
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
"Masih dikaji, Bu. Masuk RPJMD 2025-2030."
Artinya, kamu mungkin sudah pensiun duluan sebelum taman impianmu dibangun.
3. PAD dari Mall Jadi Dewa, RTH Cuma Jadi Catatan Pinggiran
Pemerintah daerah makin rajin kasih izin mall karena kontribusi ke Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi, yaitu pajak hiburan, parkir, reklame, dan IMB.
Sementara taman kota? Nggak bisa disewain. Nggak bisa dikenai pajak. Nggak bisa dijadikan spot endorse. Jadinya, taman kalah pamor. Mall menang karena bisa kasih "cuan langsung."
4. Pengembang Wajib Bangun RTH? Banyak yang Abai
Aturan tentang kewajiban pengembang properti menyediakan 10--30% lahan untuk RTH seringkali diakali atau diabaikan.
Realitanya di lapangan, mereka cuma bangun taman mini 5x5 meter dan diberi papan nama "Ruang Terbuka Hijau." Luasan segitu mah cuma cukup buat satu tiang bendera dan dua bangku kayu.
5. Trotoar untuk Pejalan Kaki, Jadi Parkiran dan Booth Jualan
Di Surabaya, Bandung, Medan, hingga Jakarta, trotoar kadang diubah jadi tempat parkir atau booth jualan sementara.
Jalur pedestrian yang seharusnya aman buat lansia, anak kecil, atau difabel... malah bikin orang lebih memilih jalan di aspal.
Ini bukti bahwa desain kota masih fokus ke kendaraan dan transaksi, bukan manusia dan relaksasi.
6. Pusat Perbelanjaan Punya Fasilitas Lebih Baik dari Perpustakaan Daerah
Di banyak kota, mall punya eskalator, AC, ruang laktasi, charging station, Wi-Fi cepat, spot duduk nyaman. Tapi coba masuk perpustakaan umum di kotamu.
Kursinya mungkin keras, Wi-Fi lemot, nggak ada stop kontak, kadang bahkan AC-nya mati. Gimana warga mau betah membaca atau belajar?
7. Rakyat Udah Move On ke Mall, tapi Pemerintah Belum Move In ke Solusi
Masyarakat sudah menyesuaikan diri. Mereka numpang duduk di mall, ngaso di food court, jalan kaki di dalam Transmart.
Tetapi pemerintah masih sibuk kasih izin bangun mall yang katanya 'bawa lapangan kerja' tapi lupa menciptakan ruang aman dan sehat untuk warganya berinteraksi gratis tanpa tekanan belanja.
Lucunya: Kita Tetap Mau ke Mall
Dan ya, walau kita sadar itu mall ruang konsumsi, kita tetap datang. Kenapa?
Karena di rumah sumpek. Kamar petak, anak dua, AC rusak, kipas rebutan. Belum lagi di luar panasnya kayak neraka bocor. Saya saja jalan kaki di Bekasi 500 meter rasanya kayak ikut Spartan Race.
Makanya kita tetap mau ke mall karena kita manusia, butuh melihat dunia luar. Bukan buat pamer, bukan biar FYP, tapi biar waras. Kadang, ke mall itu semacam bentuk perlawanan pasif kita, ya nggak sih?
"Aku pengen bahagia, tapi dompetku belum bahagia. Jadi aku numpang senang dulu ya, Bang."
Rojali di mall itu kreatif. Buat mereka, mall bukan cuma tempat belanja, tapi juga tempat jalan 10.000 langkah tanpa keringatan, tempat foto OOTD biar feed Instagram tetap aktif, tempat ngadem sambil bahas utang kuliah.
Mall tempat kencan hemat (beli satu es krim berdua), tempat mabar sambil colokan HP di pojok food court.
Kalau mall menyediakan fasilitas yang membuat masyarakat datang, tapi tidak membeli, mungkin bukan salah masyarakat. Bisa jadi, itu tanda bahwa fungsinya sebagai ruang sosial lebih kuat dari fungsinya sebagai tempat jualan.
Nah, rojali itu sudah adaptasi sebaik mungkin. Kita maklumi taman kota minim, kita cari alternatif healing yang masih bisa dijangkau.
Tapi pemerintah bagaimana? Mereka masih terus kasih izin mall baru. Masih sibuk bangun jalan tol buat akses mall. Masih anggap taman kota itu bonus, bukan kebutuhan dasar warga. Mau sampai kapan? Sampai Rojali jadi gerakan nasional?
Ada baiknya kita ubah makna Rojali. Bukan Rombongan Jarang Beli, tapi: Rakyat Ogah Jajan Tapi Ingin Leluasa Interaksi.
Karena kita juga ingin hidup. Ingin nongkrong tanpa diminta struk belanja. Ingin duduk tanpa digusur. Ingin ketawa bareng anak dan pasangan tanpa harus beli waffle seharga nasi padang.
Solusinya Jangan Larang Rojali, Bikin Alternatifnya!
Masyarakat kita tidak salah karena suka ke mall, bahkan kalau mereka nggak belanja sekalipun.
Justru keliru ketika kota tidak menyediakan ruang alternatif yang sehat dan gratis untuk kegiatan publik.