
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sebagaimana menjalankan hal baru, pasti kita akan dihadapkan selalu terasa berat di awal.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, hidup berjalan seperti hari- hari biasanya. Kelak saat pulang ke rumah, kalau mau balik ke kota tidak lagi ada drama nangis di bus.
Kuncinya adalah penerimaan, kitanya bersedia beradaptasi. Menerima yang seharusnya dijalani, sebagai sebuah kewajaran. Meskipun merantau berat, sikap penerimaan membuat hati ini rela. sehingga menjalaninya, terasa ringan.
Demikian pula diet, konsepnya tidak jauh dari penjelasan di atas. Awalnya memang tidak ringan, tetapi ketika yang berat diterima. Kemudian dijalankan sebagaimana mestinya, maka sudut pandang ini akan bergeser.
***
Kali pertama "dipaksa" diet tahun 2016, saya merasakan denial luar biasa dari dalam diri. Keengganan yang sangat, terus menerus mempengaruhi pikiran. Tetapi setelah dipikir ulang saya sadari, kalau diteruskan ke-denial-an yang rugi diri sendiri.
Pasalnya, awal mula badan ini sakit akibat dari kegemukan. Kalau penyebab sakit tidak dihilangkan, berarti saya rela terus menyakiti diri sendiri.
Jujurly, trigger terbesar diet adalah anak istri. Kalau saya si kepala keluarga sakit, mereka pasti akan sedih. Saya tidak bisa bekerja mencari nafkah, otomatis mereka merasakan dampak secara langsung.
Maka kekuatan dari dalam muncul, saya melawan habis- habisan ego dalam diri. Ego yang ingin menggagalkan niat baik, dan yang bersorak kalau saya jatuh sakit.
Sehari setelah periksa dari klinik, saya ambil catatan dari dokter dan ahli nutrisi. Perihal langkah awal diet, sekaligus jenis asupan musti dikonsumsi.
Adaptasi yang sangat tidak mudah, apalagi pada tiga hari pertama. Badan saya lemas, tubuh tak bertenaga, mood kacau balau, dan situasi tidak nyaman lainnya.
Tetapi saya geming, bertekad meneruskan yang telah dimulai.
Sembari mengingat- ingat, perasaan berat saat awal merantau. Yang kalau dilawan, akhirnya terbiasa dan merantau bukan hal memberatkan.
Demikian pula diet, saya meyakini bisa melalui hari memberatkan ini. Lama- lama akan terbiasa, maka perkara menahan ini itu bukan masalah besar.
Diet dengan Bahagia Diet dengan Sepenuh Kesadaran
Saat kali pertama menjalankan diet, saya sangat merasakan beratnya. Terutama pada tiga hari pertama, ahli nutrisi menyarankan saya mengonsumsi hanya buah, sayur, dan minum air putih.
Kepala ini sempat keliyengan dan pusing, keringat dingin keluar saya lebih sering BAB. Uniknya kotoran-nya berwarna hitam pekat, kemudian saya diberitahu bahwa racun di tubuh sedang keluar.
Ya, tiga hari yang menyiksa, kata dokter adalah proses detok- membuang racun. Melihat kotoran saya yang hitam pekat, seperti membuang dosa pada badan sendiri.
Sampai seminggu, rasa tidak nyaman sedikit demi sedikit berkurang. Baru pada hari ke delapan, tubuh ini mulai menyesuaikan diri. Rasa pusing jauh berkurang, lemak di beberapa bagian badan mengikis.
Saat nimbang dan turun 1 kg saja, girangnya bukan main. Saya makin bersemangat dan tekad membulat, bahwa perjalanan sudah dimulai sayang kalau berhenti.
Masuk minggu ketiga, yang sudah dijalani selama 14 hari menjadi kebiasaan. Tidak makan karbo dari nasi, bagi saya hal yang sangat biasa. Saya bisa mendapatkan karbo, dengan mengonsumsi umbi- umbian.
Saya terbiasa mengelola emosi, nafsu makan mulai terkontrol. Melihat es campur atau gorengan, tidak ada keinginan mengambil dan menguyahnya. Karena di kepala ini terpahamkan, dampak dari mengonsumsi gula dan minyak.
Tanpa terasa tiga tahun berjalan, keluhan sebelum diet menghilang. Saya tidak mudah masuk angin, otomatis tidak punya jadwal kerokan---seperti sebelumnya. Nafas yang gampang ngos- ngosan saat jogging, sangat bisa diatasi.
Pola makan dan olahraga menjadi gaya hidup, meski saya sadar tidak boleh lengah. Karena mempertahankan pencapaian, lebih susah dibandingkan saat hendak meraihnya.
Apakah saat diet saya tersiksa? Yes, saya tersiksa.
Setiap hari saya berperang dengan kemalasan, melawan kebiasaan tidak baik, yang dijalankan bertahun- tahun. Tetapi saya sangat sadar, musti melakukan ini semua demi kebaikan.
Meski tidak sepenuhnya mengenakkan, saya berusaha menjalankan diet dengan bahagia.
***
Kompasianer, menjalani diet dengan bahagia, bukan berarti diet tanpa tantangan. Kita tetap memilih memilah asupan, kita tetap aktif beraktifitas fisik.
Tetapi bersamaan itu, kita legowo dan ikhlas menjalankannya. Kita sangat sadar, ada tujuan besar di ujung perjuangan sedang dilakukan. Bahwa jerih payah saat ini, akan memetik kebaikan di masa mendatang.
Maka kita tidak mempersoalkan, peperangan ego terjadi saban hari. Karena mindset sudah disetel, sudah tahu siapa yang musti diperangi. Kalau di otak sudah sadar big goal, niscaya akan menjalani penuh kerelaan.
Fokus kita bukan pada proses diet, tetapi pada hasil akhir. Sehingga hati ini bahagia, menghalau setiap rintangan yang bakal menggagalkan.
Seperti analogi awal merantau, saat berangkat bertabur deras air mata. Tetapi setelah tiba di tanah rantau, semua masalah satu persatu diatasi. Kemudian melanjutkan hidup, bahkan banyak yang menetap di perantauan.
Demikian pula diet, awalnya dirasa sangat berat. Bahkan ada yang menganggap mustahil, terutama pemilik tubuh super tambun. Tetapi setelah dijalani, tubuh beradaptasi lemak berlebih itu perlahan lahan mengikis.
Melakukan diet dengan bahagia, adalah menjalani diet dengan sepenuh kesadaran. Guna mencapai tujuan besar, yaitu memiliki tubuh sehat. Agar bisa terus berkarya dan produktif, sehingga hidup lebih berkualitas
Salam sehat, semoga bermanfaat
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Diet dengan Bahagia, Diet dengan Sepenuh Kesadaran"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang