
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Saat kali pertama menjalankan diet, saya sangat merasakan beratnya. Terutama pada tiga hari pertama, ahli nutrisi menyarankan saya mengonsumsi hanya buah, sayur, dan minum air putih.
Kepala ini sempat keliyengan dan pusing, keringat dingin keluar saya lebih sering BAB. Uniknya kotoran-nya berwarna hitam pekat, kemudian saya diberitahu bahwa racun di tubuh sedang keluar.
Ya, tiga hari yang menyiksa, kata dokter adalah proses detok- membuang racun. Melihat kotoran saya yang hitam pekat, seperti membuang dosa pada badan sendiri.
Sampai seminggu, rasa tidak nyaman sedikit demi sedikit berkurang. Baru pada hari ke delapan, tubuh ini mulai menyesuaikan diri. Rasa pusing jauh berkurang, lemak di beberapa bagian badan mengikis.
Saat nimbang dan turun 1 kg saja, girangnya bukan main. Saya makin bersemangat dan tekad membulat, bahwa perjalanan sudah dimulai sayang kalau berhenti.
Masuk minggu ketiga, yang sudah dijalani selama 14 hari menjadi kebiasaan. Tidak makan karbo dari nasi, bagi saya hal yang sangat biasa. Saya bisa mendapatkan karbo, dengan mengonsumsi umbi- umbian.
Saya terbiasa mengelola emosi, nafsu makan mulai terkontrol. Melihat es campur atau gorengan, tidak ada keinginan mengambil dan menguyahnya. Karena di kepala ini terpahamkan, dampak dari mengonsumsi gula dan minyak.
Tanpa terasa tiga tahun berjalan, keluhan sebelum diet menghilang. Saya tidak mudah masuk angin, otomatis tidak punya jadwal kerokan---seperti sebelumnya. Nafas yang gampang ngos- ngosan saat jogging, sangat bisa diatasi.
Pola makan dan olahraga menjadi gaya hidup, meski saya sadar tidak boleh lengah. Karena mempertahankan pencapaian, lebih susah dibandingkan saat hendak meraihnya.
Apakah saat diet saya tersiksa? Yes, saya tersiksa.
Setiap hari saya berperang dengan kemalasan, melawan kebiasaan tidak baik, yang dijalankan bertahun- tahun. Tetapi saya sangat sadar, musti melakukan ini semua demi kebaikan.
Meski tidak sepenuhnya mengenakkan, saya berusaha menjalankan diet dengan bahagia.
***
Kompasianer, menjalani diet dengan bahagia, bukan berarti diet tanpa tantangan. Kita tetap memilih memilah asupan, kita tetap aktif beraktifitas fisik.
Tetapi bersamaan itu, kita legowo dan ikhlas menjalankannya. Kita sangat sadar, ada tujuan besar di ujung perjuangan sedang dilakukan. Bahwa jerih payah saat ini, akan memetik kebaikan di masa mendatang.