
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kalau ada hal yang tidak suka ketika PDKT, barangkali, karena prosesnya yang kelamaan. Apalagi ketika penuh ketidakpastian, pasti akan terasa berat.
Mau bersikap hangat takut terlalu berharap, tapi kalau cuek malah dihantui overthinking dan cemburu berat. Saran saya sih, kalau memang suka, ya gass aja.
Cerita ini dari masa lalu, saat saya sering mengalami love at first sight. Ya, bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali. Setiap kali jatuh cinta, harapannya sederhana, semoga cinta pertama ini jadi cinta terakhir, berakhir di pelaminan.
Sayangnya, hidup tidak selalu seindah harapan. Saya harus melalui beberapa kisah, ada yang saya tinggalkan, ada juga yang meninggalkan saya, sampai akhirnya menemukan cinta yang tepat.
Memang ada orang-orang yang lebih nyaman dengan PDKT santuy, pelan tapi pasti. Tapi menurut saya, pelan tapi pasti kadang justru berubah jadi pelan tapi hilang.
Ada juga tipe PDKT ngglibeti, falsafah Jawa yang artinya kurang lebih selalu hadir setiap saat tanpa henti, sampai akhirnya membuat si pujaan hati luluh.
Masalahnya, saya bukan tipe ngglibeti. Saya orang yang sungkanan, dan lebih lega kalau terus terang dari awal. Memang kesannya seperti bunuh diri, tapi buat saya itu jauh lebih menenangkan dibandingkan harus terjebak dalam penantian yang tak berujung.
Yuk Nikah!
Namanya cinta, memang nggak kenal waktu dan tempat. Bisa datang kapan saja, di mana saja. Termasuk saat pertama kali saya melihat dia, yang kini jadi istri saya.
Tempatnya? Di parkiran. Entah sedang menunggu siapa dia di sana. Gayanya waktu itu pakai kacamata flamboyan, mirip Uryu Ishida, karakter jenius di anime Bleach. Ia menoleh kanan-kiri, seolah sedang menunggu seorang teman.
Kalau boleh milih, saya sebenarnya ingin pertama ketemu itu di tempat yang lebih romantis, di kelas, di perpustakaan, atau dengan adegan buku jatuh lalu sama-sama memungut.
Tapi ya sudahlah, realitanya di parkiran. Meski begitu, detik itu juga dunia seperti berhenti. Nafas melambat, degup jantung terdengar jelas, teriknya siang mendadak terasa seperti angin sore yang sepoi-sepoi. Saya benar-benar terkesima.
Sayangnya, pertemuan itu justru jadi awal penantian panjang. Setelah hari itu, dia menghilang. Setahun penuh tanpa kabar. Saya bingung harus mencari ke mana. Selama itu pula saya menahan perih dan rindu yang tak pernah ia tahu.
Lalu, tepat setahun kemudian, tak disangka kami dipertemukan kembali. Kali ini di sebuah praktikum. Saya jadi asisten dosen, dan dia seorang praktikan. Rasanya seperti takdir menyatukan kembali.
Dia bilang, “Maaf Kak, kemarin saya izin nggak bisa praktikum.” Entah kenapa, di telinga saya kalimat itu berubah jadi, “Maaf Kak, I love you so much.” Hahaha. Saat itu hati saya langsung berbunga-bunga.
Sejak momen itu, bayangannya selalu mengikuti kemanapun saya melangkah. Hati tak tenang, gundah gulana, merana karena rindu yang tak berkesudahan. Sampai akhirnya saya memberanikan diri berkata, “Yuk nikah!”
Nunggu Apa?
Sayangnya, si dia menolak permintaan saya untuk menikah. Namun tak jadi masalah bagi saya saat itu.
Ngomong-ngomong sebelum saya putuskan untuk mengajak nikah, tentu saja sudah melalui berbagai proses pengamatan yang saya lakukan. Mulai dari mode investigasi teman terdekat, sampai coba-coba cari alamat rumah si dia dengan diam-diam.
Dari A sampai Z teman terdekatnya saya tanyai untuk mengetahui bagaimana kepribadiannya, dan saya pikir dia adalah perempuan paling tepat untuk saya nikahi.
Meski harus bergerilya, curi-curi informasi dari berbagai sumber, semangat saya luar biasa. Justru dari berbagai teman inilah saya semakin yakin bahwa ini adalah labuhan terakhir cinta saya. Cieee.
Hingga akhirnya saya memberanikan diri menyatakan siap untuk menikah. Memang agak ekstrem, tapi saya pikir ini keputusan terbaik, walaupun sempat terjeda beberapa saat untuk benar-benar duduk di pelaminan setelah penolakan pertama.
Setidaknya, PDKT modal nekat ini terasa lebih jantan, serius, dan melegakan. Saya tak perlu lagi menelan penasaran bulat-bulat yang bisa membuat hati selalu gundah. Saya juga tak perlu lagi bimbang diterima atau tidak, sebab jawaban apapun darinya sudah cukup jadi obat penasaran.
Dan terus terang, sikap ini terasa lebih manly , dalam arti berani, tegas, dan bertanggung jawab. Tidak ada drama ghosting-ghostingan, tidak tarik ulur. Serius ya serius. Bukan untuk main-main, bukan untuk sekadar mampir. PDKT modal nekat itu all in, semua cinta dan niat saya taruh di situ.
Anak muda, percayalah, tidak ada yang lebih melegakan daripada jujur pada perasaan sendiri. Itu pengalaman saya hampir dua dasawarsa lalu, ketika akhirnya memberanikan diri menyatakan cinta pada pujaan hati yang kini telah menjadi sigaran nyowo (belahan hidup/ istri) saya.
Kalau waktu itu saya memilih diam dan menunggu tanpa kepastian, mungkin saya masih akan terjebak dalam rindu yang tak pernah terbalas. Tapi keberanian untuk melangkah justru membuka jalan menuju kebahagiaan yang saya rasakan sekarang.
Jadi, jangan biarkan keraguan menahan langkahmu. Kalau memang serius, nunggu apa lagi? Mau PDKT model bagaimana lagi?
Kita ini berkejaran dengan umur, juga dengan para pesaing yang bisa saja lebih dulu datang. Dan bukankah PDKT modal nekat, sampai berani ngajak nikah, adalah cara terbaik untuk menjaga iman kita bersama? Berani nggak kamu?
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "PDKT Modal Nekat"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang