
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Siapa yang pernah berada di posisi membagi nafkah bukan hanya untuk keluarga kecilmu, tapi juga untuk dua pihak orangtua?
Pertanyaan sederhana ini ternyata tidak semudah dijawab dengan angka. Sebab, “adil” dalam memberi nafkah sering kali tidak berarti sama rata, tapi lebih kepada bagaimana kita memahami kebutuhan dan situasi masing-masing keluarga.
Ketika Tinggal Serumah dengan Orangtua
Tika dan suaminya sudah belasan tahun menikah. Keduanya tinggal di rumah ibunda Tika yang kini telah beranjak lansia.
Mereka berdua bertugas merawat sang ibu sekaligus menanggung seluruh kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
Dalam kondisi ini, Tika memang tidak memberikan uang bulanan dalam bentuk tunai kepada ibundanya, karena hampir semua kebutuhan rumah sudah ia tanggung—mulai dari bahan makanan, tagihan air, hingga listrik.
Namun di sisi lain, suami Tika juga memiliki ibu yang masih hidup dan memerlukan nafkah bulanan.
Oleh karena penghasilan mereka tergolong sederhana, keduanya sepakat untuk membantu ibu dari pihak suami dengan cara membayar biaya operasional rumah dan kebutuhan harian di sana.
Tika dan suami menyadari satu hal penting: tidak semua bentuk bantuan kepada orangtua harus diwujudkan dalam bentuk uang. Ada kalanya menanggung kebutuhan pokok sehari-hari jauh lebih berarti, sekaligus memastikan orangtua hidup dengan nyaman tanpa harus menghitung rupiah.
Ketika Orangtua Sudah Mapan
Lain halnya dengan Rendy dan istrinya. Mereka hidup mandiri dengan dua anak, sementara kedua pihak orangtua sudah mapan secara finansial.
Orangtua Rendy memiliki usaha yang masih berjalan, sementara mertuanya masih menerima uang pensiun setiap bulan.
Dalam situasi seperti ini, orangtua tidak menuntut bantuan materi dari anak-anaknya. Namun Rendy dan istri tetap berupaya memberikan uang bulanan dalam jumlah yang sama, sekadar bentuk penghormatan dan kasih sayang.
Keduanya memilih untuk terbuka soal nominal dan waktu pemberian. Tidak ada yang merasa lebih atau kurang. Justru keterbukaan itu yang membuat hubungan keluarga tetap hangat tanpa menyinggung perasaan siapa pun.
Belajar Soal Keadilan dan Prioritas
Dari dua kisah di atas, tampak bahwa keadilan dalam memberi nafkah kepada orangtua tidak bisa disamaratakan.
Ada keluarga yang lebih membutuhkan bantuan praktis seperti biaya hidup, ada pula yang cukup dengan perhatian dan dukungan kecil dari anak-anaknya.
Yang terpenting adalah keterbukaan dengan pasangan. Jangan sampai salah satu pihak memberi bantuan secara diam-diam hingga menimbulkan salah paham.
Diskusi terbuka akan membantu menyeimbangkan kewajiban antara merawat orangtua dan menafkahi keluarga sendiri.
Selain itu, kemampuan finansial juga perlu diukur dengan realistis. Jangan sampai niat berbakti justru membuat keuangan keluarga goyah. Jika kamu memiliki saudara, bicarakan bersama agar tanggung jawab tidak hanya dipikul sendiri.
Dan terakhir, ingat bahwa nafkah tidak selalu berbentuk uang. Bisa saja dalam bentuk bahan pokok, pembayaran tagihan bulanan, atau sekadar perhatian yang konsisten—hal-hal kecil yang sebenarnya punya nilai besar di mata orangtua.
***
Adil dalam memberi nafkah bukan berarti membagi sama rata, melainkan memberi dengan rasa ikhlas dan penuh tanggung jawab.
Sebab, keadilan dalam keluarga tidak diukur dari jumlah yang diberikan, tapi dari keseimbangan antara niat, kemampuan, dan kasih yang tulus.
Mungkin, itulah cara paling adil untuk tetap berbakti—tanpa merasa terbebani, dan tanpa membuat siapa pun merasa dilupakan.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Cara agar Tetap Adil Memberi Nafkah ke Orangtua Sesuai Kemampuan Finansial"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang