Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pemerintahan Prabowo-Gibran telah berjalan hampir empat bulan dengan menjunjung delapan misi atau biasa disebut Asta Cita. Delapan misi tersebut diterjemahkan dalam 17 program prioritas.
Dari kedelapan misi tersebut, misi kedua sangat menarik yaitu: Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.
Swasembada pangan merupakan hal yang mudah diucapkan, namun agak sulit dilaksanakan. Dalam sejarah kehidupan Negara Indonesia, swasembada pangan (beras) pernah dicapai pada Tahun 1984. Pada saat itu Negara Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto berhasil memproduksi cukup pangan untuk rakyat.
Namun, swasembada pangan yang membanggakan tersebut tidak dapat bertahan lama, melainkan hanya beberapa tahun saja diakibatkan masalah cuaca, lahan, dan infrastruktur.
Dalam pidato kenegaraannya, Presiden Prabowo menegaskan komitmennya untuk mencapai kembali swasembada pangan paling lambat 4 - 5 tahun ke depan. Indonesia harus segera melepaskan diri dari ketergantungan impor dan mampu memproduksi pangan secara mandiri.
Kontribusi Kehutanan
Dalam mencapai swasembada pangan, terdapat dua rancangan proyek strategis yang dapat dilakukan oleh sektor kehutanan.
Pertama adalah agroforestri untuk ketahanan pangan, yang kedua ketahanan pangan lokal berbasis Perhutanan Sosial.
Pola agroforestri dalam pengelolaan hutan telah dilakukan sejak lama. Dulu disebut tumpangsari.
Konsepnya adalah menanam tanaman kehutanan/tanaman kayu-kayuan yang dikombinasikan dengan tanaman semusim atau tanaman pangan.
Sehingga di area hutan dengan pepohonan kayu, masyarakat juga dapat memanen tanaman pangan seperti jagung, ubi, umbi-umbian, dan empon-empon.
Perhutanan Sosial adalah konsep pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan.
Masyarakat diberikan legalisasi untuk mengelola lahan hutan, dan mengembangkan berbagai jenis pangan lokal.
Konsep pangan lokal ini menggarisbawahi bahwa swasembada pangan kali ini tidak akan terfokus pada beras, karena pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan keragaman tinggi termasuk keragaman makanan pokoknya.
Pengembangan pangan lokal akan mendukung diversifikasi pangan sehingga tujuan swasembada pangan akan lebih masuk akal dapat tercapai hanya dalam hitungan 4 atau 5 tahun.
Upaya yang Telah dilakukan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Sektor Kehutanan
Sebenarnya bukan kali ini saja sektor kehutanan berkontribusi dalam swasembada pangan. Pada bulan September 1995, Menteri Kehutanan dan Menteri Negara Urusan Pangan dan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengeluarkan keputusan bersama tentang Pengembangan Hutan Cadangan Pangan.
Berbagai proyek strategis dilaksanakan demi mendukung Pengembangan Hutan Cadangan Pangan antara lain: pengembangan tanaman bawah tegakan, pembuatan areal model hutan cadangan pangan, pengkayaan jenis tanaman pangan, dan intensifikasi tumpangsari.
Salah satu hasil penelitian lembaga litbang kehutanan saat itu, yaitu BTPDAS Ujung Pandang (2000), mengungkapkan bahwa kontribusi hutan cadangan pangan terhadap pendapatan petani di Kelurahan Rampoang, Kecamatan Wara Utara, Kabupaten Luwu sebesar Rp571.928 atau 7% dari seluruh pendapatan petani.
Hutan cadangan pangan yang dimaksud ditanami sayur-sayuran dan jagung di sela-sela tanaman kayu jati putih. Petani memanfaatkan hasil panen untuk dijual (53,2%) dan cadangan pangan keluarga (47%).
Pada lokasi lainnya yaitu di Desa Buntuawo, Kecamatan Lamasi, Kabupaten Luwu, dengan jenis komoditi sagu, kontribusi hutan cadangan pangan terhadap pendapatan total petani sebesar Rp2.917.448 (41,8%) dari total pendapatan petani.
Pemanfaatan hutan cadangan pangan monokultur berupa sagu ini sebagian besar dijual yaitu 82,5% dan sisanya sebagai cadangan pangan keluarga (17,5%).
Bagaimana agar Swasembada Pangan Tercapai di Era Pemerintahan Prabowo Subianto
Kontribusi sektor kehutanan dalam mensukseskan swasembada pangan tentunya diawali dengan identifikasi kawasan hutan yang memenuhi syarat untuk dijadikan lokasi penanaman tanaman pangan.
Kawasan Perhutanan Sosial di Indonesia sampai Agustus 2024 mencapai 8.018 juta hektare sehingga sebagian pasti memungkinkan untuk dijadikan lokasi penanaman tanaman pangan.
Selama ini petani Perhutanan Sosial telah melakukan kegiatan penanaman tanaman pangan, nantinya akan memudahkan distribusi bibit tanaman pangan dari pemerintah kepada kelompok-kelompok PS.
Dari Kementerian, bantuan bibit dapat didistribusikan ke Balai Perhutanan Sosial atau langsung ke Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) melalui Dinas Kehutanan Provinsi. Dari Balai Perhutanan Sosial dan KPH, bibit dapat langsung didistribusikan pada kelompok. Kolaborasi dengan Kementerian Pertanian juga sebaiknya dilakukan untuk memperoleh bibit tanaman pangan yang unggul.
