
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kapan kamu menyadari, sebagai orangtua, kalau ketika kecil dulu si Anak menempel ke mana pun pergi, tetapi kini susah sekali diajak jalan?
Sayangnya, tanpa disadari, fase itu bisa datang begitu cepat—dan apakah kita siap melewati masa-masa seperti itu?
Masa-masa Indah yang Tak Terulang
Ketika anak-anak masih kecil, setiap akhir pekan terasa seperti petualangan kecil.
Bersama istri dan dua anak, kami sering berkeliling naik motor.
Anak sulung duduk di depan saya, sementara adiknya di tengah bersama ibunya.
Kadang kami mampir ke warung kopi sederhana, atau sekadar membeli camilan di pinggir jalan. Tak ada rencana besar, tapi rasanya selalu istimewa.
Anak sulung saya, si jagoan kecil, selalu ingin ikut ke mana pun ayahnya pergi. Bahkan saat hujan deras pun, ia pernah memaksa ikut sampai harus dibujuk lama oleh ibunya.
Sedangkan adiknya, gadis kecil yang manis, lebih suka kulineran—terutama bila makanannya sedang viral di media sosial. Kedekatan kami berbeda, tapi sama-sama hangat.
Namun waktu berjalan cepat. Ketika si sulung duduk di kelas empat SD, ia mulai punya dunianya sendiri.
Akhir pekan dihabiskan bermain bola atau bersepeda dengan teman-temannya. Sang adik pun mulai asyik dengan sahabat-sahabatnya, dan ajakan ayah ibunya tak lagi semenarik dulu.
Motor kami pun akhirnya tak lagi cukup. Anak-anak tumbuh besar, posisi duduk makin sempit.
Sejak itu, kami bepergian dengan dua motor—saya berboncengan dengan si sulung, istri dengan si bungsu.
Dan kini, ketika mereka sudah beranjak remaja, saya dan istri lebih sering berdua saja. Seperti dulu, sebelum ada mereka.
Saat Anak Mulai Menjauh
Saya masih ingat masa awal ketika si jagoan mulai menolak ajakan pergi bersama. Rasanya ada ruang kecil di hati yang tiba-tiba kosong.
Dulu, ajakan makan bakso atau jalan sore selalu disambut antusias. Kini, ada saja alasannya. Ia lebih memilih nongkrong dengan teman atau sekadar berkeliling naik motor sendiri.
Saat libur sekolah, sering pula menginap di rumah teman, atau bergantian menjamu mereka di rumah. Ibunya hanya berpesan agar pulang sebelum malam. Saya tak melarang—meski diam-diam, ada rindu yang tumbuh pelan-pelan.
Kadang, saya mengenang masa kecilnya. Wajah kecil yang dulu selalu menunggu di depan pintu kamar mandi, menolak tidur sebelum ayahnya pulang.
Pernah suatu malam, ketika saya baru tiba dari luar kota, matanya baru terpejam setelah saya sampai rumah. Kini, yang tersisa hanya kenangan—hangat, tapi juga menyesakkan.
Fase Alamiah yang Mesti Diterima
Bagi orangtua mana pun, saat anak mulai enggan diajak pergi adalah momen yang membingungkan.
Sedangkan di satu sisi, kita bangga mereka tumbuh mandiri. Tapi di sisi lain, ada perasaan kehilangan yang sulit dijelaskan.
Susan Stiffelman, pakar parenting asal Amerika, menjelaskan bahwa fase ini sangat wajar. Anak-anak yang beranjak remaja ingin membangun identitas sendiri, terlepas dari bayang-bayang orangtuanya.
Bahkan pelukan atau cium pipi di depan teman bisa membuat mereka merasa “tidak keren”. Bukan karena tak sayang, tapi karena sedang belajar menjadi pribadi yang berdiri sendiri.
Sebagai orangtua, kita hanya perlu memahami. Tak perlu tersinggung, tak perlu memaksa. Cukup memberi ruang, sambil tetap berada di dekat mereka—tidak jauh, tapi juga tidak terlalu dekat.
Biarkan mereka menemukan jalannya sendiri, sambil tahu bahwa rumah akan selalu jadi tempat pulang.
Waktu yang Tak Bisa Diulang
Kini saya sudah terbiasa bepergian tanpa anak-anak. Kadang bersama istri, kadang sendiri.
Sesekali mereka mau ikut, tapi hanya kalau suasana hatinya sedang baik. Saya tak lagi kecewa. Waktu mengajarkan bahwa setiap fase punya masanya.
Dulu saya juga begitu pada orangtua saya—menjauh, lalu perlahan membangun hidup sendiri.
Mungkin inilah putaran alami kehidupan. Dulu kita yang digandeng, kini kita yang melepas.
Dan kelak, mereka pun akan mengalami hal yang sama kepada anak-anak mereka sendiri.
Nikmati Selagi Bisa
Untuk para orangtua yang anaknya masih kecil dan selalu ingin ikut ke mana pun, nikmatilah masa itu.
Tak peduli sejauh apa nanti mereka melangkah, kenangan kecil itu akan selalu hidup di hati kita.
Akan tiba satu masa ketika anak enggan diajak pergi. Tetapi percayalah—itu bukan akhir dari kedekatan, melainkan babak baru dari hubungan yang tumbuh lebih dewasa.
Cinta orangtua dan anak, sejatinya tidak diukur dari seberapa sering berjalan bersama, melainkan dari seberapa dalam mereka tahu, kita selalu menunggu di rumah.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Saat Anak Enggan Diajak Ayahnya Pergi"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang