
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Apa yang terngiang darimu ketika mendengar kata "Kwitang"?
Pertanyaan itu berputar di kepala saya saat langkah demi langkah menuntun menuju kawasan yang dulu begitu lekat dengan dunia perbukuan Jakarta.
Nama Kwitang pernah menjadi semacam legenda bagi para pemburu buku—tempat yang mana halaman-halaman pengetahuan menumpuk di atas trotoar, menunggu untuk disentuh, dibuka, dan dibaca.
Dulu, di sepanjang jalan ini, tumpukan buku seperti tak pernah ada habisnya. Novel-novel lawas, buku pelajaran, karya sastra klasik, hingga majalah-majalah lama, semuanya bisa ditemukan di satu tempat. Kini, suasana itu sudah mereda.
Namun, bagi sebagian orang—terutama mereka yang tumbuh dengan aroma buku bekas—nama Kwitang tetap menyimpan gema nostalgia.
Saya pertama kali mengenal Kwitang bukan dari pengalaman langsung, melainkan lewat film Ada Apa Dengan Cinta? (AADC) yang legendaris itu.
Sejak menonton adegan Cinta dan Rangga berbincang di toko buku, saya berjanji dalam hati: suatu hari nanti, saya harus datang ke sana.
Butuh waktu lebih dari sepuluh tahun untuk menepati janji itu. Hari itu, bertepatan dengan ulang tahun seorang sahabat, kami memutuskan berkunjung ke Kwitang.
Dari Stasiun Gondangdia, kami berjalan kaki menempuh jarak sekitar satu setengah kilometer. Cuaca panas khas Jakarta tidak mampu menandingi rasa penasaran yang sudah lama mengendap.
Namun ketika sampai, saya harus mengakui: Kwitang tak lagi seramai cerita yang dulu saya dengar. Hanya segelintir kios yang bertahan.
Seorang pedagang bercerita, banyak rekan-rekannya sudah pindah ke Pasar Kenari, Thamrin City, hingga Blok M. Yang tersisa kini hanya beberapa toko kecil di Jalan Kramat Buntu dan satu toko utama di Jalan Habib Ali Kwitang.
Kami memulai langkah di “Toko Buku Restu.” Pemiliknya ramah, menyapa dengan senyum, lalu mengarahkan kami ke deretan buku bekas yang dijual murah.
Ada majalah Tempo, Intisari, hingga novel-novel Inggris bergambar nyentrik—kadang dengan ilustrasi yang membuat kami tertawa kecil.
Di antara tumpukan itu, saya menemukan buku Madilog karya Tan Malaka dengan label “Ori”. Ketika ditanya harganya, sang penjual menjawab sekitar Rp140 ribu. Tak murah, tapi bagi penggemar buku, selalu ada nilai sentimental yang tak bisa diukur uang.
Perburuan kami berlanjut ke Pasar Buku Kwitang. Di sana, beberapa penjual masih setia menjaga lapaknya. “Cari buku apa?” tanya salah satu pedagang begitu kami mendekat.