Demikian pula saat pelaksanaan budidaya penanaman tanaman pangan di sela-sela tanaman kayu, kolaborasi antara Penyuluh Pertanian dan Penyuluh Kehutanan sebaiknya dilakukan, agar upaya yang dilakukan mendapatkan hasil yang baik.
Setelah tanaman pangan dipanen, tentunya perlu dipikirkan juga proses distribusi pemasaran agar petani mendapatkan keuntungan, dan hasil panen dibeli oleh orang-orang yang memang membutuhkan.
Jika kemudian terjadi surplus panen harus dipikirkan juga bagaimana mengolah hasil panen supaya tidak mudah rusak, misalnya dengan mengolahnya menjadi bahan setengah jadi.
Jika ditelusuri, program-program yang dicanangkan pemerintah selama ini, yang bertujuan untuk ketahanan pangan maupun swasembada pangan, tidaklah sedikit.
Apalagi sumber daya lahan di Indonesia sebenarnya sangat mendukung untuk dilakukan penanaman tanaman pangan skala besar.
Namun selama ini hasilnya tidak pernah bergaung. Yang terdengar malah impor kebutuhan pokok selalu dilakukan setiap tahun.
Ke mana hasil panen masyarakat? Kurangkah? Apakah proses pendistribusian sudah berjalan dengan baik? Apakah petani memperoleh harga yang layak?
Swasembada pangan dapat tercapai jika diawali dengan pemahaman bersama bahwa yang dimaksud pangan bukan melulu beras.
Pangan lokal seperti sagu yang menjadi makanan pokok di Kabupaten Luwu, dan mungkin sebagian masyarakat Indonesia Timur lainnya, dapat menjadi pengganti beras.
Jagung, singkong, aneka palawija yang selalu dibanggakan bahwa setiap daerah memiliki pangan lokalnya sendiri-sendiri, bisa dihidupkan kembali! Jangan biarkan masyarakat selalu tergantung pada beras.
Pasti sangat sulit mengubah habit yang sudah terbentuk dan mendarah daging selama ratusan tahun. Kalau belum makan nasi, ya belum makan namanya. Padahal sudah makan jagung 5, kentang 5 dan singkong 5.
Namun, sulit itu bukan berarti tidak mungkin untuk dilakukan. Sosialisasi dan pembiasaan harus dilakukan dan dimulai dari pimpinan tertinggi.
Mulailah pemerintah menormalisasi untuk acara-acara di kementerian, jamuan makan di istana, rapat anggota dewan misalnya, dengan hidangan-hidangan pangan lokal non beras.
Kapurung, papeda, barobbo, tinutuan, nasi jagung, sup ubi, mie cakalang, tiwul dan banyak lagi jenis pangan lokal yang dapat menjadi pilihan.
Tunjukkan itu semua pada rakyat dengan mengunggahnya di media sosial. Jika pimpinan memberikan contoh, masyarakat pasti tidak enggan lagi melakukannya.
Salah satu kelemahan yang harus diperhatikan adalah pengolahan bahan makanan menjadi bahan setengah jadi.
Sebagian besar hasil panen tanaman pangan dimakan seperti apa adanya. Jagung dimakan dalam bentuk jagung, singkong dalam bentuk singkong, sagu dalam bentuk pati hasil pemrosesan batang sagu. Pengolahan bahan pangan menjadi bahan yang dapat disimpan dalam jangka panjang, dan diproses dengan mudah, perlu untuk dipikirkan.
Perlu diperkuat industri pangan yang dapat mengubah jagung menjadi butiran-butiran yang lebih mudah dimakan.
Mungkin awalnya dicampur dengan beras dan menjadi beras jagung yang dimakan sebagai nasi jagung.
Singkong diproses menjadi beras singkong. Sebenarnya sudah ada beras singkong yang diproduksi dalam kemasan instan dan dijual di supermarket. Harganya konon lebih mahal daripada beras padi. Per kilo beras singkong dibandrol Rp50.000 (Misbah, 2024).
Harga yang relatif mahal mungkin karena diproduksi dalam jumlah terbatas sedangkan permintaan tinggi. Jika ada dukungan pemerintah pada industri pengolahan pangan, mungkin dapat menekan harga sehingga menjadi lebih terjangkau oleh masyarakat.
Penutup
Di atas semua konsep tentang bagaimana mencapai swasembada pangan yang sering didiskusikan di ruang-ruang publik maupun dalam opini-opini surat kabar, yang lebih penting lagi adalah iktikad baik dan niat sungguh-sungguh pemerintah dalam mensukseskan swasembada pangan.
Kita bangsa besar dengan jumlah penduduk yang banyak. Janganlah jumlah penduduk tersebut membuat kita goyah, tetapi justru anggaplah sebagai modal dasar.
Jumlah penduduk yang besar adalah sumber tenaga kerja lokal yang bisa kita manfaatkan untuk pengelolaan lahan tanaman pangan. Jumlah penduduk juga merupakan pangsa pasar dari hasil budidaya tanaman pangan tersebut.
Kita kelola dari kita dan untuk kita. Dengan dukungan dari pemerintah mulai dari pimpinan tertinggi sampai tingkat RT, ditambah satker-satker terkait di daerah, maka penulis yakin, Indonesia dapat mencapai swasembada pangan kembali.
Jika tercapai, mampu mempertahankannya hingga hitungan dekade. Semoga. InsyaAllah.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kontribusi Sektor Kehutanan untuk Swasembada Pangan"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.