Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akbar Pitopang
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Akbar Pitopang adalah seorang yang berprofesi sebagai Guru. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Tahun Ajaran Baru Serba Baru, Memangnya Perlu?

Kompas.com - 17/07/2025, 13:15 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Hari itu merupakan hari pertama masuk sekolah. Ada semangat baru yang menggebu dari tiap siswa. 

Sekolah kembali ramai. Siswa baru masuk pada momen pekan perkenalan alias MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah). Ini merupakan momen yang mana guru, teman baru, dan rutinitas yang berbeda dari jenjang sebelumnya.

Akan tetapi, perlukah semua perlengkapan sekolah baru? Tas baru, sepatu baru, seragam baru, hingga alat tulis baru dengan desain kekinian.

Seolah menjadi tradisi bahwa hari pertama sekolah kerap identik dengan yang baru-baru. Bahkan, ada anak yang malu jika perlengkapan sekolahnya adalah 'warisan' atau sudah usang.

Pertanyaannya, apakah setiap Tahun Ajaran Baru memang harus serba baru? Apakah nilai anak akan berkurang jika tas dan sepatunya adalah peninggalan dari sang kakak?

Nah, sebagian besar orangtua saat ini sedang menghadapi tantangan ekonomi pasca pandemi, inflasi, dan kebutuhan hidup yang terus meningkat dan harga-harga yang kian melambung. 

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa pengeluaran pendidikan menjadi salah satu beban utama rumah tangga yang terkena inflasi.

Inflasi kelompok pendidikan tercatat terjadi di setiap Juli dan Agustus dalam lima tahun terakhir. Itu bertepatan dengan tahun ajaran baru.

Ini seharusnya menjadi perhatian bahwa ekspektasi berlebihan terhadap "yang baru" bisa menambah beban ekonomi keluarga. terutama mereka yang berpenghasilan pas-pasan. Maka, bijaklah dalam membelanjakan uang.

Inilah saat yang tepat untuk melakukan edukasi bukan hanya kepada anak-anak tetapi juga kepada orangtua. bahwa makna kembali ke sekolah tidak terletak pada barang-barang baru.

Namun, hal utama dari masuk sekolah adalah semangat belajar yang menyala. Semangat untuk menyerap ilmu, membangun karakter, dan berproses menjadi pribadi yang tangguh.

Mendidik anak untuk tidak memaksakan harus memiliki perlengkapan baru adalah bentuk pendidikan karakter sejak dini. Ini tentang mengajarkan nilai bersyukur dan bijak dalam menyikapi situasi. 

Apa yang Bisa Dilakukan Orangtua?

Orangtua harus percaya bahwa anak tidak akan kehilangan semangat hanya karena menggunakan tas atau sepatu lama. Bahkan, justru ini bisa menjadi momen pembelajaran moral yang luar biasa.

Bayangkan anak yang sejak kecil sudah terbiasa berpikir bahwa semua hal bisa didapat dengan mudah. Maka di kemudian hari saat kenyataan tak sesuai harapan, ia bisa frustasi.

Sebaliknya, anak yang tumbuh dengan kesadaran bahwa hidup tak selalu mulus maka akan memiliki daya tahan dan empati yang tinggi.

Orangtua juga bisa menggunakan momentum awal masuk sekolah sebagai sarana diskusi ringan tentang kondisi keuangan keluarga.

Ajak anak berdiskusi. misalnya, "kalau uangnya hanya cukup untuk satu barang saja, kamu pilih yang mana yang paling dibutuhkan?"

Hal sederhana ini bisa melatih anak untuk menentukan prioritas dan berpikir kritis sejak dini.

Tidak ada salahnya juga membuat kesepakatan keluarga. Misalnya, anak boleh mendapatkan barang baru jika mencapai prestasi tertentu. Dengan begitu, anak belajar tentang usaha, doa dan hasil.

Anak yang terbiasa mendapat hadiah atas jerih payah akan tumbuh menjadi pribadi yang menghargai proses.

Sebaliknya, anak yang selalu mendapatkan sesuatu tanpa perjuangan maka rentan tumbuh menjadi pribadi yang mudah menyerah dan tak tahan banting.

Dalam pendidikan, nilai tertinggi bukan pada rapor tapi pada karakter. Dan karakter dibangun sejak dini melalui kebiasaan-kebiasaan kecil yang konsisten dalam lingkup keluarga. 

Barang Baru Tak Pengaruhi Nilai Guru

Sebagai guru pun punya peran penting. Bukan hanya MPLS yang harus menjadi perhatian. tapi juga bagaimana membangun komunikasi positif dengan orangtua.

Guru bisa menyampaikan secara terbuka bahwa tidak ada keharusan untuk membeli perlengkapan baru. Fungsi adalah yang utama, bukan penampilan.

