Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufik Uieks
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Taufik Uieks adalah seorang yang berprofesi sebagai Dosen. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Menyoal Polemik Impor KRL Bekas Jepang Vs KRL Baru Buatan INKA

Kompas.com - 01/04/2023, 16:42 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Rencana pengajuan impor KRL bekas Jepang tengah dilakukan pihak PT Kereta Commuter Indonesia (KCI). Adapun tujuannya lantaran ada 10 rangkaian KRL di tahun 2023 dan 19 KRL di tahun 2024 yang akan dikonservasi.

Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) Didiek Hartantyo menyebutkan kemampuan PT KCI membeli kereta baru sangat terbatas dan hanya dipatok 10 persen akibat adanya Public Service Obligation (PSO). 

Meski begitu, rencana impor KRL bekas Jepang menuai penolakan dari sejumlah pihak, salah satunya legislator di DPR RI. Mereka meminta pihak KCI memprioritaskan produk kereta buatan dalam negeri yang diproduksi oleh PT INKA.

Kereta Impor Bekas Jepang Vs Kereta Baru

Idealnya pengadaan gerbong tentunya tidak harus impor, apa lagi kereta bekas dari Jepang. Namun kalau harus menunggu gerbong dari PT INKA, ternyata ada beberapa gerbong lama yang harus dipensiunkan dan akibatnya PT KAI harus mengurangi gerbong yang beroperasi sekaligus mengurangi frekuensi perjalanan. Akibatnya pun sudah bisa diramalkan, yaitu penumpukan penumpang terutama pada jam sibuk di pagi hingga malam hari saat jam pulang kerja.

Lantas jikalau ditanya, manakah gerbong KRL yang membuat penumpang nyaman, KRL bekas Jepang atau kereta baru buatan PT INKA?

Jawabannya tentu akan sangat personal dan kembali ke pengalaman serta pendapat setiap pengguna.

Namun bagi saya pribadi yang kebetulan pernah menggunakan kedua jenis gerbong tersebut ketika naik KRL, sebenarnya gerbong kereta bekas Jepang memiliki kesan lebih robust dan kokoh. Sedangkan, gerbong kereta buatan PT INKA tampak lebih modern dan ringan. Tentunya ini adalah kesan sejenak melalui visual saja.

Bagi saya yang juga punya pengalaman naik kereta Jepang di negara asalnya dan bahkan di negeri lain sepeti Myanmar yang menggunakan gerbong kereta bekas Jepang, sebenarnya kereta tersebut tetap layak digunakan asalkan dilengkapi dengan fitur-fitur yang lebih modern dan canggih.

Misalnya di Jabodetabek, sebagian besar gerbong KRL baik yang bekas Jepang maupun buatan PT INKA sudah dilengkapi dengan AC yang lumayan dingin, walaupun sebagian masih ada yang hanya pakai kipas angin. Hanya saja, sebagian besar gerbong masih kekurangan monitor info baik di dalam maupun di luar gerbong. Salah satunya adalah info mengenai stasiun tujuan akhir dan stasiun yang dilewati.

Bagi yang biasa naik KRL tentu tahu bedanya. Misalnya saja kalau kita naik dari Bekasi atau Cikarang, maka sebagian besar gerbong akan menuju ke Kampung Bandang maupun Angke. Namun sebenarnya ada dua rute yang dilewati, yaitu Manggarai atau Senen.

Sementara di stasiun, walau suatu peron biasanya ditujukan untuk tujuan tertentu, ternyata bisa saja dilewati kereta dengan tujuan yang lain.

Contoh, peron 7 di Stasiun Bekasi biasanya dialokasikan untuk kereta tujuan Kampung Bandan via Senen, sementara Peron 4 bisa untuk Kampung Bandan via Manggarai atau kadang via Senen. Sementara peron 5 untuk yang dari Cikarang menuju Kampung Bandan Via Manggarai.

Nah sementara di gerbong kereta bagian luar, biasanya monitor info tertulis stasiun akhir yaitu Kampung Bandan atau Angke, tetapi jarang yang dilengkapi dengan via Manggarai atau Senin.

Seandainya semua monitor info diberi keterangan, tentu akan memperkecil kemungkinan penumpang salah naik kereta. Walaupun tentu saja di dalam gerbong biasanya ada pengumuman yang disampaikan masinis mengenai tujuan akhir dan rute yang akan dilewati, tetapi terkadang ada juga masinis yang terlewat menyampaikannya.

Beberapa kali, saya pernah naik kereta ke stasiun Manggarai tetapi baru tahu salah naik ketika kereta sudah belok menuju Pondok Jati di stasiun Jatinegara.

Selain itu, yang perlu ditingkatkan dari KRL adalah passenger information display yang biasa ditemukan di MRT, sehingga penumpang tahu stasiun berikutnya dan pintu bagian mana yang akan dibuka.

Fasilitas ini sudah ada di kebanyakan metro, MRT, maupun subway baik di Hong Kong, Seoul, ataupun di Tokyo dan kota-kota besar di lainnya di Jepang.

Dengan hanya melihat passenger information display di atas pintu, pengunjung bisa melihat posisi kereta lengkap dengan stasiun yang akan dilewati. Sehingga tanpa bertanya dan mendengarkan, penumpang sudah tahu kalau akan turun.

Adanya pengumuman tersebut tentu menjadi lebih lengkap terutama untuk penumpang yang mungkin tidak bisa melihat atau membaca.

Kalau memang terpaksa masih harus mengimpor kereta bekas dari Jepang, ada baiknya sistem yang bagus di negeri asalnya kita terapkan juga di Jakarta atau kota lain yang ada fasilitas KRL.

Misalnya saja kalau kita naik Yamanote Line di Tokyo yang merupakan salah satu jalur paling penting untuk angkutan umum di Tokyo karena Jalurnya yang melingkar.

Di dalam gerbong, ada passenger information display di atas pintu yang menunjukan peta melingkar dengan seluruh nama stasiun. Ada 30 stasiun di jalur melingkar ini dan mencakup stasiun-stasiun besar dan penting di kota tokyo seperti stasiun Tokyo, Shinjuku, Yoyogi, Shibuya, Harajuku, Shinagawa, Hamamatsucho, Ueno dan Ikebukuro.

Dari stasiun-stasiun tersebut, penggunana kereta bisa naik Shinkansen, bus, atau monorail ke berbagai tujuan yang ada di Jepang.

Menariknya bukan hanya nama stasiun yang digambarkan, posisi kereta dan arah jalannya kereta juga jelas tergambar.

Lebih asyiknya lagi jika dilengkpai dengan estimasi waktu yang akan ditempuh kereta di setiap stasiun. Sehingga kalau kebetulan ada di stasiun Ikebukuro dan akan turun atau transit di Shinjuku, pengguna akan tahu berapa menit lagi kereta akan sampai.

Tentunya tidak terlalu sulit bagi PT KAI untuk menambahkan passenger information display di atas pintu kereta.

Selama ini sebagian kereta sudah dilengkapi dengan informasi yang sayangnya hanya menginfokan stasiun akhir tujuan perjalanan.

Selain itu, penumpang juga mendambakan kereta yang lebih nyaman dengan frekuensi yang lebih banyak, terutama pada jam sibuk.

Kota sepadat Jakarta tentunya perlu angkutan masal yang keberangkatannya di bawah 5 menit sekali pada jam sibuk, atau bahkan kalau bisa 2 atau 3 menit sekali. Tentunya ini memerlukan lebih banyak investasi baik di gerbong, sistem maupun infrastruktur lainnya.

Satu hal lagi yang sebenarnya diimpikan oleh pengguna KRL, yaitu perluasan jaringan KRL sehingga mencakup lebih banyak kawasan.

Seandainya ada jalur melingkar di Jabodetabek sehingga kalau dari Serpong mau ke Tanggerang yang jaraknya sangat dekat, maka tidak perlu transit di Tanah Abang lalu Duri dan kembali ke Tanggerang.

Tentu saja peningkatan frekuensi ini berkaitan dengan jalur rel yang sebagian masih bersimpangan dengan jalan raya dan juga masih adanya jalur yang dipakai bersama untuk kereta jarak jauh dan kereta bandara. 

Jika KRL mempunyai lebih banyak jalur dan rel yang hanya dipakai sendiri, tentunya layanan akan bisa ditingkatkan. Tentunya perlu dana banyak dan ini yang harus lebih diutamakan dibandingkan dengan membangun jalan tol dalam kota, misalnya.

Jadi buat pengguna jasa KRL, untuk saat ini memang tidak penting gerbong itu buatan mana, walau tentunya lebih suka jika buatan dalam negeri. Tetapi yang lebih penting adalah hal-hal yang telah dengan gamblang diuraikan di atas. Kalau tidak bisa yang susah-susah, maka yang mudah dulu bisa dipenuhi.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Tidak Penting Kereta INKA atau Bekas, yang Penting Bisa Tiru yang Baik"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Apa yang Membuat 'Desperate' Ketika Cari Kerja?

Apa yang Membuat "Desperate" Ketika Cari Kerja?

Kata Netizen
Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Antara Bahasa Daerah dan Mengajarkan Anak Bilingual Sejak Dini

Kata Netizen
Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kebebasan yang Didapat dari Seorang Pekerja Lepas

Kata Netizen
Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Menyiasati Ketahanan Pangan lewat Mini Urban Farming

Kata Netizen
Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Mari Mulai Memilih dan Memilah Sampah dari Sekolah

Kata Netizen
Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Menyoal Kerja Bareng dengan Gen Z, Apa Rasanya?

Kata Netizen
Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Solidaritas Warga Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Flores Timur

Kata Netizen
Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kenali 3 Cara Panen Kompos, Mau Coba Bikin?

Kata Netizen
Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Tips yang Bisa Menunjang Kariermu, Calon Guru Muda

Kata Netizen
Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Dapatkan Ribuan Langkah saat Gunakan Transportasi Publik

Kata Netizen
Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Apa Manfaat dari Pemangkasan Pada Tanaman Kopi?

Kata Netizen
Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kembangkan Potensi PMR Sekolah lewat Upacara Bendera

Kata Netizen
Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Menulis sebagai Bekal Mahasiswa ke Depan

Kata Netizen
Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Membedakan Buku Bekas dengan Buku Lawas, Ada Caranya!

Kata Netizen
Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Menunggu Peningkatan Kesejahteraan Guru Terealisasi

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau