Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sebagaimana kebutuhan sandang dan pangan, papan jadi suatu hal primer yang mesti dipenuhi.
Namun, ketika kita sudah memiliki penghasilan sendiri, memiliki rumah jadi terbuka kemungkinan agar bisa dicapai: apapun caranya, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) misalnya.
Sayangnya harga properti yang kian melambung. Skema cicilan dianggap sebagai jembatan menuju kepemilikan rumah, yang tadinya mustahil diwujudkan secara tunai.
KPR kemudian menjadi produk perbankan yang sangat populer dan mudah diakses. Banyak yang tergoda oleh promosi bunga rendah, uang muka ringan, hingga simulasi cicilan yang tampak "masuk akal".
Akan tetapi, di balik semua itu, ada narasi besar yang terus hidup di benak generasi muda: memiliki rumah sendiri adalah bukti keberhasilan, bahkan simbol kemapanan.
Beberapa hanya fokus pada kata "punya rumah", tanpa memikirkan beban keuangan yang menyertainya selama belasan hingga puluhan tahun.
Pertanyaan pentingnya bukan hanya apakah kita bisa ambil KPR, tapi apakah kita siap menjalaninya.
Sebab dalam praktiknya, punya rumah dengan cara mencicil tidak sesederhana brosur yang dibagikan di pameran properti.
Perlu perhitungan matang agar impian memiliki rumah tidak berubah menjadi beban hidup yang tak kunjung usai.
Gampangnya KPR: Godaan Promosi dan DP Ringan
Saat ini, banyak developer dan bank bekerja sama menawarkan program KPR yang tampaknya sangat memudahkan. Mulai dari DP 0--10 persen, cicilan awal ringan, bahkan ada bonus furnitur, bebas biaya notaris, atau bebas angsuran selama beberapa bulan.
Semua ini dikemas dengan bahasa yang menarik, seolah menyiratkan bahwa rumah tinggal hanya sejauh tanda tangan akad kredit.
Inilah jebakan manis yang sering kali membuat calon pembeli terburu-buru mengambil keputusan.
Di pameran properti, iklan-iklan penuh warna dengan tulisan "Bisa punya rumah hanya dengan Rp5 juta!" tersebar di mana-mana. Belum lagi staf marketing yang sangat persuasif, memberi janji bahwa proses KPR sekarang jauh lebih cepat dan tidak ribet.
Tak jarang, hanya dengan slip gaji dan KTP, pengajuan KPR bisa segera diproses. Kesannya, siapapun bisa jadi pemilik rumah dalam waktu dekat.
Sayangnya, kemudahan ini sering kali tidak diimbangi dengan edukasi finansial yang cukup. Banyak yang hanya menghitung besarnya cicilan per bulan tanpa memperhitungkan variabel-variabel lain seperti kenaikan bunga, biaya tambahan, dan tanggungan jangka panjang.
Bahkan, beberapa calon pembeli tidak tahu persis besaran total hutang yang akan dibayar selama masa kredit.
Program promo yang terlalu menggoda bisa menjebak jika tidak diimbangi dengan pemahaman risiko.
Godaan terbesar sering kali datang dari rasa takut ketinggalan---FOMO terhadap peluang punya rumah. Padahal, tanpa kesiapan yang matang, promo hanya menunda masalah ke depan.
Penting untuk diingat bahwa promosi adalah strategi bisnis. Di balik kemudahan yang ditawarkan, bank dan developer tetaplah entitas bisnis yang mencari keuntungan.
Oleh karena itu, calon pembeli harus menempatkan diri sebagai konsumen yang kritis, bukan sekadar pemburu promo.
Realita Setelah Akad
Setelah proses akad kredit selesai dan kunci rumah diterima, fase kehidupan baru pun dimulai: hidup bersama cicilan.
Banyak yang tidak menyadari bahwa KPR pada umumnya memiliki durasi panjang, mulai dari 10 hingga 25 tahun.
Ini berarti, selama periode tersebut, sebagian penghasilan akan terus dialokasikan untuk mencicil rumah, tanpa jeda. Tidak sedikit yang merasa beban finansial ini mulai terasa berat di tahun-tahun berikutnya.