Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mutia Ramadhani
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Mutia Ramadhani adalah seorang yang berprofesi sebagai Freelancer. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Terpaksa Jadi Rojali karena Tak Ada Ruang Berkumpul

Kompas.com - 06/08/2025, 15:44 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

"Masih dikaji, Bu. Masuk RPJMD 2025-2030."

Artinya, kamu mungkin sudah pensiun duluan sebelum taman impianmu dibangun. 

3. PAD dari Mall Jadi Dewa, RTH Cuma Jadi Catatan Pinggiran

Pemerintah daerah makin rajin kasih izin mall karena kontribusi ke Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi, yaitu pajak hiburan, parkir, reklame, dan IMB.

Sementara taman kota? Nggak bisa disewain. Nggak bisa dikenai pajak. Nggak bisa dijadikan spot endorse. Jadinya, taman kalah pamor. Mall menang karena bisa kasih "cuan langsung." 

4. Pengembang Wajib Bangun RTH? Banyak yang Abai

Aturan tentang kewajiban pengembang properti menyediakan 10--30% lahan untuk RTH seringkali diakali atau diabaikan.

Realitanya di lapangan, mereka cuma bangun taman mini 5x5 meter dan diberi papan nama "Ruang Terbuka Hijau." Luasan segitu mah cuma cukup buat satu tiang bendera dan dua bangku kayu. 

5. Trotoar untuk Pejalan Kaki, Jadi Parkiran dan Booth Jualan

Di Surabaya, Bandung, Medan, hingga Jakarta, trotoar kadang diubah jadi tempat parkir atau booth jualan sementara.

Jalur pedestrian yang seharusnya aman buat lansia, anak kecil, atau difabel... malah bikin orang lebih memilih jalan di aspal.

Ini bukti bahwa desain kota masih fokus ke kendaraan dan transaksi, bukan manusia dan relaksasi. 

6. Pusat Perbelanjaan Punya Fasilitas Lebih Baik dari Perpustakaan Daerah

Di banyak kota, mall punya eskalator, AC, ruang laktasi, charging station, Wi-Fi cepat, spot duduk nyaman. Tapi coba masuk perpustakaan umum di kotamu.

Kursinya mungkin keras, Wi-Fi lemot, nggak ada stop kontak, kadang bahkan AC-nya mati. Gimana warga mau betah membaca atau belajar? 

7. Rakyat Udah Move On ke Mall, tapi Pemerintah Belum Move In ke Solusi

Masyarakat sudah menyesuaikan diri. Mereka numpang duduk di mall, ngaso di food court, jalan kaki di dalam Transmart.

Tetapi pemerintah masih sibuk kasih izin bangun mall yang katanya 'bawa lapangan kerja' tapi lupa menciptakan ruang aman dan sehat untuk warganya berinteraksi gratis tanpa tekanan belanja.

Lucunya: Kita Tetap Mau ke Mall

Dan ya, walau kita sadar itu mall ruang konsumsi, kita tetap datang. Kenapa?

Karena di rumah sumpek. Kamar petak, anak dua, AC rusak, kipas rebutan. Belum lagi di luar panasnya kayak neraka bocor. Saya saja jalan kaki di Bekasi 500 meter rasanya kayak ikut Spartan Race.

Makanya kita tetap mau ke mall karena kita manusia, butuh melihat dunia luar. Bukan buat pamer, bukan biar FYP, tapi biar waras. Kadang, ke mall itu semacam bentuk perlawanan pasif kita, ya nggak sih?

"Aku pengen bahagia, tapi dompetku belum bahagia. Jadi aku numpang senang dulu ya, Bang."

Rojali di mall itu kreatif. Buat mereka, mall bukan cuma tempat belanja, tapi juga tempat jalan 10.000 langkah tanpa keringatan, tempat foto OOTD biar feed Instagram tetap aktif, tempat ngadem sambil bahas utang kuliah.

Mall tempat kencan hemat (beli satu es krim berdua), tempat mabar sambil colokan HP di pojok food court. 

Kalau mall menyediakan fasilitas yang membuat masyarakat datang, tapi tidak membeli, mungkin bukan salah masyarakat. Bisa jadi, itu tanda bahwa fungsinya sebagai ruang sosial lebih kuat dari fungsinya sebagai tempat jualan.

Nah, rojali itu sudah adaptasi sebaik mungkin. Kita maklumi taman kota minim, kita cari alternatif healing yang masih bisa dijangkau.

Tapi pemerintah bagaimana? Mereka masih terus kasih izin mall baru. Masih sibuk bangun jalan tol buat akses mall. Masih anggap taman kota itu bonus, bukan kebutuhan dasar warga. Mau sampai kapan? Sampai Rojali jadi gerakan nasional?

Ada baiknya kita ubah makna Rojali. Bukan Rombongan Jarang Beli, tapi: Rakyat Ogah Jajan Tapi Ingin Leluasa Interaksi.

Karena kita juga ingin hidup. Ingin nongkrong tanpa diminta struk belanja. Ingin duduk tanpa digusur. Ingin ketawa bareng anak dan pasangan tanpa harus beli waffle seharga nasi padang. 

Solusinya Jangan Larang Rojali, Bikin Alternatifnya!

Masyarakat kita tidak salah karena suka ke mall, bahkan kalau mereka nggak belanja sekalipun.

Justru keliru ketika kota tidak menyediakan ruang alternatif yang sehat dan gratis untuk kegiatan publik.

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau