
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sikat sepatu dengan sabun colek pada Sabtu sore sambil berharap ketika hari Senin nanti sepatu yang dicuci sudah bersih dan siap pakai.
Pada masa itu, hampir rata-rata anak sekolah memakai sepatu merek Bata. Apalagi ketika tahun 70an hingga 80an pasti merasakan: Sepatu Bata bukan sekadar alas kaki, tetapi jejak harapan, disiplin, dan kebanggaan masa sekolah yang tak lekang oleh waktu.
Sepatu Bata hadir dalam ritme kehidupan sehari-hari: dari halaman sekolah, gang perkampungan, hingga toko-toko kecil di kota kabupaten.
Didirikan pada tahun 1894 di Zlin, Moravia (kini Republik Ceko), Bata merupakan salah satu pelopor industri sepatu modern dunia.
Bata didirikan oleh tiga bersaudara Bata, perusahaan ini memperkenalkan konsep produksi massal agar sepatu tak lagi menjadi barang mewah—melainkan kebutuhan semua kalangan.
Langkah global Bata menjejak hingga ke Indonesia pada 1931. Delapan tahun kemudian, pabrik pertama berdiri di Kalibata, Jakarta Selatan—nama yang konon berasal dari perpaduan kata “Kali” dan “Bata”.
Sejak itu, Bata tak sekadar menjual sepatu, tetapi juga menanamkan nilai: disiplin, kebersihan, dan kebanggaan sederhana.
Sepatu yang Menyimpan Cerita Sekolah
Bagi anak-anak sekolah di era 1970–1980an, membeli sepatu Bata adalah momen istimewa. Biasanya dilakukan menjelang tahun ajaran baru, di toko bercahaya hangat yang penuh aroma kulit dan karet baru.
Ada rasa bangga tersendiri saat mengenakan sepatu hitam mengilap itu di hari pertama sekolah. Ia tak murah, tapi juga tak mewah—tepat di tengah, memberi makna tersendiri bagi keluarga pekerja keras.
Setiap minggu, sepatu disikat bersih, dikeringkan, lalu disemir hingga mengilap. Anak-anak yang melangkah dengan sepatu Bata diyakini sebagai cerminan kerapian, kedisiplinan, dan semangat belajar.
Di sekolah-sekolah seperti Santa Maria, dua pasang sepatu menjadi perlengkapan wajib: satu putih untuk hari biasa, satu hitam untuk kegiatan pramuka.
Ritual sederhana itu mengajarkan tanggung jawab sejak dini—tentang merawat milik sendiri dan menghargai proses kecil dalam kehidupan.
Ketika Bata Menjadi Kenangan
Namun, waktu berjalan, dan industri pun berubah. Pada April 2024, pabrik Bata di Purwakarta resmi ditutup setelah tiga dekade beroperasi. Sebanyak 233 pekerja harus menerima kenyataan pahit pemutusan hubungan kerja.