
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Apa yang dibayangkan jika pada usia lebih dari 30an tahun mesti berakhir? Apakah bisa memulai semua dari awal?
Bagaimana cara bertahan, beradaptasi, dan tetap menjaga semangat di tengah perubahan itu?
Jika waktu bisa diputar, mungkin saya ingin kembali ke usia dua puluhan — masa ketika semuanya masih bisa disusun dengan lebih terarah.
Namun, hidup tidak memberi tombol “ulang”. Dan pada akhirnya, saya harus belajar menerima kenyataan: pindah karier di usia tiga puluhan bukan hal mudah, tapi bukan pula akhir dari segalanya.
Ketika “Nyaman” Harus Berakhir
Tahun 2024 menjadi titik balik besar dalam hidup saya. Saat itu, saya bekerja sebagai Web Administrator & Data..., posisi yang terasa pas dan stabil.
Saat teman-teman seangkatan sibuk mengejar jabatan manajerial, saya justru menikmati karier yang tenang — cukup waktu untuk menulis di blog dan membuat konten.
Namun, semua berubah ketika gelombang layoff datang. Saya termasuk di antara mereka yang harus menerima kenyataan pahit kehilangan pekerjaan. Rasanya campur aduk: sedih, khawatir, tapi juga dipaksa untuk segera bangkit.
Usia saya waktu itu hampir 31 tahun — usia yang sering dianggap “tanggung” di dunia kerja. Banyak lowongan mencantumkan batas usia, membuat proses mencari pekerjaan baru terasa seperti berlari di jalur sempit.
Saya sempat menganggur sekitar enam bulan. Sebagai tulang punggung keluarga, tentu tak bisa santai. Saya bertahan hidup dari proyek menulis dan membuat konten berkat bantuan teman-teman yang luar biasa suportif.
Pada masa itu, saya juga aktif mengikuti lomba menulis — beberapa kali menjadi juara favorit, bahkan sempat menjuarai salah satunya.
Di tengah ketidakpastian, kemenangan kecil itu terasa seperti napas baru.
Bangkit, Meski dari Nol Lagi
Setelah berbagai penolakan lamaran, satu demi satu peluang mulai terbuka. Tahun 2025, saya akhirnya kembali bekerja — meski di bidang yang agak berbeda dari sebelumnya.
Posisi ini bukan yang saya impikan, bahkan sempat saya hindari di masa lalu. Tapi hidup sering punya cara sendiri untuk menguji kesiapan kita.
Saya belajar dari nol lagi. Mengosongkan gelas, menyesuaikan diri dengan ritme kerja baru, bahkan berusaha memahami gaya komunikasi lintas generasi di kantor.
Tak ada serah terima pekerjaan dari orang sebelumnya, jadi saya harus mencari tahu sendiri banyak hal.
Ada rekan yang hanya memberi “clue” tanpa penjelasan detail, dan saya harus belajar membaca situasi — sambil terus menenangkan diri dengan banyak-banyak istighfar.
Saya juga belajar satu hal penting dari nasihat atasan: “Rekan kerja itu rekan profesional, bukan teman curhat.”
Kalimat sederhana itu membantu saya menempatkan diri, menjaga batas, dan fokus pada hal-hal yang memang penting dalam pekerjaan.
Karier di Usia 30-an: Bukan Hanya Tentang Bertahan
Pindah karier di usia tiga puluhan mengajarkan saya banyak hal. Pertama, belajar cepat adalah kunci.
Kedua, beradaptasi dengan lingkungan baru menjadi kebutuhan utama. Ketiga, kemampuan kolaborasi lintas generasi harus terus diasah.
Selain itu, ada realitas yang harus diterima: kontrak kerja tak selalu panjang. Posisi baru saya, misalnya, hanya berlangsung beberapa bulan. Setelahnya, saya harus siap mencari peluang baru lagi.
Di tengah ekonomi yang makin menantang, membuka usaha juga bukan perkara mudah. Modal terbatas dan risiko besar membuat langkah itu harus benar-benar dipikirkan matang.
Kadang, keputusan pindah karier memang lahir dari keterpaksaan. Tapi justru di situlah ruang pembelajaran terbesar muncul: bagaimana bertahan, tanpa kehilangan arah dan nilai diri.
Belajar Terus, Jangan Lelah Bertumbuh
Bagi saya, satu-satunya cara agar tetap relevan adalah terus belajar. Entah lewat kursus daring, membaca buku, atau memperdalam kemampuan berbahasa asing. Siapa tahu, peluang bekerja di luar negeri bisa datang suatu hari nanti — karena hidup penuh kejutan, bukan?
Namun, tentu semua harus disertai rencana matang. Karier bukan sesuatu yang bisa “mengalir begitu saja”. Ia perlu strategi, pertimbangan, dan kesiapan menghadapi risiko.
Untuk yang sedang di fase serupa — memulai lagi di usia tiga puluhan — pesan saya sederhana:
Refleksi: Jalan Baru Bukan Akhir
Suka duka pindah karier di usia tiga puluhan memang nyata. Ada rasa takut, tapi juga peluang untuk menemukan diri sendiri yang lebih kuat.
Entah nanti akan bertahan di jalur ini, atau justru membuka usaha sendiri, semuanya tetap perlu perencanaan matang dan kesiapan mental.
Jika Anda juga sedang berada di persimpangan karier, mungkin ini saatnya bertanya:
Apakah karier saya sekarang masih relevan sepuluh tahun ke depan? Jika tidak, apa langkah kecil yang bisa saya mulai hari ini?
Hidup memang tak selalu sesuai rencana, tapi kita selalu punya pilihan untuk terus berusaha, beradaptasi, dan bertumbuh.
Semangat untuk semua pejuang karier tiga puluhan — mungkin jalannya tak selalu mulus, tapi setiap langkah tetap berarti.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Suka Duka Pindah Karier di Usia Tiga Puluhan"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang