Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
S Aji
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama S Aji adalah seorang yang berprofesi sebagai Freelancer. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Melihat Bagaimana Radio Memenuhi Kenangan Banyak Remaja 90-an

Kompas.com, 26 November 2023, 18:00 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Sejak tahun 90-an, sesungguhnya kita tidak pernah kekurangan teknologi untuk tetap terhubung.

Di masa-masa itu kita masih punya telegram, lalu juga surat-menyurat. Di beberapa kota kecil yang lengang, seperti misalnya Jayapura, kita masih memiliki kotak telepon umum koin. Di samping juga masih ada sisa-sisa telepon rumah dengan engkol di sampingnya.

Sampai kemudian muncul warung telekomunikasi (wartel) dengan buku alamat nomor telepon berwarna kuning di sampingnya. Hingga teknologi yang masih ada hingga saat ini, yakni siaran radio.

Dari banyak teknologi komunikasi tersebut, para abege alias anak muda pada masa itu hampir akrab dengan semua jenis teknologi tadi, kecuali mungkin telegram. Sebab, rasanya telegram terlalu tua, kuno, dan terkesan hanya pas digunakan untuk orang-orang tua kita saja.

Oleh karenanya, di masa itu paling tidak kita pernah punya satu sahabat pena yang setiap minggu saling berbalas surat. Atau mengoleksi romansa yang panjang di depan kotak telepon umum koin. Menyalurkan kegalauan-kegalauan di dalam kamar telepon yang berada di halaman kantor Telkom.

Serupa dengan itu semua, kita juga pasti memiliki ingatan yang khusus, dengan radio. Di masa itu, radio membantu kita terhubung pada dunia yang sudah berkembang di luar sana, seperti contohnya dinamika musik terkini, berita nasional, lokal, maupun regional.

Bahkan melalui fasilitas radiogram, keluarga-keluarga di kampung bisa saling memberi kabar. Radio juga berperan sebagai perantara dalam menyampaikan kabar duka sehingga kita mengetahui siapa, hari apa, dan di mana kesedihan sedang terjadi di kota sendiri.

Namun, rasanya ada satu fungsi penting radio di atas semua keunggulan tadi, yakni merawat kebersamaan sirkel-sirkel pertemanan rombongan abege.

Pada masa itu, ada istilah PILPEN alias Pilihan Pendengar. Pilpen ini biasanya dimanfaatkan banyak abege 90-an untuk saling mengirim salam dan lagu yang kemudian dibacakan penyiar.

Salam itu kemudian akan dibalas lagi oleh temannya yang lain dan aan begitu terus saling balas membalas kirim salam. Rasanya sudah seperti arisan salam.

Biasanya saling mengirim salam dan lagu ini dilakukan oleh mereka yang tergabung dalam satu sirkel atau setidaknya masih dalam satu lingkup pergaulan, misalnya sekolah.

Singkatnya, para abege ini membuat keseruan yang justru difasilitasi oleh radio dan merencanakan lagi untuk perkara yang sama keesokan harinya. Meski terlihat sebagai kegiatan yang monoton dan seperti orang kurang kerjaan, namun memang begitulah kebersamaan memelihara dirinya lewat lagu dan saling kirim salam dari radio.

Namun tentu memang ada saja abege yang mengirimkan lagu dan salam untuk lawan jenis yang disukainya. Biasanya, jika perasaan itu tidak bertepuk sebelah tangan maka ia akan mendengar balasan yang juga akan dibacakan oleh sang penyiar.

Dua jiwa jinak-jinak merpati ini kemudian saling mengobati rindu lewat segmen Pilpen di radio, biasanya ini dilakukan oleh mereka yang tidak punya cukup nyali untuk menelepon langsung ke rumah orang yang disukainya itu.

Sesi pilpen ini sering juga digunakan untuk kirim salam kepada orang yang disuka secara anonim. Akan tetapi, jika profiling target yang ingin dikirimi salam kurang akurat, bisa jadi orang itu malah tidak tahu jika sebenarnya salam dan lagu itu ditujukan untuknya. Alhasil, kita mengirim kerinduan namun hanya didengarkan sendiri.

***

Terlepas dari semua itu, sejatinya radio bukan semata alat untuk saling melepas rindu.

Lebih dari itu, radio adalah ruang saat para penyiar membantu kita yang abege berlatih imajinasi dari sesuatu yang tidak kita lihat secara langsung.

Sebagai gambaran, saat kita mendengar satu siaran radio, bisa saja kita tidak berada di kelompok yang seusia dengan kita, sebut saja misalnya grup ronda bapak-bapak.

Meski begitu radio tetap ada di tengah percakapan dengan lagu-lagu lawas yang membuat kelompok bapak-bapak itu bisa bernyanyi bersama. Saat ini terjadi, kita yang masih abege waktu itu jadi bertanya, kegalauan macam apa yang mereka titipkan dalam lagu-lagu itu?

Atau saat waktu menjelang tengah malam, para penyiar biasanya akan membacakan berita dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang hari itu. Dari situ, kita jadi bisa mendengar dan mengetahui segala peristiwa yang terjadi sembari membayangkan bagaimana peristiwa terjadi dan di mana tempat terjadinya.

Terlebih ketika para penyiar itu menyampaikan siaran langsung sepak bola. Seperti Radio Pro II FM RRI yang sering menyiarkan langsung pertandingan Persipura di Mandala, Jayapura.

Para penyiar yang cekatan itu, bersama kalimat-kalimat yang meluncur deras mengikuti pandangan, selalu bisa menularkan ketegangan.

Ketika penyiar mengatakan Izack Fatari bergerak membawa bola di sisi kanan pertahanan Petrokimia Gresik, kita harus membayangkan bagaimana penyerang Persipuran bertubuh gempal ini berlari dengan gocekannya.

Kita tidak boleh melakukan hal lain selain diam penuh fokus di samping radio. Kecuali kita memilih kehilangan momentumnya.

Radio dan penyiar melatih pikiran kita dengan kata-kata yang bergerak aktif, melukiskan dunia di kepala, dan membuat hidup kekinian tidak sepenuhnya asing.

Radio bisa jadi arena publik mengontrol kerja kekuasaan. Pada radio yang hidup utamanya adalah produksi berita, ada sesi yang diberikan khusus untuk menampung keluhan warga. Daftar keluhan itu lantas disambungkan saat itu juga dengan pejabat bersangkutan.

Bersamaan dengan usaha mengontrol kinerja kekuasaan, radio-radio juga membuat talkshow dengan pembahasan isu-isu yang sedang ramai dengan pembicara yang mumpuni. Dari sini, kita tidak saja mengetahui isu publik apa yang sedang marak, kita pun bisa tahu mana pembicara yang layak dan tidak.

Selain itu, radio juga ikut mengabarkan kehidupan sehari-hari di sebuah kota. Bagaimana kondisi lalu lintas, harga kebutuhan pokok terkini di pasar-pasar, apa ada kejahatan-kejahatan, hingga kabar proyek pembangunan infrastruktur dasar yang dikorupsi.

Radio tidak sebatas fasilitas menghangatkan kebersamaan, produksi kangen-kangenan abege, atau melatih imajinasi--contoh paling bagus untuk ini adalah mendengarkan sandiwara radio yang berjilid-jilid. Tapi dengan radio, kita juga bisa melihat pengelolaan kekuasaan dan sumberdaya publik yang bermasalah.

Di hari-hari terakhir ini, ketika kita mendengar radio-radio mulai tumbang, kita menjadi saksi perkembangan teknologi informasi dan digitalisme yang memaksa mereka gulung tikar akhirnya. Mengikuti koran cetak di tengah internet, media daring, atau gurita blog.

Beberapa dari mereka beradaptasi dengan itu, beberapa lagi mungkin tidak memiliki cukup resource untuk tetap bisa bertahan.

Sedang kita para pendengar seperti melihat pemain pujaan di sebuah klub sepak bola. Dia pernah begitu hebat di sebuah masa lalu karena segalanya dikendalikan prinsip industrial, dia akhirnya menemukan senja kalanya juga.

Kita bersedih tapi kita sudah tahu ini akan terjadi. Kita hanya bisa menyimpan kenangannya rapat dan rapi.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Bagaimanakah Radio Tumbuh di Kenangan Abege 90-an?"

 
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau