Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agung Han
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Agung Han adalah seorang yang berprofesi sebagai Wiraswasta. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Akan Tiba Satu Masa, Anak Enggan Diajak Pergi

Kompas.com - 15/10/2025, 13:28 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Kapan kamu menyadari, sebagai orangtua, kalau ketika kecil dulu si Anak menempel ke mana pun pergi, tetapi kini susah sekali diajak jalan?

Sayangnya, tanpa disadari, fase itu bisa datang begitu cepat—dan apakah kita siap melewati masa-masa seperti itu?

Masa-masa Indah yang Tak Terulang

Ketika anak-anak masih kecil, setiap akhir pekan terasa seperti petualangan kecil.
Bersama istri dan dua anak, kami sering berkeliling naik motor.

Anak sulung duduk di depan saya, sementara adiknya di tengah bersama ibunya.

Kadang kami mampir ke warung kopi sederhana, atau sekadar membeli camilan di pinggir jalan. Tak ada rencana besar, tapi rasanya selalu istimewa.

Anak sulung saya, si jagoan kecil, selalu ingin ikut ke mana pun ayahnya pergi. Bahkan saat hujan deras pun, ia pernah memaksa ikut sampai harus dibujuk lama oleh ibunya.

Sedangkan adiknya, gadis kecil yang manis, lebih suka kulineran—terutama bila makanannya sedang viral di media sosial. Kedekatan kami berbeda, tapi sama-sama hangat.

Namun waktu berjalan cepat. Ketika si sulung duduk di kelas empat SD, ia mulai punya dunianya sendiri.

Akhir pekan dihabiskan bermain bola atau bersepeda dengan teman-temannya. Sang adik pun mulai asyik dengan sahabat-sahabatnya, dan ajakan ayah ibunya tak lagi semenarik dulu.

Motor kami pun akhirnya tak lagi cukup. Anak-anak tumbuh besar, posisi duduk makin sempit.

Sejak itu, kami bepergian dengan dua motor—saya berboncengan dengan si sulung, istri dengan si bungsu.

Dan kini, ketika mereka sudah beranjak remaja, saya dan istri lebih sering berdua saja. Seperti dulu, sebelum ada mereka.

Saat Anak Mulai Menjauh

Saya masih ingat masa awal ketika si jagoan mulai menolak ajakan pergi bersama. Rasanya ada ruang kecil di hati yang tiba-tiba kosong.

Dulu, ajakan makan bakso atau jalan sore selalu disambut antusias. Kini, ada saja alasannya. Ia lebih memilih nongkrong dengan teman atau sekadar berkeliling naik motor sendiri.

Saat libur sekolah, sering pula menginap di rumah teman, atau bergantian menjamu mereka di rumah. Ibunya hanya berpesan agar pulang sebelum malam. Saya tak melarang—meski diam-diam, ada rindu yang tumbuh pelan-pelan.

Kadang, saya mengenang masa kecilnya. Wajah kecil yang dulu selalu menunggu di depan pintu kamar mandi, menolak tidur sebelum ayahnya pulang.

Pernah suatu malam, ketika saya baru tiba dari luar kota, matanya baru terpejam setelah saya sampai rumah. Kini, yang tersisa hanya kenangan—hangat, tapi juga menyesakkan.

Fase Alamiah yang Mesti Diterima

Bagi orangtua mana pun, saat anak mulai enggan diajak pergi adalah momen yang membingungkan. 

Sedangkan di satu sisi, kita bangga mereka tumbuh mandiri. Tapi di sisi lain, ada perasaan kehilangan yang sulit dijelaskan.

Susan Stiffelman, pakar parenting asal Amerika, menjelaskan bahwa fase ini sangat wajar. Anak-anak yang beranjak remaja ingin membangun identitas sendiri, terlepas dari bayang-bayang orangtuanya.

Bahkan pelukan atau cium pipi di depan teman bisa membuat mereka merasa “tidak keren”. Bukan karena tak sayang, tapi karena sedang belajar menjadi pribadi yang berdiri sendiri.

Sebagai orangtua, kita hanya perlu memahami. Tak perlu tersinggung, tak perlu memaksa. Cukup memberi ruang, sambil tetap berada di dekat mereka—tidak jauh, tapi juga tidak terlalu dekat.

Biarkan mereka menemukan jalannya sendiri, sambil tahu bahwa rumah akan selalu jadi tempat pulang.

Waktu yang Tak Bisa Diulang

Kini saya sudah terbiasa bepergian tanpa anak-anak. Kadang bersama istri, kadang sendiri.
Sesekali mereka mau ikut, tapi hanya kalau suasana hatinya sedang baik. Saya tak lagi kecewa. Waktu mengajarkan bahwa setiap fase punya masanya.

Dulu saya juga begitu pada orangtua saya—menjauh, lalu perlahan membangun hidup sendiri.

Mungkin inilah putaran alami kehidupan. Dulu kita yang digandeng, kini kita yang melepas.
Dan kelak, mereka pun akan mengalami hal yang sama kepada anak-anak mereka sendiri.

Nikmati Selagi Bisa

Untuk para orangtua yang anaknya masih kecil dan selalu ingin ikut ke mana pun, nikmatilah masa itu.

Tak peduli sejauh apa nanti mereka melangkah, kenangan kecil itu akan selalu hidup di hati kita.

Akan tiba satu masa ketika anak enggan diajak pergi. Tetapi percayalah—itu bukan akhir dari kedekatan, melainkan babak baru dari hubungan yang tumbuh lebih dewasa.

Cinta orangtua dan anak, sejatinya tidak diukur dari seberapa sering berjalan bersama, melainkan dari seberapa dalam mereka tahu, kita selalu menunggu di rumah.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Saat Anak Enggan Diajak Ayahnya Pergi"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau