Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sebuah liputan investigasi yang dilakukan Kompas baru-baru ini tentang perjokian di dunia akademis, terutama dalam dunia tulis-menulis menunjukkan perjokian ini telah mengajar dari level sekolah hingga perguruan tinggi.
Dari hasil investigasi Kompas tersebut kita tahu bahwa praktik buruk ini sudah terlalu lama dibiarkan, bahkan dianggap sudah menjadi kelaziman.
Perlu diakui memang karya tulis yang ditengarai Kompas sebagai hasil joki membuat miris. Apalagi alasannya kebanyakan karena sifat malas dan pengguna jasa joki memang memiliki cukup uang.
Alhasil, antara joki dan pengguna jasa malah membentuk hubungan simbiosis mutualisme.
Di sini saya ingin membahas tentang joki yang kadang disamakan dengan penulis bayangan (ghostwriter). Saya pernah menolak dan sampai sekarang menolak bahwa joki atau calo karya tulis sama dengan terminologi ghostwriter.
Seorang mahasiswa prodi komunikasi pernah ingin mengangkat fenomena ini ke dalam karya tulis ilmiahnya dan ia menyebut para penulis itu adalah ghostwriter. Saya menyangkal hal tersebut.
Saya memosisikan ghostwriter sebagai profesi legal, yang juga saya lakoni sejak dulu hingga kini.
Ghostwriter bekerja sesuai dengan standar, kaidah, dan kode etik penulisan. Hanya beberapa jenis karya tulis yang dikerjakan seorang ghostwriter dengan konsekuensi namanya tidak dikreditkan/dicantumkan di karya tulis tersebut.
Oleh karenanya, seorang ghostwriter sangat relevan untuk mengerjakan karya tulis berikut.:
Dalam buku PR Writing: Pengantar dan Aplikasi di Era Digital yang ditulis oleh Halida Bahri dan Masriadi Sambo (2021) terdapat satu bab khusus tentang ghostwriter.
Keduanya menyatakan bahwa praktisi PR atau Public Relation terkadang menjadi penulis bayangan--tahun 1970-1980-an muncul istilah “penulis siluman”.
Penulis bayangan di sini didefinisikan sebagai penulis yang mengerjakan karya tulis untuk keperluan orang lain dengan ciri namanya tidak disebutkan sebagai penulis.
Hal yang kerap digugat tentu persoalan etis dari penulisan yang dikreditkan atas nama orang lain ini. Bagi saya, hal tersebut etis sepanjang ada kontrak/perjanjian antara ghostwriter dan klien.
Salah satu yang jadi sorotan saya adalah persoalan gagasan dan bahan memang sudah disediakan oleh klien. Dalam hal ini klien adalah pemilik gagasan (author) dari karya tulis itu.
Jadi, seorang ghostwriter sejatinya tidak menulis dari sesuatu yang tidak ada sama sekali. Minimal terdapat gagasan dan syukur-syukur tersedia bahan yang memadai. Namun, Bahri dan Sambo memerinci bahwa ghostwriter dapat saja bekerja dari nol.
Untuk pendapat ghostwriter dapat bekerja dari nol, termasuk ia yang harus menemukan gagasan dan mengembangkannya untuk orang lain, saya kurang setuju.
Jika demikian, persoalan etis tadi mengemuka. Apakah etis seseorang/kelompok mengakui karya tulis itu adalah karyanya tanpa berbuat apa pun hanya karena ia memiliki uang untuk membayar ghostwriter?
Itu sebabnya ada perbedaan istilah antara author dan writer. Author adalah seseorang yang memiliki gagasan atau kaya akan gagasan, tetapi belum tentu mampu menulis.
Sementara writer adalah seseorang yang sangat terampil menulis, tetapi belum tentu memiliki gagasan. Hubungan antara author dan writer ini diwujudkan dengan penulisan kolaboratif.
Author dapat mengajak seseorang menulis dari nol dan ikut mengembangkan gagasan, mencari sumber penulisan, dan meriset sehingga orang itu dinamakan co-author.
Author juga dapat mengajak seseorang menulis tidak dari nol, melainkan telah tersedia cukup bahan dan hasil riset untuk dituliskan sehingga orang itu disebut co-writer---namanya turut dituliskan sebagai nama kedua atau nama ketiga.
Terakhir, author dapat meminta seseorang menulis bukan dari nol, melainkan telah tersedia cukup bahan dan hasil riset untuk dituliskan sehingga orang itu disebut ghostwriter karena namanya tidak dikreditkan/disebutkan sebagai penulis. Jalan tengah yang diambil biasanya nama ghostwriter muncul sebagai editor/penyunting.
Jika ghostwriter bekerja dari nol atas kontrak dari klien yang memiliki uang, ghostwriter memang tidak berbeda dengan joki tulisan. Ia menghasilkan karyanya sendiri untuk diakui sebagai karya orang lain.
Perbedaan pendapat soal ghostwriter ini memang terus terjadi seperti ditengarai oleh Bahri dan Sambo dalam bukunya.
Namun, saya tetap memandang ghostwriter sebagai profesi legal sepanjang ia memiliki batasan dalam mengerjakan tulisan untuk orang lain.
Penggunaan ghostwriter menjadi relevan jika seorang pengarang/pemilik gagasan (author) mengalami kesulitan menulis, seperti tidak mampu menulis dengan baik dan tidak memiliki waktu untuk menulis karena kesibukan luar biasa.
Dalam hal ini, seorang ghostwriter dapat membantu orang tersebut bukan semata persoalan uang, melainkan juga persoalan mengalirkan pengetahuan.
Pengetahuan seorang author yang menjadi klien ghostwriter dalam bentuk tacit knowledge dan ditransfer menjadi explicit knowledge melalui tulisan menjadi pekerjaan yang mulia meskipun ia dibayar.
Ya, jangan sampai seorang pakar lalu tiada bersama pengetahuan yang dikuasainya tanpa ada pewarisan dalam bentuk tulisan.
Ghostwriter dapat dilihat sebagai profesi dan dapat pula menjadi penugasan. Seseorang yang menjadi praktisi humas sering kali harus siap menjadi ghostwiter, terutama menyiapkan pidato pimpinan atau presentasi pimpinan.
Seseorang yang menjadi asisten atau staf ahli seorang pejabat atau pemimpin perusahaan sering juga melakoni diri sebagai ghostwriter. Ia bekerja (menulis) atas nama orang yang menggajinya.
Profesi lain yang erat kaitannya dengan tugas sebagai ghostwriter adalah seorang publisis. Publisis biasanya bekerja untuk seorang tokoh/figur publik atau institusi tertentu.
Seorang publisis bertugas mengelola semua publikasi dan publisitas kliennya, terutama dalam bentuk tertulis.
Jika Anda melihat seorang tokoh hadir dengan tulisan-tulisan yang rutin di media sosial atau media daring, mungkin ia mempekerjakan seorang publisis.
Tahun 2003--2008 saat bekerja sebagai direktur utama di PT MQ Publishing lalu PT MQS, saya kerap berperan sebagai ghostwriter untuk Aa Gym.
Saya juga menugaskan staf untuk mengisi rubrik yang disediakan di beberapa media massa berkala sebagai "kapling" untuk Aa Gym.
Di Republika pada masa itu ada suplemen MQ sehingga saya dan staf penulis mengisi tulisan itu atas nama Aa Gym. Alasannya karena pada saat itu tidak ada waktu bagi da'i seperti Aa Gym menulis secara rutin.
Salah satu tugas yang saya ingat adalah ketika saya harus mengisi sebuah rubrik tentang spiritualitas olahraga di Tabloid Bola.
Saat itu saya harus mengisi rubrik tersebut dan mengupas berbagai fenomena olahraga dari kacamata spiritualitas atas nama Aa Gym.
Apakah gagasan tulisan itu berasal dari saya? Sejatinya tidak, karena tulisan itu dikembangkan dari gagasan Aa Gym sendiri tentang manajemen qolbu.
Pada waktu itu, sebagai seorang ghostwriter Aa Gym, saya mencoba mengalibrasi sosok Aa Gym, terutama pemikirannya.
Salah satu caranya adalah saya rutin membaca tulisan-tulisan sebelumnya dan mendengarkan kaset ceramah beliau pada zaman itu.
Dengan demikian, gaya bahasa yang muncul pada buku itu saya usahakan adalah gaya bahasa Aa Gym. Saya tidak menulis keluar dari "pakem" Aa Gym dan tidak sesuai dengan pemikirannya.
Sejatinya pekerjaan ghostwriter itu memang “rahasia”. Ghostwriter tidak boleh menyebut bahwa ia bekerja menuliskan karya si anu atau si fulan karena terikat dengan kontrak/perjanjian.
Akan tetapi, terkadang terjadi kelucuan juga. Dalam acara peluncuran buku atau bedah buku, klien justru menyebut nama ghostwriter yang bekerja untuknya.
Saya juga jadi menyebut tugas ghostwriter untuk Aa Gym. Namun, itu bukan "rahasia", melainkan sudah rahasia umum.
Meski begitu, dalam beberapa referensi yang saya baca, seorang ghostwriter tidak selalu namanya tidak disebutkan.
Terkadang dalam karya seperti biografi/autobiografi/memoar, nama ghostwriter muncul dengan kalimat: sebagaimana dikisahkan kepada .... (as told to....).
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ghostwriter (Semestinya) Bukan Joki Tulisan"
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.