Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sementara itu, di mata sesama aparat hukum, Satpol PP dianggap sebagai penegak hukum tindak pidana ringan (Tipiring) saja. Artinya Satpol PP hanya menyidik dan menegakkan hukum kepada masyarakat yang melakukan kejahatan atau pelanggaran kecil-kecilan.
Pandangan-pandangan soal Satpol PP itu sebenarnya bagi para pekerja Satpol PP sendiri dianggap biasa saja. Akan tetapi, pandangan seperti itu membuat kesan Satpol PP seolah-olah “tajam ke bawah, tumpul ke atas.”
Padahal ketika sedang bekerja melakukan kegiatan penertiban, pengawasan, atau sosialisasi peraturan daerah, mereka yang terkena penertiban tersebut kerap “menjual” nama orang besar dan berkuasa sebagai legitimasi pelanggaran yang dilakukannya.
Tak jarang kalimat-kalimat seperti "Saya ikut pak Haji X, Pak. Kalo punya saya ditertibkan tolong tertibkan juga punya beliau" atau "Saya hanya menjalankan usaha ini, yang punya bapak (pejabat atau anggota DPRD)." Tentu saja semuanya adalah alasan agar pelanggaran yang dilakukan tidak ditertibkan.
Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 255 ayat (1) Satpol PP dibentuk untuk menegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah (Perda dan Perkada), menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan perlindungan masyarakat.
Dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut, Satpol PP memiliki kewenangan melakukan tindakan penertiban non-yustisial, melakukan penindakan, melakukan penyelidikan, dan melakukan tindakan administratif kepada warga masyarakat, aparatur atau badan hukum yang melakukan atau diduga melakukan pelanggaran terhadap Perda atau Perkada.
Jika ditemukan pelanggaran perda atau perkada, baik oleh masyarakat biasa, aparatur/badan hukum, tentu saja para petugas Satpol PP tidak pandang bulu.
Aparat yang melanggar hukum pun harus diperlakukan sama, baik mereka yang memiliki golongan/pangkat rendah maupun yang memiliki jabatan tinggi.
Selain itu badan hukum atau perusahaan juga mesti diperlakukan sama, tidak ada perlakuan khusus bagi mereka yang melakukan pelanggaran.
Dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia Perda menempati urutan yang paling akhir karena perda dibuat untuk melaksanakan otonomi dan tugas perbantuan di daerah, menampung kondisi khusus dan/atau penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Selain undang-undang, Perda merupakan salah satu sumber hukum pidana. Maka dari itu akan mustahil bila sebuah UU No. 11 Tahun 2012 yang mengatur pembentukan peraturan termasuk Perda mendiskriminasi pemidanaan warga masyarakat berdasarkan keadaan sosial ekonominya, atau memberikan kewenangan kepada daerah hanya boleh mengurusi tindak pidana ringan sementara yang biasa atau berat harus ditegakkan oleh lembaga atau instansi penegak lain.
Sebgai gambaran, Kabupaten Barito Utara memiliki 19 Perda yang di dalamnya terdapat sanksi pidana dan hanya 5 dari 19 Perda tersebut yang memiliki sanksi pidana ringan atau dikategorikan sebagai tindak pidana ringan yang hukuman kurungannya paling lama 3 bulan.
Meski memang pada 19 Perda tersebut tindakan yang akan dikenakan sanksi pidana adalah pelanggaran, bukan kejahatan. Artinya, terbukti tidak semua pelanggaran adalah tindak pidana ringan dan ada beberapa kejahatan yang masuk dalam kategori tindak pidana ringan.
Biasanya jumlah pelanggaran terhadap perda terbesar adalah PKL. Kesan Satpol PP sebagai musuh PKL dapat dimaklumi meskipun secara hukum musuh Satpol PP adalah pelanggar Perda, baik warga masyarakat, aparatur, maupun badan hukum.
Tak jarang badan hukum/perusahaan juga mengira bahwa Satpol PP hanya mengurusi masyarakat kecil, PKL, serta para pedagang di pasar.
Padahal jika di sebuah daerah terdapat perda yang mengatur soal aktivitas perusahaan di daerah tersebut lalu kemudian ada perusahaan yang melanggar, maka Satpol PP juga akan melakukan tindakan tegas yang sama dengan siapapun yang melanggar hukum.
Demi memastikan Satpol PP mampu melaksanakan tugas dengan tanpa pandang bulu, kualitas dan kuantitas sumber daya Satpol PP harus terus ditingkatkan.
Sebagai ASN yang memiliki kewenangan menindak langsung, Satpol PP harus memahami betul tugas serta fungsinya, di samping itu juga harus berani mengambil tindakan terutama non-yustisi kepada setiap pelanggar dan secara tepat merumuskan siapa saja pelanggar yang memiliki dampak kesalahan yang besar.
Penindakan Yustisia pun tidak boleh dilakukan oleh semua anggota Satpol PP. Penindakan itu hanya boleh dilakukan oleh anggota Satpol PP yang memiliki kualifikasi sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
PPNS diharapkan tidak hanya memahami hukum beracara, bukan hanya acara tipiring namun juga hukum acara biasa dan memahami semua perda yang memiliki sanksi pidana sehingga tepat dan cepat mengidentifikasi pelanggar tidak hanya yang tampak didepan mata seperti halnya PKL.
Penegakan hukum di Satpol PP tentu membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai. Sarana yang mampu melindungi anggota dan masyarakat, kendaraan yang resmi dan layak pakai tentu memiliki kewibawaan yang lebih seperti halnya seragam yang rapi dan lengkap.
Terakhir kesejahteraan anggota Satpol PP sering luput dari perhatian padahal dari sisi penegakan hukum, anggota yang sejahtera tentu akan memiliki harga diri yang lebih tinggi dan berani mengatakan tidak kepada usaha usaha yang meruntuhkan penegakan hukum bukan hanya dari PKL tapi juga oleh aparatur bahkan badan hukum atau perusahaan.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Satpol PP, Tajam ke Bawah Tumpul ke Atas?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.