
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dulu, ajakan makan bakso atau jalan sore selalu disambut antusias. Kini, ada saja alasannya. Ia lebih memilih nongkrong dengan teman atau sekadar berkeliling naik motor sendiri.
Saat libur sekolah, sering pula menginap di rumah teman, atau bergantian menjamu mereka di rumah. Ibunya hanya berpesan agar pulang sebelum malam. Saya tak melarang—meski diam-diam, ada rindu yang tumbuh pelan-pelan.
Kadang, saya mengenang masa kecilnya. Wajah kecil yang dulu selalu menunggu di depan pintu kamar mandi, menolak tidur sebelum ayahnya pulang.
Pernah suatu malam, ketika saya baru tiba dari luar kota, matanya baru terpejam setelah saya sampai rumah. Kini, yang tersisa hanya kenangan—hangat, tapi juga menyesakkan.
Fase Alamiah yang Mesti Diterima
Bagi orangtua mana pun, saat anak mulai enggan diajak pergi adalah momen yang membingungkan.
Sedangkan di satu sisi, kita bangga mereka tumbuh mandiri. Tapi di sisi lain, ada perasaan kehilangan yang sulit dijelaskan.
Susan Stiffelman, pakar parenting asal Amerika, menjelaskan bahwa fase ini sangat wajar. Anak-anak yang beranjak remaja ingin membangun identitas sendiri, terlepas dari bayang-bayang orangtuanya.
Bahkan pelukan atau cium pipi di depan teman bisa membuat mereka merasa “tidak keren”. Bukan karena tak sayang, tapi karena sedang belajar menjadi pribadi yang berdiri sendiri.
Sebagai orangtua, kita hanya perlu memahami. Tak perlu tersinggung, tak perlu memaksa. Cukup memberi ruang, sambil tetap berada di dekat mereka—tidak jauh, tapi juga tidak terlalu dekat.
Biarkan mereka menemukan jalannya sendiri, sambil tahu bahwa rumah akan selalu jadi tempat pulang.
Waktu yang Tak Bisa Diulang
Kini saya sudah terbiasa bepergian tanpa anak-anak. Kadang bersama istri, kadang sendiri.
Sesekali mereka mau ikut, tapi hanya kalau suasana hatinya sedang baik. Saya tak lagi kecewa. Waktu mengajarkan bahwa setiap fase punya masanya.
Dulu saya juga begitu pada orangtua saya—menjauh, lalu perlahan membangun hidup sendiri.
Mungkin inilah putaran alami kehidupan. Dulu kita yang digandeng, kini kita yang melepas.
Dan kelak, mereka pun akan mengalami hal yang sama kepada anak-anak mereka sendiri.