
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Melarang atau menyalahkan Rojali hanya karena mereka "nongkrong doang di mall" itu kayak nyalahin burung karena nggak bisa berenang. Toh, mereka cuma menyesuaikan diri dengan habitat yang tersedia, ya kan?
Maka kalau pemerintah ingin "mengurangi Rojali," solusinya bukan memperbanyak etalase diskon, tapi memperbanyak ruang hidup yang tidak berbasis konsumsi.
1. Bangun Taman Interaktif di Tiap Kecamatan
Bayangkan kalau setiap kecamatan di Indonesia punya taman kota yang rindang dan luas. Ada jogging track, taman bermain anak, kursi baca, bahkan zona tenang untuk meditasi
Singapore punya lebih dari 350 taman dan "Neighbourhood Green Spaces" yang bisa dijangkau warga dalam radius 10 menit jalan kaki. Mereka menargetkan setiap warga bisa ke taman tanpa harus naik kendaraan.
Kita bisa tiru ini. Di Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan Surabaya, banyak lahan kecil milik pemda yang terbengkalai. Alih-alih dibiarin jadi tempat numpuk bangunan liar atau iklan caleg, kenapa tidak diubah jadi taman mini interaktif?
2. Buat Zona Wi-Fi Gratis di Ruang Publik Terbuka
Fakta hari ini, Wi-Fi gratis lebih menarik daripada es krim diskon. Di mall, Wi-Fi gratis disediakan karena orang diharapkan lama-lama belanja.
Kenapa di taman kota, di alun-alun, di halte besar, fasilitas Wi-Fi sering tak tersedia atau kualitasnya payah?
Contoh bagus datang dari Tallinn, Estonia. Kota ini menyediakan akses Wi-Fi gratis di hampir seluruh ruang publik terbuka, termasuk taman dan pinggir sungai. Anak muda, orang tua, pelajar, semuanya bisa tetap produktif tanpa harus masuk cafe.
3. Ciptakan Event Publik Gratis di Alun-Alun Setiap Minggu
Di banyak kota, alun-alun hanya ramai saat malam minggu atau malam tahun baru. Sisanya? Sepi dan penuh debu. Padahal, ini bisa jadi pusat aktivitas komunitas.
Bayangkan kalau setiap minggu ada pentas seni lokal, pasar barang bekas, workshop menanam, diskusi buku outdoor, yoga massal bareng komunitas, dan banyak lagi.
Model ini sukses besar di Seoul (South Korea) lewat program "Seoul Culture Nights" yang menyulap alun-alun kota jadi panggung budaya interaktif tiap akhir pekan. GRATIS!
4. Berdayakan Lahan Kosong Jadi Taman Komunitas
Alih-alih nunggu izin panjang dan anggaran besar, pemda bisa kerja bareng komunitas lokal untuk mengubah lahan tidur jadi taman bersama. Tanami sayuran, sediakan kompos, bangun saung, dan adakan kelas lingkungan.
Model ini berhasil di New York City, lewat "GreenThumb Program." Pemerintah menyediakan dukungan legal dan teknis untuk komunitas yang ingin merawat lahan kosong jadi taman produktif.
Di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta pun sebenarnya sudah mulai muncul gerakan serupa tapi perlu lebih banyak dorongan dari pemerintah.
5. Wajibkan Pengembang Mall Ikut Bangun RTH
Ini hal paling konkret dan paling masuk akal. Kalau pengembang bisa bangun mall megah, kenapa tidak diwajibkan juga membangun taman kota?
Skema yang bisa diterapkan, misalnya setiap izin mall baru, pengembang wajib bangun RTH minimal 10% dari luas area. Taman tersebut harus akses publik, bukan hanya hiasan depan lobi. Pemerintah bisa jadikan syarat ini sebagai kompensasi lingkungan dan CSR
Di Tokyo, banyak gedung tinggi diwajibkan menyediakan green rooftop atau taman vertikal yang bisa diakses publik. Di Barcelona, ruang hijau kota ditingkatkan lewat aturan Green Infrastructure Plan yang mengikat pembangunan swasta.
Kenapa lima solusi yang saya tulis di atas itu layak? Karena faktanya healing gratis itu lebih menggoda daripada diskon belanja.
Orang datang ke ruang hijau bukan untuk konsumsi, tapi untuk koneksi dengan diri sendiri, keluarga, atau alam. Itu kebutuhan manusia paling dasar.
Saat kota menyediakan taman rimbun buat anak bermain, zona Wi-Fi buat pelajar nongkrong dan belajar, lapangan luas buat komunitas senam pagi, event gratis buat hiburan rakyat, dengan sendirinya masyarakat tak perlu cari angin di mall.
Mereka akan ke ruang-ruang itu. Mereka akan membentuk komunitas. Mereka akan merasa memiliki kotanya sendiri.
Dan hei, bisa jadi nih ya... mall pun sekarang jadi lebih sepi itu bukan krisis. Itu justru tanda kota sedang pulih. Karena warga akhirnya punya opsi lain untuk bahagia.
Biarin Aja Rojali, akan tetapi Tambahin Ruang Berkumpulnya
Fenomena Rojali bukan masalah. Rojali adalah indikator kota yang haus ruang sosial, yang minim tempat nongkrong gratis, yang kelebihan etalase tapi kekurangan interaksi.
Selama negara belum bisa menyediakan ruang publik yang cukup, ya jangan heran kalau rakyat mencari pengganti. Dan selama mall jadi satu-satunya ruang yang "terbuka" ya jangan salahkan kami, para Rojali ini, lebih sering datang tapi nggak belanja.
Karena sejujurnya, kami bukan pelit. Kami hanya warga biasa yang butuh tempat untuk sekadar... bernafas dengan tenang.***
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Rojali Itu Cara Masyarakat Beradaptasi karena Kota Gagal Kasih Ruang Hidup!"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang