Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Iwan Berri Prima
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Iwan Berri Prima adalah seorang yang berprofesi sebagai Dokter. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Sudah Tidak Mau Pelihara, Kok Malah Hewannya Dibuang?

Kompas.com - 16/10/2025, 15:32 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Kadang suara itu berasal dari balik semak, selokan, atau kardus kosong di pinggir jalan. Seekor anak kucing, sendirian, menggigil, menunggu ibunya yang tak akan kembali.

Fenomena membuang anak kucing bukan hal baru di banyak kota di Indonesia. Dari gang sempit di pemukiman padat hingga sudut-sudut perumahan elit, cerita serupa terus berulang.

Setiap pekan, para relawan penyelamat hewan menerima laporan anak kucing dibuang, ditinggalkan di depan rumah orang, bahkan diletakkan diam-diam di depan shelter yang sudah penuh sesak.

Di satu sisi, masyarakat kita dikenal hangat dan penuh empati. Namun, di sisi lain, masih banyak yang menganggap kucing—terutama yang lahir tanpa rencana—sebagai “beban” yang mudah dilepaskan begitu saja.

Ketika Dibuang Bukan Lagi Solusi

Di balik setiap kotak kardus berisi anak kucing, ada kisah tentang kelalaian dan ketidaktahuan.

Padahal, kucing kecil yang baru lahir belum bisa bertahan hidup sendiri. Mereka mudah kelaparan, kedinginan, atau terserang penyakit. Banyak yang akhirnya mati dalam diam, tanpa pernah merasakan kasih sayang atau rumah yang aman.

Relawan dari salah satu komunitas penyayang hewan di Bekasi mengaku, setiap minggu mereka mengevakuasi 5–7 anak kucing dari jalanan. “Sebagian masih hidup, sebagian sudah tidak tertolong,” ujarnya pelan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pembuangan hewan bukan sekadar kasus insidental, melainkan masalah kesejahteraan hewan yang mendesak untuk diperhatikan.

Mengapa Hewan Tidak Boleh Dibuang?

Membuang anak kucing bukan hanya tindakan kejam, tapi juga membawa dampak luas—bagi hewan, lingkungan, dan manusia itu sendiri.

Mereka tidak punya kemampuan bertahan.
Anak kucing yang dibuang mudah mati kelaparan, diserang hewan lain, atau tertabrak kendaraan. Tanpa induk, peluang hidup mereka nyaris nol.

Menimbulkan risiko penyakit dan pencemaran.
Hewan yang tidak terawat bisa menjadi pembawa penyakit seperti jamur, parasit, atau infeksi kulit yang dapat menular ke hewan lain bahkan manusia.

Menambah beban sosial dan lingkungan.
Populasi kucing liar yang terus bertambah menyebabkan bau, kotoran, dan konflik warga yang merasa terganggu.

Sementara itu, shelter dan komunitas penyelamat kewalahan menampung hewan-hewan baru.

Menyebabkan siklus tanpa akhir.
Kucing yang dibuang dan berhasil bertahan akan berkembang biak lagi. Tanpa kontrol, jumlahnya meningkat eksponensial, menciptakan rantai pembuangan yang tak pernah selesai.

Melanggar tanggung jawab moral sebagai pemilik. Ketika seseorang memilih memelihara hewan, ia juga memikul tanggung jawab atas hidupnya—termasuk keturunannya. Membuang berarti mengingkari komitmen itu.

Sterilisasi, Solusi yang Sering Terlupakan

Salah satu cara paling efektif untuk mencegah lahirnya anak-anak kucing tanpa rumah adalah dengan sterilisasi (spaying/neutering).

Program ini tidak hanya menekan angka kelahiran, tetapi juga meningkatkan kesehatan hewan dan mengurangi perilaku agresif.

Beberapa kota di Indonesia telah menjalankan program sterilisasi massal, baik oleh pemerintah daerah maupun bekerja sama dengan komunitas pecinta hewan.

Namun, tantangan terbesarnya justru ada pada kesadaran masyarakat. Masih banyak pemilik kucing yang belum memahami pentingnya sterilisasi, atau menganggapnya mahal dan tidak perlu.

Padahal, biaya sterilisasi jauh lebih kecil dibandingkan risiko dan penderitaan akibat pembuangan.

Memberi Makan Saja Tidak Cukup

Banyak warga dengan niat baik memberi makan kucing liar di sekitar rumah. Namun, jika tidak diiringi kontrol populasi, tindakan ini justru memperbanyak jumlah kucing tanpa pemilik.

Memberi makan boleh, tetapi sebaiknya diikuti dengan langkah lebih bertanggung jawab: membantu sterilisasi, mencarikan adopter, atau berkoordinasi dengan shelter terdekat.

Adopsi, Jalan Kecil yang Mengubah Nasib

Setiap kucing yang diadopsi berarti satu nyawa terselamatkan.
Adopsi bukan hanya memberi rumah, tapi juga kesempatan hidup yang layak. Kini, banyak komunitas dan shelter membuka program adopsi gratis atau bersyarat ringan—calon pemilik hanya perlu komitmen dan kasih sayang.

Jika belum siap memelihara, ada cara lain membantu: menyumbang makanan, obat, atau waktu untuk membantu relawan. Setiap tindakan kecil berarti.

Perlu Dukungan Sistemik dari Pemerintah

Masalah kesejahteraan hewan seharusnya bukan beban individu semata.

Sudah saatnya pemerintah daerah memasukkan urusan kesehatan dan pengendalian hewan ke dalam program wajib, bukan pilihan. Dengan begitu, layanan vaksinasi, sterilisasi, hingga penanganan hewan terlantar bisa memiliki anggaran dan struktur kerja yang jelas.

Pemerintah pusat sendiri melalui Kementerian Pertanian telah menggagas revisi Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan agar lebih berpihak pada perlindungan hewan kesayangan.

Langkah ini patut didukung, agar regulasi dan implementasi di lapangan makin kuat.

Cermin Kemanusiaan Kita

Mahatma Gandhi pernah berkata, “Kebesaran suatu bangsa dan kemajuan moralnya dapat dinilai dari cara ia memperlakukan hewan.”

Kutipan ini seolah mengingatkan kita: ukuran kemajuan tidak hanya soal teknologi atau ekonomi, tapi juga seberapa besar empati kita terhadap makhluk lemah yang tak bisa bersuara.

Membuang anak kucing mungkin tampak sepele, tapi di situlah letak ujian nurani kita.
Apakah kita memilih jalan mudah—atau jalan yang benar?

Suatu hari nanti, semoga tak ada lagi tangisan kecil di balik kardus di pinggir jalan. Hanya suara dengkuran tenang dari hewan yang merasa aman—karena manusia akhirnya belajar untuk peduli.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Hentikan Kebiasaan Membuang Anak Kucing Sekarang Juga"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau