
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pernahkah merasakan betapa repotnya mencari air bersih saat musim kemarau? Sebenarnya ke mana perginya air hujan yang setiap tahun turun begitu deras?
Kota Metro, Lampung, dahulu dikenal dengan hamparan sawah, pekarangan, dan rerumputan yang luas. Ruang-ruang terbuka hijau itu berfungsi alami sebagai daerah resapan air.
Namun kini, wajah kota telah banyak berubah. Pertumbuhan bangunan dan infrastruktur yang pesat membuat ruang resapan semakin berkurang.
Padahal, secara geografis Metro bukanlah daerah kering. Kota ini berada di dataran rendah dengan ketinggian 30–60 meter di atas permukaan laut, beriklim tropis lembap, dengan curah hujan tahunan yang tergolong sedang hingga tinggi.
Air tanah relatif dangkal dan mudah dijangkau. Tetapi, kenyataan tersebut tidak lantas membuat Metro terbebas dari ancaman krisis air.
Saya masih ingat pengalaman masa kecil hingga remaja, ketika setiap sore harus berjalan lebih dari seratus meter hanya untuk mengambil air dari sumber yang jauh.
Aktivitas yang dalam bahasa Jawa disebut ngangsu ini terasa begitu melelahkan.
Nah, dari pengalaman itu saya belajar, ketersediaan air tanah bisa saja bermasalah—bukan hanya karena faktor alam, tetapi juga akibat perilaku manusia yang tidak bijak mengelola lingkungan.
Joglangan sebagai Ikhtiar Sederhana
Salah satu cara sederhana menjaga ketersediaan air adalah dengan memanen air hujan agar tidak langsung terbuang begitu saja.
Sedangkan di daerah kering, masyarakat umumnya sudah akrab dengan tandon air hujan. Namun di Metro, tradisi itu hampir tidak dikenal.
Saya kemudian menemukan konsep joglangan, sebuah istilah dalam bahasa Jawa yang berarti lubang.
Praktiknya, kita membuat lubang di tanah untuk menampung air hujan agar bisa meresap kembali ke dalam tanah. Biayanya nyaris tidak ada—cukup bermodal cangkul dan tenaga.
Prinsipnya sama dengan “panen air hujan”, hanya saja hasilnya bukan ditampung dalam wadah, melainkan disalurkan kembali ke dalam tanah.
Jika setiap rumah membuat satu joglangan saja, bisa dibayangkan berapa ribu liter air hujan yang kembali menjadi cadangan air tanah setiap musim penghujan.