Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pada tahun 90-an di Enokiu hanya ada empat rumah yang memiliki TV. Tiga rumah di antaranya memiliki TV berantena Ultra High Frequency (UHF) dan satu rumah lagi dengan antena parabola.
Biasanya sebagai anak-anak, kami menumpang menonton di rumah yang memiliki TV berantena UHF. TV yang mereka miliki adalah TV dengan layar hitam-putih dan satu rumah lagi TV dengan layar berwarna.
Namun, kedua TV ini memiliki kesamaan yakni selalu menampilkan gambar dengan noise atau bintik-bintik putih.
Antena TV yang dipasang menggunakan tiang bambu terkadang mesti diputar demi mendapat tampilan gambar yang lebih jernih.
Pada waktu itu, saluran TV yang biasa kami tonton adalah TVRI dengan berbagai program berita dan hiburannya.
Sementara bila ingin menikmati tayangan lain seperti film Wiro Sableng, kami akan pergi ke pusat kota Kelurahan Niki-niki setiap hari Minggu.
Di sana sejumlah pengusaha Tionghoa memiliki TV dengan antena parabola, sehingga saluran TV yang bisa dinikmati menjadi lebih banyak.
Di akhir tahun 90-an, beberapa orang di kampung kami mulai banyak yang membeli TV berwarna meski tetap menggunakan antena UHF.
Umumnya, TV yang dimiliki masih bermodel tabung dengan ukuran standar 14 inchi. Siaran yang bisa dinikmati juga masih dari TVRI.
Kemunculan Video Compact Disc (VCD) pada tahun 2000-an, membuat banyak orang yang sudah memiliki TV mulai membeli VCD player untuk disambungkan ke TV.
Dengan populernya VCD di kampung kami, kami jadi bisa mendengarkan lagu atau film sepuasnya yang hanya membutuhkan kaset berupa piringan ke dalam VCD player tersebut.
Kemunculan VCD ini juga dibarengi dengan marak beredarnya pilihan kaset dengan berbagai genre lagu dan film di pasaran. Selain di pasaran, banyak juga bermunculan tempat-tempat penyewaan kaset VCD.
Semasa SMP, salah satu teman sekampung sering mendapat pinjaman kaset VCD dari teman-temannya. Biasanya sepulang sekolah kami membawa kaset-kaset pinjaman tersebut ke rumah teman yang memiliki VCD player untuk kemudian menontonnya bersama-sama.
Salah satu ciri khas ketika menonton film dari VCD ini terkadang di tengah-tengah, film tersendat dikarenakan terdapat goresan di kasetnya atau gangguan lain.
Biasanya untuk mengatasi kendala ini kami cukup menekan tombol Fast Forward (FF) untuk melewati bagian film yang tersendat tersebut.
Atau juga bisa sebelum memasukkan kaset ke dalam player, kami terlebih dahulu membersihkannya dengan cara mengelap menggunakan kain.
Film yang biasa kami nikmati adalah film laga atau perang dari Barat yang diperankan oleh Chuck Norris, Arnold Schwazenegger, Silvester Stallone, Steven Seagal, Jean-Claude van Damme, Dolph Lundgren, Mel Gibson, dll.
Selain itu kami juga menikmati film Mandarin yang dierankan oleh Bruce Lee, Jet Li, Jackie Chen, dll. Sementara film domestik kebanyakan film-film pendekar seperti Wiro Sableng, Mak Lampir, Si Buta dari Gua Hantu, Jaka Tingkir, dll.
Setelah era VCD, kemudian muncul Digital Versatike Disc yang memiliki teknologi lebih canggih, seperti format video dan fitur yang lebih unggul dibandingkan VCD.
Dengan antena parabola ini, mereka jadi bisa menonton siaran berbagai saluran tv via satelit. Pemasangan antena parabola ini membuat tampilan gambar di layar TV juga lebih terang dan tidak ada bintik-bintik putih alias noise.
Pada masa ini kami mulai menumpang menonton di tempat tetangga kami yang memiliki TV dengan antena parabola. Siaran yang kami biasa tonton seperti kartun Tom and Jerry, sinetron, atau berita. Semua itu tergantung dengan selera tontonan si tuan rumah.
Tak ketinggalan kami juga biasa menikmati siaran pertandingan tinju setiap hari Minggu yang menampilkan berbagai petinju, seperti Chris John, Manny Paquiao, Bernard Hopkins, Oscar De La Hoya, Manuel Marquez, atau Floyd Mayweather Jr, dll.
Apalagi ketika yang bertanding adalah Chris John, petinju asal Indonesia, pasti rumah itu akan dipenuhi warga lain yang ikut menyaksikan pertandingan tinju tersebut.
Selain pertandingan tinju, nonton bareng juga akan terjadi ketika di TV menyiarkan balapan MotoGP. Di masa-masa ini nama pebalap Valentino Rossi masih berada di masa kejayaanya. Tak heran semua kalangan mulai dari anak-anak hingga orang dewasa sangat antusias menikmati siaran balapan MotoGP ini.
Seiring berjalannya waktu, saat ini orang-orang di kampung kami tak lagi terlihat memenuhi satu rumah demi bisa menonton TV. Sebab, kebanyakan masyarakat kampung kami sudah banyak yang memiliki TV dengan antena parabola sendiri.
Ditambah lagi siaran-siaran olahraga seperti tinju dan MotoGP tidak lagi free to air, melainkan acak sehingga tidak ada lagi nonton bareng di rumah-rumah.
Faktor lain seperti kemunculan smartphone android beberapa tahun lalu juta turut memengaruhi aktivitas masyarakat dalam menonton TV.
Mulai dari anak-anak hingga orangtua dewasa ini hampir semua memiliki smartphone android yang bisa digunakan untuk mengakses segala informasi dan hiburan seperti film dan lagu di mana saja dan kapan saja dengan mudah.
Dengan hadirnya smartphone ini, aktivitas menonton TV mulai perlahan-lahan ditinggalkan oleh masyarakat kampung kami.
Demikianlah sekilas potret aktivitas menonton TV dalam kurun tiga dekade terakhir ini di kampung kami di Timor. Kisah ini juga pasti mirip atau sama dengan kisah dari daerah lain di berbagai penjuru Indonesia.
Perkembangan teknologi ini rupanya berdampak pada kehidupan sosial masyarakat. Jika dahulu orang sekampung biasa beramai-ramai nonton tv di salah satu rumah, kini hampir setiap rumah sudah memiliki TV sendiri. Tidak perlu lagi ke rumah tetangga untuk nonton.
Jika dahulu sekeluarga bisa beramai-ramai nonton TV dalam satu ruangan, kini tiap anggota keluarga asyik sendiri dengan HP di kamar masing-masing.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Perkembangan Aktivitas Nonton TV dalam Tiga Dekade Terakhir"