Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
YUSRIANA SIREGAR PAHU (BUNDA)
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama YUSRIANA SIREGAR PAHU (BUNDA) adalah seorang yang berprofesi sebagai Guru. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Peradilan Pidana Anak Tak Cukup Hanya Diversi dan Restorative Justice

Kompas.com - 17/02/2023, 07:17 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Di Indonesia kita mengenal dua metode dalam menangani sebuah perkara yang melibatkan anak, yakni Sistem Peradilan Diversi dan Restorative Justice.

Padahal jika berkaca dengan semakin maraknya kejahatan anak yang ada serta keadaan dan perkembangan zaman yang tentu memengaruhi kondisi anak dan remaja saat ini, harusnya sistem hukum pidana kita harus memasuki babak baru. Tidak cukup jika hanya diversi dan restorative justice saja.

Sebelum membahas mengenai sistem peradilan lainnya, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Diversi dan Restorative Justice?

Diversi

Diversi merupakan pengalihan proses pada sistem penyelesaian perkara anak yang panjang dan sangat kaku.

Bisa berupa mediasi, dialog, atau musyawarah. Diversi merupakan bagian yang tidak terpisahkan untuk mencapai keadilan restoratif.

Restorative Justice

Prinsip dasar restorative justice adalah melakukan pemulihan untuk korban akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi, misalnya dengan perdamaian atau dengan memberi hukuman/kerja sosial pada pelaku.

Atau bisa juga dalam bentuk seperti kesepakatan yang diambil lewat musyawarah dan lain-lain.

Jika menilik banyaknya kasus tindak kriminal oleh anak di zaman sekarang memang cukup dilematis.

Di satu sisi pelaku kejahatan yang tergolong anak-anak atau remaja tidak mempan hukum karena masih masuk dalam kategori di bawah umur.

Namun di sisi lain, jika dibiarkan kejahatan yang mereka perbuat sudah seharusnya mendapat hukuman, seperti misalnya pelecehan, bullying, bahkan hingga penghilangan nyawa seseorang.

Belum lama ini misteri kasus pengeroyokan yang dilakukan oleh 7 remaja dengan rentang usia 13-15 tahun terhadap korban berusia 13 tahun hingga tewas di Lampung akhirnya terungkap.

Setelah 7 bulan tak ada perkembangan, kasus ini akhirnya terungkap setelah jasad korban ditemukan di Sungai Way Kabul, pada Rabu, (6/1/2022).

Kasus lain yang juga melibatkan remaja terjadi beberapa waktu lalu. Dua remaja berusia 14 dan 17 tahun nekat membunuh seorang bocah berusia 11 tahun dengan maksud ingin menjual salah satu organ tubuh korbannya.

Selain itu juga ada kasus pencabulan yang dilakukan tiga anak SD terhadap korban perempuan yang masih duduk di bangku TK.

Akibat peristiwa ini, korban yang masih duduk di bangku TK ini mengalami trauma hingga enggan pergi ke sekolah dan keluar untuk bermain.

Melihat banyaknya kasus kejahatan yang dilalakukan oleh anak dan remaja, bila sistem peradilan yang digunakan untuk menangani hanya Diversi dan Restorative Justice, tentu tidak akan cukup.

Apabila terus menerus menerapkan diversi dan restorative justice terhadap kasus anak dan remaja, niscaya ke depannya kejadian serupa akan terus terulang.

PR Bersama antara Orangtua dan Pemerintah

Ketika ada kasus kejahatan anak yang diselesaikan dengan cara diversi atau restorative justice dan anak tersebut tak dapat hukuman yang setimpal, ini akan membuat anak lain yang mengetahuinya akan penasaran mau mencoba kenakalan atau kejahatan yang sama.

Mereka akan berdalih “mereka saja tidak dihukum setelah mencuri, memukul, melukai, atau bahkan memperkosa.”

Tentu ini menjadi PR bersama antara orangtua, guru, dan lembaga pemerintah terutama Kemenkumham.

Mengapa Kemenkumham? Sebab, kementerian inilah yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia, termasuk juga hak peradilan anak.

Berkaca dari banyaknya kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak, maka perlu kiranya untuk mengkaji ulang sistem peradilan anak yang berlaku saat ini.

Hal penting yang harus dikaji ulang adalah batas penentuan usia anak dalam peradilan. Sebab menurut UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, definisi anak adalah seseorang yang masih dalam kandungan hingga belum genap berusia 18 tahun.

Batas usia inilah yang perlu dikaji ulang. Usia 18 tahun dinilai terlalu jauh untuk seseorang bisa dianggap sebagai orang dewasa dan pantas dijatuhi hukuman pidana.

Mungkin batas usia anak ini dibuat lebih kecil, 15 atau 13 tahun bahkan. Anak usia 13 tahun sudah memasuki masa remaja, di masa ini mereka tidak sudah sangat bisa berbuat kejahatan. Beberapa contoh kasus di atas menjadi bukti nyata.

Jika batas usia anak dianggap dewasa ini diubah, maka orangtua perlu bekerja lebih keras untuk mendidik serta mengawasi anak mereka.

Penyebab anak usia remaja yang berani melakukan tindak pidana ini bisa saja karena rasa penasaran, ketidaktahuan akan konsekuensi dari apa yang mereka lakukan, dan tidak adanya pengetahuan mengenai tindak kejahatan yang mereka terima dari orangtuanya.

Maka dari itu, orangtua sebagai pendidik pertama anak dalam keluarga mesti memberi pengertian dan pendidikan mengenai apa itu tindak kekerasan dan hukumannya. Mana hal boleh dan baik untuk mereka lakukann serta mana hal yang tidak boleh mereka lakukan.

Di kelurahan tempat tingga saya, ada program rutin dari Kementerian Sosial yang bertujuan untuk memberikan para orangtua pembelajaran.

Program ini adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Para kader PKH ini akan melakukan pertemuan rutin dan terstruktur dengan orangtua-orangtua untuk memberikan penjelasan mengenai beberapa hal berikut.

Pertama, pembelajaran tentang pelecehan seksual antar anggota keluarga, tentang gejala pelecehan, dan cara melindungi anggota keluarga dari pelecahan seksual oleh anggota keluarga dan orang luar keluarga.

Kedua, mereka diberi pembelajaran tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Bagaimana bersikap dan bertindak jika ada kecenderungan KDRT dalam rumah dan tetangga sekitar. Apa yang mesti diperbuat dan ke mana melapor jika menemui kasus ini.

Ketiga, mereka diberi pembelajaran tentang hukum bila anggota keluarga mengalami tindak kekerasan fisik dan seksual. Mereka pun diberi pengetahuan cara melampirkan keganjilan yang terjadi di tengah lingkungan mereka.

Maka dari itu, berangkat dari banyaknya kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak, sudah waktunya Sistem Hukum Pidana Indonesia perlu memasuki babak baru.

Salah satunya adalah dengan menciptakan Hukum Pidana Anak Indonesia. Sebab, sistem Diversi dan Restorative Justice tidak akan cukup untuk menangani banyaknya kasus kejahatan anak.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Sistem Peradilan Anak, Cukup dengan Diversi dan Restoratif Justice Saja?"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Kata Netizen
Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Kata Netizen
Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Kata Netizen
Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kata Netizen
Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Kata Netizen
Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Kata Netizen
Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Kata Netizen
Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Kata Netizen
Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Kata Netizen
Mengapa 'BI Checking' Dijadikan Syarat Mencari Kerja?

Mengapa "BI Checking" Dijadikan Syarat Mencari Kerja?

Kata Netizen
Apakah Jodohku Masih Menunggu Kutemui di LinkedIn?

Apakah Jodohku Masih Menunggu Kutemui di LinkedIn?

Kata Netizen
Pendidikan Itu Menyalakan Pelita Bukan Mengisi Bejana

Pendidikan Itu Menyalakan Pelita Bukan Mengisi Bejana

Kata Netizen
Banjir Demak dan Kaitannya dengan Sejarah Hilangnya Selat Muria

Banjir Demak dan Kaitannya dengan Sejarah Hilangnya Selat Muria

Kata Netizen
Ini yang Membuat Koleksi Uang Lama Harganya Makin Tinggi

Ini yang Membuat Koleksi Uang Lama Harganya Makin Tinggi

Kata Netizen
Terapkan Hidup Frugal, Tetap Punya Baju Baru buat Lebaran

Terapkan Hidup Frugal, Tetap Punya Baju Baru buat Lebaran

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com