
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Menurut teori Behavioral Finance, keputusan keuangan tidak hanya rasional tetapi juga dipengaruhi oleh faktor psikologis seperti guilt (rasa bersalah), social norm (norma sosial), dan emotional spending.
Ini terutama berlaku di budaya kolektif seperti Indonesia, di mana membalas budi kepada orang tua adalah nilai utama.
Agak miris, saat orang tua butuh biaya berobat dan kita bilang, "Maaf ya, budget bulan ini sudah habis."
Hati siapa yang kuat? Akhirnya, seberapa pun pendapatan suami atau istri, sering kali tetap "bocor" untuk menambal kebutuhan keluarga besar, meskipun itu di luar rencana awal.
Apakah ini salah? Tidak selalu. Yang bermasalah adalah jika tidak ada komunikasi dan kesepakatan yang jujur antara pasangan.
Banyak pasangan akhirnya memilih diam, tapi dalam hati memendam kesal, merasa pasangannya terlalu pelit, terlalu boros, atau tidak paham pengorbanan masing-masing.
Nah, jika dibiarkan, ini bisa memicu konflik serius yang lebih besar dari sekadar urusan uang.
Bagaimana Solusi yang Realistis untuk Keluarga Sandwich?
Berikut beberapa tips praktis agar urusan uang di keluarga sandwich lebih sehat, tanpa menghilangkan rasa gotong royong.
1. Akui Realita, Ini Memang Kondisi Khusus
Keluarga sandwich adalah kondisi intergenerational financial dependency, yaitu ketika satu generasi terhimpit karena harus menopang dua generasi sekaligus, yaitu anak-anak dan orang tua.
Dalam teori ekonomi keluarga, kondisi ini sering disebut sebagai "triple burden" di mana keluarga memenuhi kebutuhan diri sendiri, generasi di bawah (anak), dan generasi di atas (orang tua atau mertua).
Di situasi seperti ini, pembahasan soal uang suami dan uang istri seringkali menjadi tidak relevan jika dihadapkan dengan kebutuhan real di lapangan.
Mau pakai prinsip "uang istri ya uang istri," atau "uang suami wajib buat keluarga," seringkali tetap mentok di fakta bahwa pengeluaran lebih besar dari pemasukan.
Alih-alih mempertahankan standar ideal ala media sosial tentang pembagian uang suami-istri, yang lebih penting bagi keluarga sandwich adalah berjuang agar tetap bertahan hidup bersama-sama.
Bukan soal siapa pegang uang siapa, tapi bagaimana mengelola sumber daya yang ada agar semua anggota keluarga bisa makan, sehat, dan tetap berjalan.
Dalam konteks ini, pasangan harus punya mindset kolaboratif, bukan kompetitif. Karena realitanya, uangnya memang sudah tercampur sejak awal karena kehidupan keluarga sandwich memang begitu adanya.
2. Buat Anggaran Jelas, Jangan Asal Campur
Walaupun pada akhirnya uang dalam keluarga sandwich sering bercampur, bukan berarti pengelolaannya bisa asal-asalan.
Tetap perlu dibuat anggaran terpisah yang jelas, baik di atas kertas, di aplikasi keuangan, atau di spreadsheet sederhana.
Minimal, pasangan harus tahu secara transparan, berapa yang dialokasikan untuk kebutuhan anak dan rumah tangga, berapa yang rutin dikirim untuk orang tua atau mertua, dan berapa yang harus masuk tabungan darurat.
Konsep ini sejalan dengan Teori Penganggaran Keluarga (Household Budgeting Theory) yang menekankan pentingnya alokasi pos keuangan secara proporsional agar kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang tetap terpenuhi.
Dalam konteks keluarga sandwich, setidaknya perlu tiga pos utama:
Dengan cara ini, kita tetap tahu uang larinya ke mana. Jadi tidak ada drama "kok aku ngerasa gajiku hilang aja ya?"
3. Jangan Malu Ngobrol Tentang Batasan
Bantu orang tua itu penting, tapi jangan sampai lupa menyiapkan masa depan anak-anak dan diri sendiri. Jika semua penghasilan hanya habis untuk hari ini, bagaimana dengan hari esok?