
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Apa yang kamu lakukan ketika menahan ucapan jujur hanya demi menjaga suasana kantor tetap “aman”? Apakah karena berpura-pura setuju dengan atasan agar dianggap profesional dan sopan?
Jika ya, mungkin tanpa sadar Anda sedang melakukan “sugar coating” — seni berbicara manis agar kenyataan terasa lebih ringan didengar.
Di balik senyum ramah dan kata-kata lembut di ruang kerja, sering tersembunyi naluri manusia paling tua: bertahan hidup di tengah hierarki kekuasaan.
Fenomena “mempermanis kenyataan” ini bukan sekadar etika modern, melainkan warisan sosial dari masa feodal yang masih berjejak hingga kini.
Etika Berjarak
Dalam kearifan Jawa, ada ungkapan terkenal: “Ngono yo ngono ning ojo ngono.” Secara sederhana, artinya: “Begitu ya begitu, tapi jangan begitu.”
Kalimat ini mengajarkan keseimbangan — boleh bertindak, tapi jangan berlebihan; boleh jujur, tapi tetap menjaga perasaan.
Namun di dunia kerja modern, pitutur itu sering disalahartikan. Alih-alih menjadi pedoman etika, ia berubah menjadi pembenaran untuk “berpura-pura manis” — menahan kejujuran demi keamanan posisi. Di sinilah sugar coating menemukan bentuk barunya: menjilat tanpa merasa menjilat.
Akar Sejarah, dari Istana ke Ruang Kantor
Praktik ini bukan hal baru. Di masa kerajaan Eropa, pejabat istana harus pandai merangkai pujian hiperbolik agar tetap disukai raja.
Machiavelli dalam The Prince (1532) bahkan menulis bahwa “orang bijak tahu kapan harus berkata benar, dan kapan harus menutupi kebenaran demi keselamatan dirinya.”
Hal serupa juga terjadi di Tiongkok kuno, di mana para pejabat istana Dinasti Han dikenal dengan “basa-basi kekaisaran” — menulis pujian agar mendapat restu kaisar.
Sementara di Yunani kuno, orang yang gemar memuji berlebihan disebut sycophant. Artinya tetap sama: mencari untung lewat lidah manis.
Dari masa ke masa, sugar coating selalu menjadi bagian dari sistem sosial yang menuntut kesetiaan simbolik: asal tampak tunduk, maka amanlah kedudukan.
Dari Feodalisme ke Dunia Modern
Dalam perspektif sosiologi, praktik ini tak sekadar perilaku individu.
Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai bagian dari symbolic capital — cara halus mempertahankan dominasi sosial melalui pengakuan dan “pengemasan” perilaku.
Di kantor, fenomena ini muncul dalam bentuk yang lebih modern: corporate politeness.
Basa-basi dengan atasan, pujian tanpa alasan, atau ikut rapat sambil berkata “setuju” padahal hati menolak.
Dalam birokrasi modern, ini disebut Max Weber sebagai rationalized feudalism — warisan sistem feodal yang disamarkan dengan bahasa profesional.
Efeknya bisa serius. Budaya kerja jadi stagnan, kreativitas mandek, dan orang jujur tersingkir oleh mereka yang pandai bermain kata.
Lama-lama, organisasi pun jadi seperti taman plastik: indah dilihat, tapi tanpa kehidupan.
Antara Kesopanan dan Kepalsuan
Bagi sebagian orang, sugar coating terasa aman. Malah ada yang beranggapan ia bisa menciptakan ilusi keharmonisan dan menghindarkan dari konflik.
Namun di sisi lain, terlalu banyak “lapisan gula” justru menutupi rasa asli dari komunikasi: kejujuran.
Dalam psikologi sosial, kondisi ini disebut disonansi kognitif — ketika seseorang berkata hal yang tidak sesuai dengan hatinya demi diterima oleh lingkungan.
Dan bila ini menjadi kebiasaan, muncullah ruang kerja yang “ramah di permukaan, tapi dingin di dalam.”
Menjaga Kejujuran dalam Batas Wajar
Menjadi jujur bukan berarti harus kasar. Sebaliknya, berbicara lembut pun bukan berarti harus berpura-pura.
Seperti pesan dalam pitutur Jawa tadi, kuncinya ada pada keseimbangan: tahu kapan berbicara apa adanya, dan kapan memilih diam tanpa kehilangan integritas.
George Orwell pernah menulis, “Bahasa yang busuk akan melahirkan pikiran yang busuk.”
Artinya, bila kita terus mempermanis kebohongan, lama-lama kita sendiri akan sulit membedakan mana yang jujur dan mana yang sekadar strategi.
Kejujuran Bukan Ancaman
Sugar coating, sejatinya, adalah cermin dari cara kita menghadapi kekuasaan.
Ia bisa menjadi bentuk sopan santun, tapi juga bisa berubah menjadi senjata manipulasi.
Seperti semua hal yang manis, terlalu banyak gula justru merusak rasa asli kehidupan sosial.
Mungkin sudah saatnya kita kembali pada semangat pitutur Jawa: “Ngono yo ngono ning ojo ngono.” Jujurlah, tapi tetap santun. Bicara apa adanya, tapi jangan kehilangan rasa hormat.
Pasalnya, kejujuran yang disampaikan dengan bijak adalah bentuk kesopanan tertinggi manusia.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Sugar Coating: "Ngono yo Ngono Ning Ojo Ngono""
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang