
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dalam perspektif sosiologi, praktik ini tak sekadar perilaku individu.
Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai bagian dari symbolic capital — cara halus mempertahankan dominasi sosial melalui pengakuan dan “pengemasan” perilaku.
Di kantor, fenomena ini muncul dalam bentuk yang lebih modern: corporate politeness.
Basa-basi dengan atasan, pujian tanpa alasan, atau ikut rapat sambil berkata “setuju” padahal hati menolak.
Dalam birokrasi modern, ini disebut Max Weber sebagai rationalized feudalism — warisan sistem feodal yang disamarkan dengan bahasa profesional.
Efeknya bisa serius. Budaya kerja jadi stagnan, kreativitas mandek, dan orang jujur tersingkir oleh mereka yang pandai bermain kata.
Lama-lama, organisasi pun jadi seperti taman plastik: indah dilihat, tapi tanpa kehidupan.
Antara Kesopanan dan Kepalsuan
Bagi sebagian orang, sugar coating terasa aman. Malah ada yang beranggapan ia bisa menciptakan ilusi keharmonisan dan menghindarkan dari konflik.
Namun di sisi lain, terlalu banyak “lapisan gula” justru menutupi rasa asli dari komunikasi: kejujuran.
Dalam psikologi sosial, kondisi ini disebut disonansi kognitif — ketika seseorang berkata hal yang tidak sesuai dengan hatinya demi diterima oleh lingkungan.
Dan bila ini menjadi kebiasaan, muncullah ruang kerja yang “ramah di permukaan, tapi dingin di dalam.”
Menjaga Kejujuran dalam Batas Wajar
Menjadi jujur bukan berarti harus kasar. Sebaliknya, berbicara lembut pun bukan berarti harus berpura-pura.
Seperti pesan dalam pitutur Jawa tadi, kuncinya ada pada keseimbangan: tahu kapan berbicara apa adanya, dan kapan memilih diam tanpa kehilangan integritas.
George Orwell pernah menulis, “Bahasa yang busuk akan melahirkan pikiran yang busuk.”