Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mutia Ramadhani
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Mutia Ramadhani adalah seorang yang berprofesi sebagai Freelancer. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Antara Uang Suami-Istri, Terselip Hidup Keluarga Sandwich

Kompas.com - 21/07/2025, 17:39 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Selain "uang suami itu uang istri dan uang istri ya tetap uang istri", ada juga versi yang lebih moderat, "uang suami ya uang suami, uang istri ya uang istri, tapi ada juga uang kita bersama untuk kebutuhan keluarga."

Diskusi yang kerap kita temui di media tentang ini sering mengundang perdebatan panjang. Ada yang militan membela sistem "uang istri, uang istri saja." Ada juga yang menganut paham "semua harus transparan, harus satu pintu."

Namun, ada satu realitas yang sering luput dari perbincangan. Bagaimana kalau kita hidup sebagai bagian dari sandwich generation? 

Apa Itu Sandwich Generation?

Bayangkan sepotong sandwich. Di bagian bawah ada roti, di tengah ada isi, di atas ada roti lagi. Nah, generasi sandwich adalah mereka yang "terhimpit" di tengah-tengah,  harus menanggung kehidupan anak-anak sekaligus membantu orang tua yang sudah lanjut usia.

Jika hidup seperti sandwich, pengelolaan uang dalam rumah tangga jelas berbeda dengan pasangan yang hanya mengurus diri sendiri dan anak. Ada "lapisan" tambahan yang harus dibiayai, dan lapisan itu seringkali tidak kecil. 

Realita Keluarga Sandwich: Duitnya Nggak Pernah Cukup-Cukup

Mari jujur. Di keluarga sandwich, uang suami dan uang istri itu seringkali udah ludes sebelum sempat dipisah-pisah secara ideal.

Bayar sekolah anak, biaya hidup sehari-hari, cicilan rumah, plus kiriman bulanan untuk orang tua yang sudah pensiun atau sakit.

Misalnya begini:

  • Gaji suami: Rp 7 juta
  • Gaji istri: Rp 5 juta
  • Kebutuhan bulanan keluarga inti: Rp 10 juta
  • Kebutuhan orang tua di kampung: Rp 2 juta

Hasilnya? Uang yang "harusnya" bisa dipisah dengan elegan ala teori finansial, akhirnya tercampur begitu saja demi bertahan hidup.

Ibaratnya, mau bikin dua kolam terpisah, tapi airnya udah keburu ngalir semua ke satu wadah.

Pertanyaan berikutnya, kenapa uang suami-istri di keluarga sandwich sering nggak bisa pisah-pisah? 

1. Karena Kebutuhan Melampaui Pemasukan

Keluarga sandwich sering hidup dalam kondisi "cukup tapi mepet." Dalam teori personal finance, ini masuk kategori cashflow deficit, yaitu pengeluaran rutin lebih besar atau nyaris sama dengan pemasukan. 

Kalau diukur dengan rumus sederhana: Cashflow = Pemasukan - Pengeluaran

Maka di keluarga sandwich, hasilnya sering mendekati nol atau bahkan minus.

Mau pisah-pisah uang secara ideal? Bisa saja di atas kertas. Tapi kenyataannya, selalu ada pengeluaran tak terduga, seperti orang tua sakit, harus kirim uang ke kampung, atau adik butuh bantuan biaya sekolah.

Akhirnya, uang pribadi suami atau istri pun ikut dipakai untuk menambal kebutuhan keluarga besar. Mau tak mau, uang "aku dan kamu" jadi "kita semua." 

2. Karena Budaya Kita Memang Kolektif

Indonesia adalah masyarakat kolektif, berbeda dengan negara-negara Barat yang individualistik. Kita tumbuh dengan nilai gotong royong, urunan, dan membalas budi pada orang tua.

Menurut teori budaya Hofstede, skor Collectivism Indonesia tergolong tinggi, sehingga konsep "uangku dan uangmu" terasa terlalu kaku. Di budaya kita, membantu orang tua dianggap kewajiban moral, bukan sekadar pilihan finansial.

Itulah sebabnya, dalam keluarga sandwich, uang suami dan istri sering tercampur demi memenuhi kebutuhan yang lebih besar dari sekadar rumah tangga inti. 

3. Karena Ada Beban Moral yang Tak Terucap

Ada rasa bersalah yang mengintai saat kita terlalu perhitungan dengan orang tua atau mertua.

Meskipun teori keuangan rumah tangga menganjurkan adanya batasan yang jelas (financial boundary) antara kebutuhan keluarga inti dan keluarga besar, kenyataannya di lapangan, emosi dan nilai budaya ikut bermain.

Menurut teori Behavioral Finance, keputusan keuangan tidak hanya rasional tetapi juga dipengaruhi oleh faktor psikologis seperti guilt (rasa bersalah), social norm (norma sosial), dan emotional spending.

Ini terutama berlaku di budaya kolektif seperti Indonesia, di mana membalas budi kepada orang tua adalah nilai utama.

Agak miris, saat orang tua butuh biaya berobat dan kita bilang, "Maaf ya, budget bulan ini sudah habis."

Hati siapa yang kuat? Akhirnya, seberapa pun pendapatan suami atau istri, sering kali tetap "bocor" untuk menambal kebutuhan keluarga besar, meskipun itu di luar rencana awal.

Apakah ini salah? Tidak selalu. Yang bermasalah adalah jika tidak ada komunikasi dan kesepakatan yang jujur antara pasangan.

Banyak pasangan akhirnya memilih diam, tapi dalam hati memendam kesal, merasa pasangannya terlalu pelit, terlalu boros, atau tidak paham pengorbanan masing-masing.

Nah, jika dibiarkan, ini bisa memicu konflik serius yang lebih besar dari sekadar urusan uang. 

Bagaimana Solusi yang Realistis untuk Keluarga Sandwich?

Berikut beberapa tips praktis agar urusan uang di keluarga sandwich lebih sehat, tanpa menghilangkan rasa gotong royong. 

1. Akui Realita, Ini Memang Kondisi Khusus

Keluarga sandwich adalah kondisi intergenerational financial dependency, yaitu ketika satu generasi terhimpit karena harus menopang dua generasi sekaligus, yaitu anak-anak dan orang tua. 

Dalam teori ekonomi keluarga, kondisi ini sering disebut sebagai "triple burden" di mana keluarga memenuhi kebutuhan diri sendiri, generasi di bawah (anak), dan generasi di atas (orang tua atau mertua).

Di situasi seperti ini, pembahasan soal uang suami dan uang istri seringkali menjadi tidak relevan jika dihadapkan dengan kebutuhan real di lapangan. 

Mau pakai prinsip "uang istri ya uang istri," atau "uang suami wajib buat keluarga," seringkali tetap mentok di fakta bahwa pengeluaran lebih besar dari pemasukan.

Alih-alih mempertahankan standar ideal ala media sosial tentang pembagian uang suami-istri, yang lebih penting bagi keluarga sandwich adalah berjuang agar tetap bertahan hidup bersama-sama. 

Bukan soal siapa pegang uang siapa, tapi bagaimana mengelola sumber daya yang ada agar semua anggota keluarga bisa makan, sehat, dan tetap berjalan. 

Dalam konteks ini, pasangan harus punya mindset kolaboratif, bukan kompetitif. Karena realitanya, uangnya memang sudah tercampur sejak awal karena kehidupan keluarga sandwich memang begitu adanya. 

2. Buat Anggaran Jelas, Jangan Asal Campur

Walaupun pada akhirnya uang dalam keluarga sandwich sering bercampur, bukan berarti pengelolaannya bisa asal-asalan.

Tetap perlu dibuat anggaran terpisah yang jelas, baik di atas kertas, di aplikasi keuangan, atau di spreadsheet sederhana. 

Minimal, pasangan harus tahu secara transparan, berapa yang dialokasikan untuk kebutuhan anak dan rumah tangga, berapa yang rutin dikirim untuk orang tua atau mertua, dan berapa yang harus masuk tabungan darurat.

Konsep ini sejalan dengan Teori Penganggaran Keluarga (Household Budgeting Theory) yang menekankan pentingnya alokasi pos keuangan secara proporsional agar kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang tetap terpenuhi. 

Dalam konteks keluarga sandwich, setidaknya perlu tiga pos utama:

  • Kebutuhan keluarga inti (anak, rumah, makan)
  • Kebutuhan orang tua/mertua (biaya hidup, berobat)
  • Tabungan darurat (agar tidak tekor terus-terusan)

Dengan cara ini, kita tetap tahu uang larinya ke mana. Jadi tidak ada drama "kok aku ngerasa gajiku hilang aja ya?" 

3. Jangan Malu Ngobrol Tentang Batasan

Bantu orang tua itu penting, tapi jangan sampai lupa menyiapkan masa depan anak-anak dan diri sendiri. Jika semua penghasilan hanya habis untuk hari ini, bagaimana dengan hari esok? 

Di sinilah pentingnya menerapkan prinsip keadilan intergenerasional, konsep yang dalam ilmu ekonomi keluarga berarti membagi sumber daya secara seimbang antar generasi, bukan hanya untuk generasi sebelum kita (orang tua), tapi juga generasi setelah kita (anak-anak).

Bicarakan dengan pasangan tentang batas kemampuan. Sampai seberapa jauh mau membantu? Kalau ada darurat, dana dari mana yang diambil duluan? Kapan perlu bilang "maaf, bulan ini nggak bisa bantu sebanyak biasanya?"

Komunikasi yang jujur bisa mencegah bom waktu dalam rumah tangga. 

4. Siapkan Dana Untuk Masa Depan Agar Anak Tidak Jadi Sandwich Berikutnya

Hal yang sering terlupakan oleh keluarga sandwich adalah merencanakan proteksi dan dana pensiun untuk diri sendiri, agar anak-anak tidak perlu mengulangi siklus hidup yang sama. 

Ini penting karena tanpa persiapan, ketika kita tua nanti, beban finansial akan kembali diwariskan ke generasi berikutnya. Setiap individu seharusnya menabung di masa produktif agar saat pensiun tetap bisa hidup layak tanpa bergantung pada anak. 

Sayangnya, keluarga sandwich sering terjebak dalam pola "habis untuk kebutuhan sekarang" tanpa menyisihkan untuk masa depan. 

Padahal, dengan menyisihkan dana untuk asuransi kesehatan, asuransi jiwa, dana pensiun, dan dana pendidikan anak, kita sedang membangun "rem" agar siklus keterjepitan finansial tidak terus berulang.

Ini bukan egois, tapi bagian dari tanggung jawab jangka panjang, demi memutus mata rantai sandwich generation di keluarga sendiri. 

5. Jangan Lupa Me Time Finansial

Kalau semua uang hanya untuk bayar tagihan, bantu orang tua, dan urus kebutuhan anak, kapan waktunya kita menikmati hidup?

Inilah mengapa penting bagi keluarga sandwich untuk menyediakan "uang gue" atau personal allowance bagi masing-masing pasangan. 

Walaupun terdengar sepele, alokasi dana untuk kebutuhan pribadi ini justru krusial untuk menjaga kesehatan mental dan menghindari burnout finansial.

Dalam teori psikologi kebutuhan manusia ala Abraham Maslow, setelah kebutuhan dasar terpenuhi, manusia butuh aktualisasi diri dan kebahagiaan personal.

Nah, "uang gue" adalah bagian dari itu, bukan sekadar hura-hura, tapi bentuk kontrol atas hidup sendiri di tengah tekanan ekonomi.

Self-reward sederhana seperti beli kopi favorit, skincare, buku, atau menyalurkan hobi bisa membuat kita merasa tetap berharga dan punya ruang untuk diri sendiri.

Dengan begitu, perjuangan sebagai keluarga sandwich tetap terasa lebih ringan dan manusiawi. 

Tidak Perlu Saling Menyalahkan

Setiap keluarga punya medan perjuangannya sendiri. Keluarga sandwich bukan berarti keluarga gagal, tapi keluarga yang sedang berjuang lebih keras karena beban yang lebih banyak.

Mau pakai sistem uang suami-istri yang terpisah? Bisa. Mau pakai sistem uang gabung? Bisa juga.

Yang paling penting adalah bicarakan secara terbuka, saling percaya, dan sadar posisi.

Kita mungkin tidak bisa selalu hidup ideal seperti teori buku-buku finansial. Tapi dengan komunikasi dan pengelolaan yang sehat, kita bisa tetap berjalan bareng, tanpa saling menyakiti.

Karena pada akhirnya, bukan soal uang siapa, tapi soal bagaimana kita menghadapi hidup yang penuh tantangan ini bersama-sama. Betul begitu, say?***

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Teori Uang Suami-Istri Kalah Sama Realita Hidup Keluarga Sandwich"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau