Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Perubahan nama sebuah instansi atau institusi tak dapat dimungkiri adalah sesuatu yang wajar, meski tetap tergantung pada visi dan misi serta peraturan/perundangan yang berlaku.
Begitu juga saat perguruan tinggi beramai-ramai mengubah status dari IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) menjadi Universitas pada akhir tahun 1990.
Di tahun itu terdapat kurang lebih sebelas perguruan tinggi yang berubah, dua di antaranya adalah IKIP Karangmalang (menjadi Universitas Negeri Yogyakarta) dan IKIP Sanata Dharma (Universitas Sanata Dharma).
Perubahan yang terjadi itu lantas menjadi momentum penting dalam mewujudkan cita-cita untuk menyetarakan kualitas IKIP dengan Universitas. Meskipun beberapa tahun kemudian kebijakan ini menuai kritik karena di beberapa daerah terjadi kekurangan guru berkualitas.
Secara pribadi saya juga pernah mengalami peristiwa pergantian nama, meski hanya setingkat nama fakultas saat kuliah. Ketika masuk semester pertama bernama Fakultas Sastra dan Kebudayaan, begitu akan lulus namanya berubah menjadi Fakultas Sastra terhitung mulai Oktober 1982 dan berganti lagi menjadi Fakultas Ilmu Budaya UGM sejak Juni 2001.
Fakultas satu ini memang sering berganti nama, mulai dari Faculteit Sastra, Filsafat, dan Keboedajaan (Maret 1946), Faculteit Sastra dan Filsafat (Desember 1949), sampai Faculteit Sastra, Pedagogik, dan Filsafat (berlaku hingga Oktober 1955). Mungkin perubahan dari Fakultas Sastra ke Fakultas Ilmu Budaya didasarkan pada pemikiran bahwa sastra merupakan bagian dari kebudayaan.
Ketika mendengar wacana Kementerian Kebudayaan mestinya berdiri sendiri yang diungkapkan dalam Kongres Bahasa tahun ini, saat itu pula terbayang contoh-contoh kecil yang terjadi di Yogyakarta.
Dulu, ketika Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta dipisahkan dari Dinas Pariwisata DIY--semula bernama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY--hal ini berkaitan dengan strategi memantapkan Yogyakarta sebagai daerah "istimewa" sekaligus memaksimalkan dana yang diperoleh dari pusat.
Menurut keterangan yang terdapat di laman Dinas Kebudayaan DIY dijelaskan bahwa jauh sebelum terbentuknya Disbudpar DIY, urusan kebudayaan pada awalnya (juga) menjadi wewenang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DIY.
Melalui Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 353/KPTS/1994 tanggal 26 Oktober 1994 tentang Pembentukan Dinas Kebudayaan Provinsi DIY, maka urusan kebudayaan menjadi dinas tersendiri, yaitu Dinas Kebudayaan DIY, di samping ada Dinas Pendidikan dan Pengajaran. Maka, pada tanggal 26 November 1997 dilakukan peresmian Dinas Kebudayaan DIY.
Selang empat tahun kemudian, sesuai dengan kebijakan pemerintah mengenai otonomi daerah, penyerahan kewenangan, dan urusan, pada tahun 2001 Dinas Kebudayaan DIY bergabung dengan Dinas Pariwisata DIY, Kanwil Pariwisata DIY, Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan DIY (Bidang Sejarah dan Nilai tradisi dan Bidang Museum dan Purbakala).
Dengan penggabungan itu maka namanya pun diubah menjadi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY. Dinas ini memiliki tugas untuk membantu melaksanakan segala urusan pemerintahan dan keistimewaan di bidang kebudayaan, merumuskan kebijakan teknis bidang kebudayaan, pemeliharaan dan pengembangan cagar budaya penanda keistimewaan Yogyakarta.
Lebih dari satu dekade kemudian, muncullah pertimbangan dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, untuk memisahkan kembali Dinas Kebudayaan, baik di pemerintah kabupaten maupun kota Yogyakarga.
Oleh karenanya struktur organisasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menjadi dua instansi. Tujuan dilakukannya pemisahan ini tak lain untuk mengoptimalkan serapan Dana Keistimewaan (Danais) yang diberikan pemerintah pusat sejak 2013.
"Tidak mungkin Danais bisa tercapai kalau pemerintah kabupaten maupun kota tidak melakukan perubahan organisasi pemerintahan di daerah," kata Sultan usai menghadiri syawalan bersama jajaran pejabat Pemkab Bantul (19/8/2014).
Menurut Sultan, perubahan struktur organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait langsung dengan Danais tersebut memang harus diupayakan, mengingat serapan Danais masih rendah, contohnya di Bantul dari dana 12,5 miliar rupiah baru terserap sekitar 2 miliar rupiah saja.
Sri Sultan kemudian berharap pada tahun 2015 sudah terbentuk kelembagaan, sehingga pada tahun 2016 atau setahun setelahnya pemisahan tersebut dapat terealisasi.
Dari peristiwa pemisahan dan perubahan itu jika dikaji lebih jauh memang urusan antara bidang pariwisata dan kebudayaan memiliki kepentingan yang berbeda.
Di satu sisi Dinas Pariwisata lebih berorientasi mendatangkan wisatawan sebanyak mungkin, sementara di sisi lain Dinas Kebudayaan bertujuan memunculkan roh budaya di masyarakat.
Meski begitu, keduanya tetap dapat bersinergi satu sama lain dalam melaksanakan event yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Hal ini tercermin dalam agenda kegiatan tahunan Dinas Pariwisata dengan mengedepankan kearifan budaya lokal yang diformulasikan oleh Dinas Kebudayaan DIY.
Peraturan Wali Kota Yogyakarta No. 113 Tahun 2020 Tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan); dan Peraturan Wali Kota Yogyakarta No. 133 Tahun 2020 Tentang Pembentukan Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Pada Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan), merupakan landasan kemandirian Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta dengan tugas melaksanakan urusan pemerintah daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas di bidang kebudayaan.
Dinas Kebudayaan memiliki beberapa fungsi, yakni merumuskan kebijakan teknis dalam urusan kebudayaan, menyelenggarakan urusan pemerintah dan pelayanan umum di bidang kebudayaan, melaksanaan koordinasi penyelenggaraan urusan di bidang kebudayaan, mengelola kesekretariatan meliputi perencanaan, umum, kepegawaian, keuangan, evaluasi, pelaporan; dan melaksanaan pengawasan, pengendalian evaluasi dan pelaporan di bidang kebudayaan.
Dari berbagai fungsi Dinas Kebudayaan tersebut lantas tercermin dalam kegiatan pemeliharaan serta pengembangan adat dan tradisi, bahasa dan sastra, media rekam, kesenian, pernuseuman, sejarah dan kepurbakalaan, dan rekayasa budaya, serta pelaksanaan fasilitasi pengembangan industri kreatif dari sektor kebudayaan.
Berbagai kegiatan tersebut dilaksanakan dengan visi peningkatan kemuliaan martabat masyarakat Yogyakarta dan misi meningkatkan kualitas hidup serta kehidupan penghidupan masyarakat yang berkeadaban.
Di masa sekarang ternyata penguatan terhadap Dinas Kebudayaan DIY berhasil melestarikan, membina, mengembangkan, dan menghidupkan tradisi dan budaya (termasuk di dalamnya sastra Jawa dan Indonesia) masyarakat Yogyakarta dengan gegap gempita.
Dari situ maka muncullah berbagai kegiatan, seperti Festival Kethoprak Kabupaten/Kota, Temu Karya Satra "Daulat Sastra Jogja", Festival Grebek Bambu, Festival Kesenian Yogyakarta, Jogja Museum Expo, Gelar Potensi Kelurahan Budaya, dan Festival Kebudayaan Yogyakarta.
Jika melihat apa yang terjadi di Yogyakarta beserta pengelolaan kebudayaannya, maka sudah selayaknya Kementerian Kebudayaan Indonesia terpisah dari Kementerian Pendidikan.
Alasannya tentu agar peristiwa berbagai tradisi/budaya (di) Nusantara dapat berkembang dan hidup dengan lebih baik lagi.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mengelola Kebudayaan: Bercermin dari Yogyakarta"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.