
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Ada hal menarik jika kita mendatangi kota Marseille, Prancis, yakni kehidupan pesisir para nelayan yang dekat dengan laut Mediterania.
Karena letaknya yang cukup strategis, maka tidak hanya pelabuhan komersil untuk komoditi industri, tetapi ada pula nelayan tradisional yang masih melaut.
Nah, ada dua desa nelayan di kota berpenduduk kedua terbesar di Prancis ini yang pernah saya kunjungi, yaitu Les Goudes (baca: legud) dan Vallon des Auffes (baca: valong dezof).
Dua desa nelayan ini juga yang menjadi tempat tujuan wisata para pelancong yang singgah di Marseille, karena lansekapnya yang indah serta unik seperti foto yang dipajang di kartu pos, dan orisinalitas kontur daerahnya yang masih terjaga hingga sekarang.
Tapi, walaupun disebut desa nelayan, para penduduknya tinggal di rumah-rumah beton dan punya kendaraan seperti mobil atau motor.
Di dalam rumah-rumah mereka juga rata-rata sudah punya boks wifi dan televisi seperti layaknya rumah penduduk biasa.
Walaupun, perlu diketahui bahwa banyak orang Prancis yang memutuskan untuk tidak mempunyai pesawat televisi karena dianggap membuang-buang waktu.
Les Goudes dulunya adalah pelabuhan kecil, sekaligus kawasan industri tempat dibangunnya pabrik soda buatan dan pabrik timah zaman akhir abad ke-19.
Kemudian para pekerja, terutama buruh, mulai membangun pemukiman di kawasan itu, bahkan ada juga bangunan peninggalan militer bekas Perang Dunia II.
Seiring industri berkembang di tempat lain, kawasan itu ditinggalkan sehingga menyisakan pondok-pondok kecil nelayan yang hingga kini masih berdiri sampai sekarang.
Sekarang Les Goudes menjadi tujuan wisata favorit untuk para pelancong yang senang berolahraga renang, penyelam dan para hikers karena langsung berbatasan dengan perbukitan berbatu kapur yang disebut Calanques, selain tentunya buat orang-orang yang gemar memancing ikan.
Les goudes artinya celah batuan atau jurang, yang merujuk pada topografi berbatu kapur daerah tersebut. Lokasinya di distrik ke-8 kota Marseille, jadi memang agak terpencil dari pusat kota Marseille walaupun tetap mudah diakses dengan transportasi umum, yaitu bus nomor 19 jurusan Pointe Rouge.
Sedangkan di Les Goudes, teman-teman Kompasianer juga bisa menemukan restoran-restoran yang menghidangkan makanan laut yang masih otentik dan segar, termasuk sup bouillabaisse-semacam sup seafood-yang menjadi makanan khas Marseille.
Walaupun jujur sih, saya sendiri belum pernah mampir ke restoran di sana. Yang jelas, desa Les Goudes jauh dari hiruk-pikuk dan kepadatan penduduk kota Marseille. Ada sekitar 300 hingga 400 orang penduduk yang tinggal di kawasan seluas 30 hektar ini.
Selain Les Goudes, desa nelayan lainnya yang bisa menjadi tujuan wisata adalah Vallon des Auffes.
Desa ini merupakan sebuah pelabuhan kecil untuk para nelayan tradisional yang terletak sekitar 2 km dari Pelabuhan Tua (Vieux-Port, pusat kota Marseille). Lokasinya tidak jauh dari pantai Catalans yang sering digunakan para turis untuk berjemur serta berenang, dan menjadi sangat padat di musim panas.
Bentuk pelabuhan desa ini berupa sebuah teluk tempat bersandarnya perahu-perahu nelayan tradisional. Di atasnya ada sebuah jembatan yang dinamakan Corniche Kennedy. Corniche dalam bahasa Prancis artinya jalan raya yang dibangun di sepanjang tebing curam.
Ciri khas dari desa Vallon des Auffes ini, karena letaknya di bawah jembatan, ketika saya mengunjunginya, saya harus melewati banyak sekali anak tangga-ada yang curam, dangkal, ada yang tinggi.
Berbeda dengan Les Goudes yang hanya ada sesekali anak tangga, fungsinya membantu memudahkan pejalan kaki yang ingin mengeksplorasi kawasan itu karena letaknya di atas pantai berbukit-bukit.
Selain itu, rumah-rumah penduduk di kawasan Vallon des Auffes juga sangat khas, seperti kotak-kotak sabun yang berdempetan. Vallon sendiri artinya lembah, jurang atau teluk kecil, dan Auffes adalah sejenis rumput liar yang tumbuh di kawasan Mediterania.
Desa Vallon des Auffes konon katanya lebih tua ketimbang Les Goudes, sudah ada sejak tahun 1700-an, karena dulunya dihuni oleh para pengrajin menggunakan tanaman auffe-yang diolah menjadi jerami-untuk membuat anyaman dan jaring nelayan.
Selain itu para nelayan lokal juga bermukim di desa ini dan membangun rumah-rumah pondok.
Katanya sih di Vallon des Auffes juga ada restoran yang menghidangkan makanan laut segar khas Marseille seperti sup bouillabaisse, namun saya sendiri pun belum kesampaian icip-icip makanan di situ. Mungkin nanti ya bareng teman-teman Kompasianer :) ...
Jumlah penduduk di Vallon des Auffes lebih sedikit daripada di Les Goudes, yaitu sekitar 1600 jiwa, dan luasnya hanya 2000 meter persegi.
Saya pribadi sih sepertinya tidak akan memilih hunian sewa di desa ini, karena harus naik turun tangganya itu loh, walah, ck ck ck. Saya pernah berkunjung ke rumah seorang kenalan di sini, dan setelah agak blusukan ke dalam gang-gang sempit, barulah ketemu.
Walaupun gerbang menuju desa mudah dicapai dengan transportasi umum, yaitu bus nomor 83 jurusan Vieux-Port dari pusat kota Marseille, tetap saja sih, malasnya itu kalau rumah saya harus masuk-masuk gang.
Saya bayangkan di musim dingin dengan cuaca kota Marseille yang sering ditiup angin Mistral, apalagi desa ini terletak di bawah tebing... mendingan tinggal di kawasan lain deh, haha.
Vallon des Auffes terletak di distrik ke-7, dan tidak terlalu banyak dikelilingi bukit batu kapur Calanques. Tapi, tetap seperti yang sudah saya katakan, jalanan di desa ini berbukit-bukit banyak anak tangga.
Baiklah itu sekelumit cerita tentang dua desa nelayan terkenal di Marseille yang sering jadi tujuan wisata para pelancong.
Kalau teman-teman punya jiwa petualang, dua lokasi ini bisa jadi pilihan buat eksplorasi seluk-beluk kota Marseille selain monumen dan bangunan ikonik lainnya.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Menilik Dua Desa Nelayan di Marseille: Les Goudes dan Vallon des Auffes"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang