
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Salah satu masalah utama yang sering luput dari perhatian adalah sistem bunga mengambang (floating rate) yang diberlakukan setelah masa promo bunga tetap (biasanya 1--3 tahun). Saat suku bunga acuan naik, cicilan bisa ikut melonjak drastis.
Misalnya, cicilan yang tadinya Rp3 juta per bulan bisa naik menjadi Rp4 juta lebih, tergantung fluktuasi pasar. Bagi yang tidak punya buffer dana, lonjakan ini bisa mengganggu cash flow bulanan.
Selain itu, ada berbagai biaya tersembunyi yang muncul seiring waktu. Misalnya, asuransi jiwa dan properti wajib, biaya pemeliharaan rumah, pajak bumi dan bangunan (PBB), serta biaya administrasi bank tahunan.
Ada juga penalti jika ingin melunasi KPR lebih cepat dari tenor yang disepakati. Semua ini bisa menambah tekanan finansial di luar cicilan pokok dan bunga.
Mereka yang awalnya merasa ringan, mulai merasa terhimpit karena penghasilan tidak naik secepat kebutuhan.
Beban psikologis pun ikut muncul, apalagi jika ada kebutuhan mendesak lain seperti biaya pendidikan anak atau pengeluaran darurat.
Maka penting sekali untuk masuk ke dunia KPR bukan hanya dengan semangat memiliki rumah, tapi juga dengan kesiapan menghadapi konsekuensi jangka panjang. KPR bukan maraton singkat, tapi komitmen finansial yang perlu stamina, strategi, dan antisipasi matang.
Ketika Rumah Menjadi Beban Finansial
Banyak yang beranggapan bahwa rumah adalah investasi terbaik. Tetapi pada kenyataannya, tidak semua rumah mengalami kenaikan nilai signifikan.
Jika rumah dibeli di lokasi yang belum berkembang, atau dengan akses terbatas. Dalam kondisi seperti ini, rumah bisa jadi aset yang stagnan, bahkan menurun nilainya, sementara cicilannya tetap berjalan.
Lebih dari itu, rumah bisa berubah menjadi liabilitas ketika biaya pemeliharaan, pajak, dan cicilan terus membebani keuangan tanpa menghasilkan nilai tambah.
Berbeda dengan aset lain yang bisa dijual atau dicairkan dengan cepat, menjual rumah memerlukan waktu dan strategi. Jika kondisi pasar sedang lesu, rumah bisa sulit dijual atau malah merugi.
Kondisi keuangan yang tidak stabil bisa memperparah situasi. Misalnya, ketika seseorang kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan pendapatan, cicilan rumah tetap harus dibayar.
Keterlambatan pembayaran bisa berujung pada kredit macet, bahkan penyitaan oleh bank. Dalam situasi ini, rumah impian berubah menjadi sumber stres dan tekanan mental.
Selain itu, ada dampak relasional yang kerap luput dari perhitungan. Pasangan yang awalnya semangat mencicil rumah bisa terjebak dalam konflik rumah tangga karena beban keuangan yang terlalu besar.
Rumah yang seharusnya jadi tempat beristirahat justru menambah beban pikiran setiap bulan.
Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa rumah tidak selalu berarti aset otomatis. Jika diambil tanpa perencanaan, rumah bisa menjadi jeratan finansial yang panjang.
Impian memiliki rumah hanya akan indah jika dibarengi dengan kesiapan mental dan finansial untuk menjalaninya.
Cara Cerdas Mengelola KPR
Sebelum memutuskan mengambil KPR, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Apakah benar-benar butuh rumah sekarang, atau hanya terdorong karena gengsi, tekanan sosial, atau sekadar ingin terlihat mapan? Ini penting, karena keputusan mengambil KPR akan memengaruhi kondisi keuangan selama bertahun-tahun.
Langkah berikutnya adalah menghitung kemampuan membayar cicilan dengan realistis. Idealnya, cicilan tidak melebihi 30--35 persen dari penghasilan bulanan.
Simulasi cicilan juga harus memasukkan skenario terburuk---misalnya jika suku bunga naik atau ada pengeluaran mendadak. Banyak yang terjebak karena hanya menghitung dengan asumsi terbaik.
Dana darurat adalah syarat wajib sebelum mengambil KPR. Idealnya, seseorang memiliki tabungan yang cukup untuk menutup cicilan dan kebutuhan hidup minimal enam bulan ke depan.
Ini penting sebagai jaring pengaman jika ada hal tak terduga, seperti kehilangan pekerjaan atau kebutuhan medis.