
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Tahukah kamu bahwa sebuah perpustakaan kecil di sekolah bisa mengubah jalan hidup seseorang?
Bayangkan jika sebuah perpustakaan kecil di sekolah ternyata bisa menjadi titik awal lahirnya cinta pada dunia literasi.
Apakah ruang sederhana berisi rak buku itu hanya tempat menyimpan bacaan, atau justru bisa menjadi titik awal lahirnya kecintaan mendalam pada dunia literasi?
Bagi saya, semua itu bukan sekadar bayangan. Pada tahun 2002, saya mendapatkan kesempatan yang tidak pernah saya lupakan: menjadi pustakawan di SMP.
Ya, dari sinilah saya belajar bahwa perpustakaan bukan hanya deretan buku berdebu, tetapi ruang inspirasi, tempat bertumbuh, dan jendela menuju dunia baru.
Kenangan itu terasa begitu dekat, seolah baru kemarin saya duduk di meja kecil dekat pintu masuk perpustakaan SMPN 1 Panawangan—sekolah di kota kecil tempat saya lahir dan dibesarkan.
Sejak kecil, saya memang akrab dengan buku. Di rumah, ayah dan ibu selalu menghadirkan bacaan—mulai dari cerita rakyat, resep masakan, kumpulan obat tradisional, hingga majalah Sunda Mangle.
Tak heran, ketika duduk di bangku kelas satu SMP saya sudah menamatkan beberapa novel klasik seperti Tom Sawyer, Salah Asuhan, Keberangkatan, Siti Nurbaya, hingga Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.
Kesempatan menjadi pustakawan datang dari Pak Kusnadi, guru Bahasa Indonesia yang meminta saya menjaga perpustakaan setiap jam istirahat.
Tugasnya sederhana: mencatat peminjaman buku dan melayani siswa yang keluar-masuk. Namun bagi saya, duduk di meja itu terasa seperti memegang tanggung jawab besar.
Sambil menjaga perpustakaan, saya habiskan halaman demi halaman buku. Jam istirahat pun lewat begitu saja, hingga sering lupa jajan atau bermain dengan teman.
Perpustakaan menjelma ruang yang hidup: tempat siswa meminjam buku, mengerjakan PR, berdiskusi, dan berbagi cerita.
Dari ruang itu pula saya mulai berani menulis cerpen dan puisi, lalu menempelkannya di mading sekolah.
Ada rasa bangga tersendiri ketika melihat karya saya dibaca banyak orang. Mengintip dari kejauhan, tersenyum kecil, dan merasa bahagia—itulah momen yang membuat saya semakin jatuh cinta pada dunia literasi.
Pengalaman ini berlanjut hingga SMA. Di SMAN 1 Ciamis, saya kembali dipertemukan dengan sosok pustakawan yang menginspirasi, Pak Kidung Purnama.