
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Para siswa memahami bahwa menghabiskan makanan bukan hanya soal sopan santun, tetapi juga tanggung jawab sosial dan bentuk penghargaan terhadap sumber daya alam.
Sampah makanan yang sudah terkumpul di Korea Selatan pun tidak langsung dibuang. Pemerintah mengelolanya kembali menjadi pupuk organik, pakan ternak, hingga energi biomassa.
Sistem daur ulang ini menutup siklus limbah secara efisien—dari meja makan kembali ke tanah, dari sisa makanan menjadi sumber energi baru.
Tak heran jika perilaku disiplin ini kini menjadi bagian dari budaya Korea modern.
Menyisakan makanan dianggap bukan hanya pemborosan, tapi juga bentuk kurangnya empati terhadap lingkungan. Nilai itu tumbuh kuat di kalangan anak muda, termasuk di ruang-ruang kelas.
Melihat kedisiplinan itu, saya jadi berpikir: mungkinkah sistem serupa diterapkan di sekolah-sekolah Indonesia?
Tentu perlu disesuaikan dengan kondisi lokal, termasuk pendekatan budaya dan infrastruktur yang mendukung.
Namun, semangat di baliknya—menghargai makanan dan mengurangi sampah—adalah nilai universal yang bisa kita mulai dari mana pun, bahkan dari piring makan siang anak sekolah.
Mungkin, dari satu langkah sederhana untuk tidak menyisakan nasi di piring, kita bisa ikut menyumbang perubahan besar bagi bumi.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Sistem Clean Eating di Sekolah Korea Selatan yang Sukses Kurangi Sampah"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang