”, atau sekadar tidak klik secara personal.
Padahal, justru karakter seperti itu yang sering dibutuhkan untuk mendorong inovasi. Namun semua terhenti ketika standar yang digunakan adalah rasa, bukan data.
Akibatnya, HRD kehilangan perannya sebagai mitra strategis dalam pengembangan sumber daya manusia.
Mereka hanya berfungsi sebagai penyaring awal administratif, sementara keputusan penting ditentukan oleh pihak yang tidak selalu memahami kebutuhan jangka panjang tim.
Ketika proses seleksi hanya menjadi formalitas untuk memenuhi prosedur, jangan heran jika hasil akhirnya jauh dari harapan, baik bagi pelamar, HRD, maupun perusahaan itu sendiri.