Bahkan untuk buku tulis. jika yang lama masih banyak lembar kosong dan layak maka kenapa harus dibuang dan membeli yang baru? Hemat dan bijak itu keren!

Saya sendiri sebagai guru selalu menyampaikan kepada wali murid melalui grup WhatsApp bahwa buku tahun lalu boleh digunakan kembali jika masih bisa dimanfaatkan.

Dan saya melihat anak-anak sudah mulai tidak mempermasalahkan itu. Pasti mereka merasa bangga ketika tahu bahwa dengan tidak membeli buku baru maka mereka bisa membantu orangtuanya.

Momen ini bisa dimanfaatkan untuk memperkenalkan konsep hidup sederhana tapi bermakna sejalan dengan konsep Mindfull Learning dan Meaningful Learning dalam pendekatan Deep Learning. Siswa zaman sekarang harus diajarkan makna dari rasa syukur yang dimiliki.

Guru atau sekolah juga bisa berinisiatif membuat gerakan atau sebuah kampanye untuk mendukung gaya hidup hemat dan berkelanjutan.

Ini juga sejalan dengan kampanye ramah lingkungan. Menggunakan ulang barang yang masih layak pakai adalah bagian dari upaya mengurangi sampah dan emisi karbon.

Tahukah Anda? Menurut laporan acs.org, setiap tahun ada jutaan ton sampah tekstil yang dibuang ke lingkungan. termasuk dari seragam dan sepatu sekolah.

Maka, keputusan untuk memakai kembali barang lama bukan hanya keputusan ekonomi. tetapi juga keputusan ekologis yang mulia.

Orangtua yang ingin berdonasi atau berbagi perlengkapan sekolah bisa juga menyalurkan kepada anak-anak yang tidak mampu bisa. Dari situlah tumbuh semangat solidaritas, empati, dan kebersamaan. Bahwa sekolah bukan tempat ajang pamer barang tapi ruang bertumbuh bersama.

Guru juga perlu menyampaikan bahwa nilai siswa tidak diukur dari mahalnya sepatu atau buku tulis yang semua baru. Melainkan dari sikap dan semangat belajar para siswa. 

Bangunlah Pendidikan Karakter yang Mindful

Yuk, jadikan Tahun Ajaran Baru ini bukan ajang belanja besar-besaran. tapi ajang menata niat dan semangat baru.

Sampaikan pada anak-anak bahwa belajar itu butuh hati yang tulus. bukan tergantung perlengkapan yang mewah dan mulus.

Penting bagi kita semua ---guru, orangtua, bahkan siswa--- untuk mulai mengubah cara pandang terhadap simbol-simbol kesuksesan. Bahwa sukses itu bukan soal tampil wah tapi soal bisa bertahan dalam keterbatasan dan tetap bisa berbagi.

Ajarkan anak untuk mencintai barang yang mereka miliki, merawatnya, dan tidak mudah tergoda dengan tren konsumtif ala FOMO atau YOLO. Karena yang baik itu YONO (you only need one). 

Anak yang memiliki kesadaran ini akan tumbuh menjadi pribadi yang bijak, tidak mudah iri dengan teman-temannya, dan tahu diri dalam berbagai situasi.

Kalau dalam pepatah Minangkabau, dikenal dengan anak-anak yang "Tau jo untuang" atau sadar diri dan mawas diri.

Ketika anak mampu memahami kondisi keuangan orangtua tanpa banyak menuntut maka itu adalah tanda kecerdasan emosional yang luar biasa.

Mari kita bangun generasi yang tangguh bukan karena barang barunya. tapi karena karakternya yang luar biasa.

Mari bentuk anak-anak kita menjadi pribadi yang memahami arti cukup, tidak berlebih-lebihan, tidak mubazir, bersyukur atas yang dimiliki, dan tahu kapan harus berjuang untuk mendapatkan sesuatu.

Kita tak ingin anak-anak kita tumbuh menjadi "budak konsumerisme". Sebaiknya jadi anak-anak tangguh yang siap menghadapi dunia nyata.

Tahun Ajaran Baru bukan sekadar soal ganti seragam dan beli perlengkapan sekolah yang baru. Tapi soal ganti semangat dan cara berpikir yang lebih bijak dan terbuka.

Sekolah adalah tempat tumbuh, bukan ajang kompetisi sosial, pansos ataupun flexing. Yang penting bukan apa yang kamu pakai, tapi siapa dirimu yang sebenarnya.

Teruslah mengedukasi anak-anak kita dan mulai dari hal kecil. Gunakan barang lama yang masih bisa dipakai dan banggalah karena itu semua. Sebab sesungguhnya yang baru itu bukan tas, sepatu, atau seragam.

Nah, yang baru adalah semangat, niat, dan cara pandang yang lebih bijak menuju masa depan. Insya Allah.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Masuk Sekolah (Tak) Harus Serba Baru"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau