Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Panorama bendungan Batu Tegi di Lampung dengan keindahan dan kemegahan hamparan air serta perbukitan hijau di sekitarnya begitu memesona ketika dipandang dari atas bukit. Ketika memandangnya, seakan hamparan air ini tak pernah diketahui di mana tepiannya.
Bukit-bukit yang cukup tinggi seakan disatukan oleh bendungan ini dan air yang menggenang memberikan kekuasaan dalam menenggelamkan bukit-bukit kecil di hulu bendungan.
Dari atas bendungan, terlihat jalan beraspal selebar 10 meter dengan trotoar, lampu jalan, pot bunga, dan pagar pembatas, menciptakan suasana yang nyaman untuk menikmati pemandangan.
Bendungan Batu Tegi tidak hanya menawarkan keindahan alam, tetapi juga menyediakan fasilitas rekreasi. Di atas bendungan, terdapat dermaga yang melayani perahu-perahu kecil dengan kapasitas 7-10 orang. Pengunjung dapat menaiki perahu ini untuk berkeliling bendungan, menikmati suasana tenang dan indah di atas air.
Di sekitar bendungan terdapat kawasan hutan lindung yang di dalamnya diisi oleh sejumlah hewan dengan status dilindungi, termasuk primata jenis kungkang.
Namun, tidak semua bagian dari kawasan Bendungan Batu Tegi dapat diakses secara bebas, mengingat beberapa pertimbangan tertentu.
Bagi para pengunjung yang menyukai petualangan dan keindahan alam, kawasan hutan lindung memberikan pengalaman yang unik dan mendalam.
Bendungan Batu Tegi ternyata pernah menjadi bendungan terbesar di Asia Tenggara dengan total luas sekitar 3.560 hektare.
Proses pembangunan bendungan dimulai pada tahun 1994 dan selesai pada tahun 2002. Terletak di Pekon Batu Tegi, Kecamatan Air Naningan, Kabupaten Tanggamus, Lampung, bendungan ini bukan hanya menawarkan keindahan alam, tetapi juga memiliki peran vital dalam pelayanan kepada masyarakat.
Selain menjadi daya tarik wisata lokal, Bendungan Batu Tegi memiliki beberapa fungsi utama. Pertama-tama, sebagai sumber Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan saluran irigasi untuk beberapa daerah di Lampung.
Kemudian, bendungan ini juga berperan sebagai tempat penampungan air yang disalurkan saat musim kemarau tiba.
Fungsi lainnya termasuk penyediaan bahan baku untuk air minum di beberapa wilayah, seperti Kota Bandar Lampung, Metro, dan Branti di Kabupaten Lampung Selatan melalui PDAM.
Selain itu, bendungan ini juga sebagai penyedia pasokan listrik untuk PLN sebanyak 2×14 KW dan berperan dalam pengendalian banjir serta pengembangan sektor perikanan.
Dalam proses pembangunannya, bendungan ini menelan dana yang cukup besar, mencapai Rp920 miliar yang bersumber dari APBN dan pinjaman uang pada Bank Japan For International Cooperation.
Meskipun mahal, investasi ini memiliki dampak positif yang signifikan, baik dalam penyediaan energi listrik maupun manfaat bagi sekitar.
Sementara Bendungan Batu Tegi menjadi destinasi pariwisata, keberhasilan dan keberlanjutan pariwisata ini tidak hanya terletak pada keindahan alam semata.
Menurut Dogra dan Gupta (2012) dalam "Pariwisata Berbasis Masyarakat," keterlibatan masyarakat memiliki peran kunci dalam memastikan keberlanjutan destinasi pariwisata.
Masyarakat lokal memiliki potensi untuk menciptakan beragam aktivitas yang dapat dikembangkan menjadi produk pariwisata. Budaya lokal, warisan masyarakat, dan festival memberikan keunikan dan daya tarik bagi wisatawan yang mencari pengalaman yang berbeda.
Selain itu, masyarakat lokal juga berkontribusi dalam promosi produk pariwisata, karena mereka adalah elemen utama pembentuk citra destinasi pariwisata daerah setempat.
Integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata berkelanjutan menjadi kunci untuk memastikan bahwa mereka memiliki peran yang aktif dan mendapatkan manfaat dari perkembangan pariwisata.
Perkembangan pariwisata berkelanjutan telah memunculkan pendekatan baru yang berfokus pada partisipasi masyarakat lokal. Pendekatan ini menempatkan masyarakat lokal sebagai pihak yang aktif dalam perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata.
Melalui pendekatan ini, masyarakat lokal maka dapat dikatakan memiliki posisi yang begitu strategis dan setara dengan pengambil keputusan lainnya (stakeholders) dalam pengembangan destinasi pariwisata berkelanjutan.
Dengan pendekatan ini, sektor pariwisata diharapkan akan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat lokal, termasuk dalam hal melestarikan budaya untuk generasi mendatang, menciptakan lapangan kerja, memberikan kontribusi ekonomi, dan mendukung pergerakan pariwisata yang berkelanjutan.
Perencanaan pariwisata berbasis masyarakat lokal melibatkan beberapa tahapan yang membutuhkan keterlibatan para pemangku kepentingan.
Partisipasi aktif dari masyarakat dapat menunjukkan adanya persamaan posisi dengan pengambil keputusan lainnya (pemerintah, investor, serta wisatawan) dalam upaya pembangunan pariwisata berkelanjutan.
Berdasarkan pemikiran Derrida, persamaan posisi tersebut menandakan pelucutan atas oposisi biner (dekonstruksi).
Adanya dekonstruksi dapat menjamin kebenaran dengan cara mendevaluasi bagian inferior oposisi biner, yakni masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata. Dengan kata lain, pendekatan dekonstruktif memastikan diikutsertakannya kelompok minoritas untuk masuk ke ranah pariwisata.
Pendekatan perencanaan ini mengakui adanya perhatian yang memasukkan kepentingan masyarakat dalam perencanaan pariwisata, atau dengan kata lain semestinya pariwisata tidak hanya memberikan kepuasan bagi wisatawan, tapi juga mempertimbangkan kebutuhan masyarakat lokal dan kualitas jasa lingkungan.
Maka dari itu, berbagai tahapan atau proses perencanaan pariwisata membutuhkan keterlibatan para pengambil keputusan yang meliputi hal-hal berikut ini.
Dalam menghadapi dampak negatif dari pariwisata konvensional, ekowisata muncul sebagai alternatif yang menekankan pada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Ekowisata juga dikatakan seabgai kegiatan pariwisata alam yang berkontribusi langsung terhadap perlindungan spesies dan habitat sebagai basis atraksi, sehingga secara tak langsung memberikan manfaat ekonomi pariwista bagi masyarakat lokal.
Menurut United Nations Environmental Program (UNEP) dan World Tourism Organization (WTO), ekowisata harus memenuhi beberapa kriteria berikut ini.
Sejauh ini, Bendungan Batu Tegi di Lampung bukan hanya menjadi destinasi wisata alam yang menakjubkan tetapi juga membuka peluang untuk pengembangan pariwisata berbasis masyarakat lokal.
Dengan melibatkan masyarakat dalam setiap tahap perencanaan dan pengembangan, kita dapat menciptakan pariwisata yang tidak hanya indah tetapi juga berkelanjutan dan memberikan manfaat kepada semua pihak.
Referensi buku: Pariwisata Berbasis Masyarakat, I Made Adikampana.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Bagaimana Ekowisata Menjadikan Masyarakat Lokal Sejahtera?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.