Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sejak tahun 90-an, sesungguhnya kita tidak pernah kekurangan teknologi untuk tetap terhubung.
Di masa-masa itu kita masih punya telegram, lalu juga surat-menyurat. Di beberapa kota kecil yang lengang, seperti misalnya Jayapura, kita masih memiliki kotak telepon umum koin. Di samping juga masih ada sisa-sisa telepon rumah dengan engkol di sampingnya.
Sampai kemudian muncul warung telekomunikasi (wartel) dengan buku alamat nomor telepon berwarna kuning di sampingnya. Hingga teknologi yang masih ada hingga saat ini, yakni siaran radio.
Dari banyak teknologi komunikasi tersebut, para abege alias anak muda pada masa itu hampir akrab dengan semua jenis teknologi tadi, kecuali mungkin telegram. Sebab, rasanya telegram terlalu tua, kuno, dan terkesan hanya pas digunakan untuk orang-orang tua kita saja.
Oleh karenanya, di masa itu paling tidak kita pernah punya satu sahabat pena yang setiap minggu saling berbalas surat. Atau mengoleksi romansa yang panjang di depan kotak telepon umum koin. Menyalurkan kegalauan-kegalauan di dalam kamar telepon yang berada di halaman kantor Telkom.
Serupa dengan itu semua, kita juga pasti memiliki ingatan yang khusus, dengan radio. Di masa itu, radio membantu kita terhubung pada dunia yang sudah berkembang di luar sana, seperti contohnya dinamika musik terkini, berita nasional, lokal, maupun regional.
Bahkan melalui fasilitas radiogram, keluarga-keluarga di kampung bisa saling memberi kabar. Radio juga berperan sebagai perantara dalam menyampaikan kabar duka sehingga kita mengetahui siapa, hari apa, dan di mana kesedihan sedang terjadi di kota sendiri.
Namun, rasanya ada satu fungsi penting radio di atas semua keunggulan tadi, yakni merawat kebersamaan sirkel-sirkel pertemanan rombongan abege.
Pada masa itu, ada istilah PILPEN alias Pilihan Pendengar. Pilpen ini biasanya dimanfaatkan banyak abege 90-an untuk saling mengirim salam dan lagu yang kemudian dibacakan penyiar.
Salam itu kemudian akan dibalas lagi oleh temannya yang lain dan aan begitu terus saling balas membalas kirim salam. Rasanya sudah seperti arisan salam.
Biasanya saling mengirim salam dan lagu ini dilakukan oleh mereka yang tergabung dalam satu sirkel atau setidaknya masih dalam satu lingkup pergaulan, misalnya sekolah.
Singkatnya, para abege ini membuat keseruan yang justru difasilitasi oleh radio dan merencanakan lagi untuk perkara yang sama keesokan harinya. Meski terlihat sebagai kegiatan yang monoton dan seperti orang kurang kerjaan, namun memang begitulah kebersamaan memelihara dirinya lewat lagu dan saling kirim salam dari radio.
Namun tentu memang ada saja abege yang mengirimkan lagu dan salam untuk lawan jenis yang disukainya. Biasanya, jika perasaan itu tidak bertepuk sebelah tangan maka ia akan mendengar balasan yang juga akan dibacakan oleh sang penyiar.
Dua jiwa jinak-jinak merpati ini kemudian saling mengobati rindu lewat segmen Pilpen di radio, biasanya ini dilakukan oleh mereka yang tidak punya cukup nyali untuk menelepon langsung ke rumah orang yang disukainya itu.
Sesi pilpen ini sering juga digunakan untuk kirim salam kepada orang yang disuka secara anonim. Akan tetapi, jika profiling target yang ingin dikirimi salam kurang akurat, bisa jadi orang itu malah tidak tahu jika sebenarnya salam dan lagu itu ditujukan untuknya. Alhasil, kita mengirim kerinduan namun hanya didengarkan sendiri.
***
Terlepas dari semua itu, sejatinya radio bukan semata alat untuk saling melepas rindu.
Lebih dari itu, radio adalah ruang saat para penyiar membantu kita yang abege berlatih imajinasi dari sesuatu yang tidak kita lihat secara langsung.
Sebagai gambaran, saat kita mendengar satu siaran radio, bisa saja kita tidak berada di kelompok yang seusia dengan kita, sebut saja misalnya grup ronda bapak-bapak.
Meski begitu radio tetap ada di tengah percakapan dengan lagu-lagu lawas yang membuat kelompok bapak-bapak itu bisa bernyanyi bersama. Saat ini terjadi, kita yang masih abege waktu itu jadi bertanya, kegalauan macam apa yang mereka titipkan dalam lagu-lagu itu?
Atau saat waktu menjelang tengah malam, para penyiar biasanya akan membacakan berita dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang hari itu. Dari situ, kita jadi bisa mendengar dan mengetahui segala peristiwa yang terjadi sembari membayangkan bagaimana peristiwa terjadi dan di mana tempat terjadinya.
Terlebih ketika para penyiar itu menyampaikan siaran langsung sepak bola. Seperti Radio Pro II FM RRI yang sering menyiarkan langsung pertandingan Persipura di Mandala, Jayapura.
Para penyiar yang cekatan itu, bersama kalimat-kalimat yang meluncur deras mengikuti pandangan, selalu bisa menularkan ketegangan.
Ketika penyiar mengatakan Izack Fatari bergerak membawa bola di sisi kanan pertahanan Petrokimia Gresik, kita harus membayangkan bagaimana penyerang Persipuran bertubuh gempal ini berlari dengan gocekannya.
Kita tidak boleh melakukan hal lain selain diam penuh fokus di samping radio. Kecuali kita memilih kehilangan momentumnya.
Radio dan penyiar melatih pikiran kita dengan kata-kata yang bergerak aktif, melukiskan dunia di kepala, dan membuat hidup kekinian tidak sepenuhnya asing.
Radio bisa jadi arena publik mengontrol kerja kekuasaan. Pada radio yang hidup utamanya adalah produksi berita, ada sesi yang diberikan khusus untuk menampung keluhan warga. Daftar keluhan itu lantas disambungkan saat itu juga dengan pejabat bersangkutan.
Bersamaan dengan usaha mengontrol kinerja kekuasaan, radio-radio juga membuat talkshow dengan pembahasan isu-isu yang sedang ramai dengan pembicara yang mumpuni. Dari sini, kita tidak saja mengetahui isu publik apa yang sedang marak, kita pun bisa tahu mana pembicara yang layak dan tidak.
Selain itu, radio juga ikut mengabarkan kehidupan sehari-hari di sebuah kota. Bagaimana kondisi lalu lintas, harga kebutuhan pokok terkini di pasar-pasar, apa ada kejahatan-kejahatan, hingga kabar proyek pembangunan infrastruktur dasar yang dikorupsi.
Radio tidak sebatas fasilitas menghangatkan kebersamaan, produksi kangen-kangenan abege, atau melatih imajinasi--contoh paling bagus untuk ini adalah mendengarkan sandiwara radio yang berjilid-jilid. Tapi dengan radio, kita juga bisa melihat pengelolaan kekuasaan dan sumberdaya publik yang bermasalah.
Di hari-hari terakhir ini, ketika kita mendengar radio-radio mulai tumbang, kita menjadi saksi perkembangan teknologi informasi dan digitalisme yang memaksa mereka gulung tikar akhirnya. Mengikuti koran cetak di tengah internet, media daring, atau gurita blog.
Beberapa dari mereka beradaptasi dengan itu, beberapa lagi mungkin tidak memiliki cukup resource untuk tetap bisa bertahan.
Sedang kita para pendengar seperti melihat pemain pujaan di sebuah klub sepak bola. Dia pernah begitu hebat di sebuah masa lalu karena segalanya dikendalikan prinsip industrial, dia akhirnya menemukan senja kalanya juga.
Kita bersedih tapi kita sudah tahu ini akan terjadi. Kita hanya bisa menyimpan kenangannya rapat dan rapi.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Bagaimanakah Radio Tumbuh di Kenangan Abege 90-an?"