
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kadang suara itu berasal dari balik semak, selokan, atau kardus kosong di pinggir jalan. Seekor anak kucing, sendirian, menggigil, menunggu ibunya yang tak akan kembali.
Fenomena membuang anak kucing bukan hal baru di banyak kota di Indonesia. Dari gang sempit di pemukiman padat hingga sudut-sudut perumahan elit, cerita serupa terus berulang.
Setiap pekan, para relawan penyelamat hewan menerima laporan anak kucing dibuang, ditinggalkan di depan rumah orang, bahkan diletakkan diam-diam di depan shelter yang sudah penuh sesak.
Di satu sisi, masyarakat kita dikenal hangat dan penuh empati. Namun, di sisi lain, masih banyak yang menganggap kucing—terutama yang lahir tanpa rencana—sebagai “beban” yang mudah dilepaskan begitu saja.
Ketika Dibuang Bukan Lagi Solusi
Di balik setiap kotak kardus berisi anak kucing, ada kisah tentang kelalaian dan ketidaktahuan.
Padahal, kucing kecil yang baru lahir belum bisa bertahan hidup sendiri. Mereka mudah kelaparan, kedinginan, atau terserang penyakit. Banyak yang akhirnya mati dalam diam, tanpa pernah merasakan kasih sayang atau rumah yang aman.
Relawan dari salah satu komunitas penyayang hewan di Bekasi mengaku, setiap minggu mereka mengevakuasi 5–7 anak kucing dari jalanan. “Sebagian masih hidup, sebagian sudah tidak tertolong,” ujarnya pelan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pembuangan hewan bukan sekadar kasus insidental, melainkan masalah kesejahteraan hewan yang mendesak untuk diperhatikan.
Mengapa Hewan Tidak Boleh Dibuang?
Membuang anak kucing bukan hanya tindakan kejam, tapi juga membawa dampak luas—bagi hewan, lingkungan, dan manusia itu sendiri.
Mereka tidak punya kemampuan bertahan.
Anak kucing yang dibuang mudah mati kelaparan, diserang hewan lain, atau tertabrak kendaraan. Tanpa induk, peluang hidup mereka nyaris nol.
Menimbulkan risiko penyakit dan pencemaran.
Hewan yang tidak terawat bisa menjadi pembawa penyakit seperti jamur, parasit, atau infeksi kulit yang dapat menular ke hewan lain bahkan manusia.
Menambah beban sosial dan lingkungan.
Populasi kucing liar yang terus bertambah menyebabkan bau, kotoran, dan konflik warga yang merasa terganggu.
Sementara itu, shelter dan komunitas penyelamat kewalahan menampung hewan-hewan baru.
Menyebabkan siklus tanpa akhir.
Kucing yang dibuang dan berhasil bertahan akan berkembang biak lagi. Tanpa kontrol, jumlahnya meningkat eksponensial, menciptakan rantai pembuangan yang tak pernah selesai.
Melanggar tanggung jawab moral sebagai pemilik. Ketika seseorang memilih memelihara hewan, ia juga memikul tanggung jawab atas hidupnya—termasuk keturunannya. Membuang berarti mengingkari komitmen itu.
Sterilisasi, Solusi yang Sering Terlupakan
Salah satu cara paling efektif untuk mencegah lahirnya anak-anak kucing tanpa rumah adalah dengan sterilisasi (spaying/neutering).
Program ini tidak hanya menekan angka kelahiran, tetapi juga meningkatkan kesehatan hewan dan mengurangi perilaku agresif.
Beberapa kota di Indonesia telah menjalankan program sterilisasi massal, baik oleh pemerintah daerah maupun bekerja sama dengan komunitas pecinta hewan.
Namun, tantangan terbesarnya justru ada pada kesadaran masyarakat. Masih banyak pemilik kucing yang belum memahami pentingnya sterilisasi, atau menganggapnya mahal dan tidak perlu.
Padahal, biaya sterilisasi jauh lebih kecil dibandingkan risiko dan penderitaan akibat pembuangan.
Memberi Makan Saja Tidak Cukup
Banyak warga dengan niat baik memberi makan kucing liar di sekitar rumah. Namun, jika tidak diiringi kontrol populasi, tindakan ini justru memperbanyak jumlah kucing tanpa pemilik.
Memberi makan boleh, tetapi sebaiknya diikuti dengan langkah lebih bertanggung jawab: membantu sterilisasi, mencarikan adopter, atau berkoordinasi dengan shelter terdekat.
Adopsi, Jalan Kecil yang Mengubah Nasib
Setiap kucing yang diadopsi berarti satu nyawa terselamatkan.
Adopsi bukan hanya memberi rumah, tapi juga kesempatan hidup yang layak. Kini, banyak komunitas dan shelter membuka program adopsi gratis atau bersyarat ringan—calon pemilik hanya perlu komitmen dan kasih sayang.
Jika belum siap memelihara, ada cara lain membantu: menyumbang makanan, obat, atau waktu untuk membantu relawan. Setiap tindakan kecil berarti.
Perlu Dukungan Sistemik dari Pemerintah
Masalah kesejahteraan hewan seharusnya bukan beban individu semata.
Sudah saatnya pemerintah daerah memasukkan urusan kesehatan dan pengendalian hewan ke dalam program wajib, bukan pilihan. Dengan begitu, layanan vaksinasi, sterilisasi, hingga penanganan hewan terlantar bisa memiliki anggaran dan struktur kerja yang jelas.
Pemerintah pusat sendiri melalui Kementerian Pertanian telah menggagas revisi Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan agar lebih berpihak pada perlindungan hewan kesayangan.
Langkah ini patut didukung, agar regulasi dan implementasi di lapangan makin kuat.
Cermin Kemanusiaan Kita
Mahatma Gandhi pernah berkata, “Kebesaran suatu bangsa dan kemajuan moralnya dapat dinilai dari cara ia memperlakukan hewan.”
Kutipan ini seolah mengingatkan kita: ukuran kemajuan tidak hanya soal teknologi atau ekonomi, tapi juga seberapa besar empati kita terhadap makhluk lemah yang tak bisa bersuara.
Membuang anak kucing mungkin tampak sepele, tapi di situlah letak ujian nurani kita.
Apakah kita memilih jalan mudah—atau jalan yang benar?
Suatu hari nanti, semoga tak ada lagi tangisan kecil di balik kardus di pinggir jalan. Hanya suara dengkuran tenang dari hewan yang merasa aman—karena manusia akhirnya belajar untuk peduli.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Hentikan Kebiasaan Membuang Anak Kucing Sekarang Juga"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang