Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "700 Tahun Lalu, Tiga Etnis Ini Masih Menuturkan Bahasa yang Sama"
Bahasa merupakan alat komunikasi bagi manusia. Melalui bahasa, ide, gagasan, dan informasi dari seseorang dapat ditangkap dan diterima oleh orang lain.
Namun, bahasa yang digunakan oleh sekelompok manusia akan berbeda satu sama lain. Hal ini karena bahasa merupakan bagian dari unsur kebudayaan. Bahasa adalah ciptaan dari sekelompok manusia untuk memudahkan proses komunikasi sesamanya.
Dalam ilmu linguistik, bahasa disebut sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Oleh sebab itu, bahasa sekaligus penciri khas dari kelompok atau etnis penuturnya.
Di Indonesia, ada ratusan suku yang menuturkan bahasa yang berbeda pula. Meskipun mereka tinggal di suatu wilayah yang dibatasi bukit atau sungai, belum tentu mereka menuturkan bahasa yang sama.
Sebagai contoh sederhana, bahasa Sunda dan bahasa Jawa sangat berbeda meskipun kedua etnis tersebut tinggal di pulau yang sama.
Meskipun demikian, antar bahasa yang berbeda juga sering ditemukan persamaan kata yang diucapkan.
Persamaan kata dan pengucapannya ini di dalam ilmu linguistik bisa dijadikan sebagai data untuk merunut kekerabatan antarbahasa dan juga menentukan kapan bahasa-bahasa tersebut terpisah di masa lalu.
Untuk mencari tingkat kekerabatan bahasa-bahasa, para ahli linguistik akan mencari dan menghitung kosakata yang sama antarpenutur bahasa yang berbeda.
Hasil tersebut kemudian dianalisis lagi menggunakan teknik leksikostatistik dan glotokronologi.
Teknik leksikostatistik digunakan untuk menentukan tingkat kekerabatan antarbahasa. Misalnya, jika diketahui persentase persamaan kosakata dua etnis itu antara 36-81 persen, maka dapat dipastikan dua bahasa tersebut masih berada di tingkat "keluarga bahasa" yang sama.
Semakin sedikit persamaannya maka semakin jauh pula kekerabatannya. Sementara itu, teknik glotokronologi digunakan untuk menentukan usia-usia bahasa yang berkerabat tersebut.
Melalui teknik ini dapat diketahui waktu suatu keluarga bahasa terpisah menjadi berbagai bahasa yang berbeda.
Kajian kekerabatan dalam ilmu linguistik ini sering digunakan oleh para ahli arkeologi untuk mencari asal usul dari suatu bangsa.
Peter Bellwood misalnya, berpendapat bahwa etnis-etnis di kepulauan Taiwan hingga Nusantara ini berasal dari satu nenek moyang yang sama yang menuturkan bahasa Austronesia pada 8000-5000 tahun yang lalu.
Dengan demikian, bahasa suku asli di Taiwan dengan bahasa asli orang Dayak tingkat kekerabatannya adalah satu rumpun yang sama.
Cara ini pula digunakan oleh ahli linguistik untuk menentukan kekerabatan bahasa tiga etnis yaitu Kerinci, Minangkabau, dan Melayu Jambi seperti yang dilakukan oleh Monita Sholeha dan Hendrokumoro dari Universitas Gadjah Mada.
Sebagaimana diketahui ketiga wilayah ini sangat dekat secara geografis dan historis. Sementara itu, secara bahasa banyak dipertentangkan.
Beberapa peneliti seperti Sunardji, dari sisi sosiolinguistiknya berpendapat bahwa bahasa Kerinci lebih dekat dengan bahasa Minangkabau dibandingkan bahasa Jambi.
Di tengah masyarakat sendiri tak kalah hebohnya, banyak yang berpendapat bahwa budaya Kerinci–termasuk bahasa–lebih dekat dengan Minangkabau daripada bahasa Melayu Jambi.
Hasil penelitian Sholeha dan Hendrokumoro yang dimuat dalam jurnal Diglosia tahun 2022 ini menunjukkan hasil yang berbeda.
Dalam jurnal itu dikatakan bahwa, bahasa Kerinci justru memiliki kedekatan lebih erat dengan bahasa Melayu Jambi dibandingkan dengan bahasa Minangkabau.
Menurut mereka, bahasa Kerinci dan bahasa Melayu Jambi adalah bahasa tunggal antara 400 hingga 307 tahun yang lalu kemudian berpisah menjadi dua bahasa berbeda antara tahun 1.538 hingga 1.715 Masehi.
Sementara itu, bahasa Kerinci dan Minangkabau adalah bahasa tunggal pada 500-432 tahun yang lalu dan terpecah menjadi bahasa yang berbeda antara tahun 1.445 hingga 1.599 Masehi.
Hubungan kekerabatan antara bahasa Melayu Jambi dan Minangkabau lebih jauh lagi, dua bahasa ini adalah bahasa tunggal pada 692 tahun yang lalu dan kemudian berpisah antara tahun 1.330-1.506 Masehi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kekerabatan bahasa Kerinci dan Melayu Jambi lebih erat dibandingkan dengan bahasa Minangkabau. Hubungan ketiga bahasa ini berada pada keluarga bahasa yang sama.
Kemudian berpisah menjadi dua bahasa berbeda antara abad ke 14 hingga awal abad ke-15, menjadi bahasa Minangkabau dan Bahasa Melayu Jambi-Kerinci.
Di masa selanjutnya bahasa Melayu Jambi-Kerinci berpisah menjadi dua bahasa berbeda antara abad ke-16 hingga awal abad ke-18 sehingga menjadi bahasa Kerinci dan bahasa Melayu Jambi.
Tampaknya, tinjauan bahasa ini senada dengan apa yang digambarkan di dalam narasi sejarah.
Di dalam sejarah dikatakan bahwa wilayah Kerinci, Jambi, dan Minangkabau pada masa Hindu-Buddha mungkin berada dalam satu institusi politik/negara yang sama.
Kemungkinan besar adalah kerajaan yang dinamakan ahli sejarah sebagai kerajaan Malayu. Selanjutnya, pemisahan bahasa terjadi saat terbentuknya kesultanan-kesultanan Islam.
Orang-orang Kerinci di masa Islam (abad 16 hingga abad ke-18 M) memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Jambi dibandingkan dengan Minangkabau.
Penelitian ini juga memiliki kekurangan dan keterbatasan, yakni sejauh mana jumlah kosakata yang berhasil dikumpulkan dari ketiga penutur bahasa tersebut.
Bahasa Kerinci sendiri memiliki puluhan dialek. Satu kosa kata bisa mengalami perubahan bunyi dan diucapkan dengan cara-cara berbeda.
Di samping itu, pada contoh kosakata yang ditunjukkan dalam tabel, tampaknya juga berbeda dengan kosakata bahasa Kerinci secara umum.
Misalnya kata "cium", biasanya diucapkan nyium, nyiun, atau senyun, kata "ia" yang dalam kosakata Kerinci disebut "nyo, nya" tetapi cuma ditulis "dia", kata “engkau” yang dalam bahasa
Kerinci diucapkan sebagai "iko, “kau”, “mpun" tetapi hanya ditulis "kau," kata "garuk" yang dalam bahasa Kerinci diucapkan "gaut" tetapi ditulis "gait," dan banyak lagi contoh lain yang bisa mempengaruhi persentase persamaan bahasa.
Tentu saja perbedaan ini akan memengaruhi pula tingkat kekerabatan dan usia pisah sebagaimana yang ditunjukkan dalam hasil penelitian ini.
Lebih jauh, peneliti tidak menyebutkan dari desa mana sampel kosakata dikumpulkan, sehingga tidak diketahui apakah data kosakata tersebut cukup representatif untuk mewakili bahasa Kerinci.
Sumber:
Sholeha, M, dan Hendrokumoro, H. 2022. Kekerabatan Bahasa Kerinci, Melayu Jambi, dan Minangkabau. Diglosia: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya 5 (2), 399-420