Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Yunita Kristanti Nur Indarsih adalah seorang yang berprofesi sebagai Pendidik. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

KDRT: Minimnya Pengaduan dan Peran Penting Undang-undang

Kompas.com - 23/12/2023, 12:33 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) sering kali tak terungkap dan menjadi masalah kronis yang merusak kesehatan fisik serta mental korban, terutama perempuan dan anak-anak.

Mengapa banyak kasus KDRT tak terungkap? Apa yang menjadi penghambat?

Menengok Statistik Kasus Kekerasan di Indonesia

Menurut data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA), dari tahun 2022 hingga bulan Juni 2023 terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban mencapai 16.275 orang.

Jika dilihat dari jenis kekerasannya, ditemukan sebanyak 7.940 adalah kasus kekerasan fisik, 6.576 adalah kasus kekerasan psikis, 2.948 adalah kasus kekerasan seksual, dan 2.199 adalah kasus penelantaran.

Masih dari data Simfoni PPPA, sepanjang Januari-Juni 2023 tercatat kasus kekerasan paling banyak adalah KDRT, sebanyak 7.649 atau 48,04 persen.

Data Komnas Perempuan mencatat terdapat 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2022. Dari jumlah itu 91% di antaranya merupakan kasus KDRT yang melibatkan istri dan anak sebagai korban, serta suami/ayah sebagai pelaku.

Tantangan Pengungkapan Kasus KDRT

Banyak kasus KDRT yang pada akhirnya tetap tersembunyi dan tak bisa diungkap adalah karena kebanyakan masyarakat kita masih menganggap hal itu sebagai masalah privat.

Adanya anggapan itu menjadikan pihak lain di luar rumah tangga menjadi enggan untuk ikut campur apalagi memberi pertolongan.

Selain itu, korban seringkali tidak mampu mengungkapkan kekerasan yang dialaminya karena pertimbangan sosial, ekonomi, reputasi, dan anggapan bahwa perempuan tidak memiliki kekuatan di masyarakat akibat mengakarnya budaya patriarki.

Ditambah lagi, para korban yang umumnya perempuan juga takut akan menjadi janda karena stigma buruk yang menyelimutinya, apabila berani bertindak dengan menggugat cerai suami sebagai pelaku kekerasan.

Peran Undang-Undang dan Upaya Menuntaskan Kasus KDRT di Indonesia

Meskipun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga telah ada sejak 2004, kasus kekerasan di Indonesia masih terus meningkat.

Oleh karenanya, diperlukan dukungan dan upaya bersama untuk menegakkan keadilan bagi korban KDRT. Upaya ini perlu melibatkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk keluarga, tetangga, dan lembaga sosial.

Selain itu, tak kalah penting untuk memberikan pendekatan edukasi pada korban terkait self-esteem dan pemulihan trauma harus menjadi fokus utama.

Sebab, seringkali korban kekerasan akan emrasa frustasi dengan keadaan yang dialaminya, sehingga ia memilih untuk bungkam karena merasa tak ada jalan untuk keluar dari situasi buruk itu. Akibatnya, banyak korban kekerasan akan memiliki konsep diri yang rendah.

Maka dari itu, penting kiranya untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis korban dengan memberikan pendampungan serta edukasi mengenai hidup bermakna dan berharga. Dengan begitu korban perlahan akan mampu memiliki pilihan-pilihan hidup yang kelak dapat memerdekakan dirinya.

Pendekatan personal dan kolaboratif untuk pemulihan trauma juga menjadi kunci. Pemulihan trauma pada perempuan dewasa mungkin bisa lebih mudah, tetapi tidak demikian dengan korban kekerasan pada anak-anak.

Diperlukan pendekatan khusus dan perhatian ekstra untuk mengatasi trauma pada anak-anak agar tidak menjadi penghalang tumbuh kembangnya kelak.

Selain itu, peran media juga sangat penting dalam membuka ruang diskusi tentang KDRT. Publikasi yang lebih masif akan berita-berita mengenai kasus KDRT, upaya penanganan, dan cara-cara yang bisa dilakukan untuk membantu korban diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat sekaligus memotivasi tindakan preventif.

Melakukan edukasi serta penyuluhan akan dampak buruk KDRT dan pentingnya melibatkan peran semua pihak untuk mencegah kasus kekerasan terulang juga penting untuk dilakukan.

Menjalin kerja sama dengan LSM dan pihak terkait lain, seperti kepolisian serta lembaga perlindungan anak juga tak kalah penting.

Sinergi antar berbagai pihak dapat meningkatkan efektivitas penanganan kasus KDRT, memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korban, dan memberikan sanksi yang lebih tegas bagi pelaku.

Penutup

Mengutip pemahaman cinta dari Erich Fromm, bahwasannya cinta seharusnya tidak melibatkan kekuasaan, dominasi, atau kekerasan.

Melibatkan masyarakat dalam pengungkapan kasus KDRT dan memberikan pendekatan holistik untuk pemulihan korban menjadi kunci dalam mengatasi fenomena kekerasan dalam rumah tangga ini.

Dengan melakukan berbagai upaya tadi, maka diharapkan kasus kekerasan, khususnya KDRT di Indonesia akan semakin berkurang.

Sekali lagi, ingatlah bahwa sejatinya cinta bukan untuk saling menguasai atau dikuasai, apalagi sampai menyakiti.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "KDRT: Fenomena Gunung Es yang Sulit Diungkap, Benarkah?"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Kini Naik Bus dari Bogor ke Jakarta Kurang dari 'Goceng'
Kini Naik Bus dari Bogor ke Jakarta Kurang dari "Goceng"
Kata Netizen
Diet Saja Tak Cukup untuk Atasi Perut Buncit
Diet Saja Tak Cukup untuk Atasi Perut Buncit
Kata Netizen
Bisakah Berharap Rusun Bebas dari Asap Rokok?
Bisakah Berharap Rusun Bebas dari Asap Rokok?
Kata Netizen
Mencari Kandidat Pengganti Nasi, Sorgum sebagai Solusi?
Mencari Kandidat Pengganti Nasi, Sorgum sebagai Solusi?
Kata Netizen
Perang Ego, Bisakah Kita Menghentikannya?
Perang Ego, Bisakah Kita Menghentikannya?
Kata Netizen
Berpenampilan Menarik, Bisa Kerja, dan Stereotipe
Berpenampilan Menarik, Bisa Kerja, dan Stereotipe
Kata Netizen
Jelang Bagikan Rapor, Wali Murid Boleh Beri Hadiah?
Jelang Bagikan Rapor, Wali Murid Boleh Beri Hadiah?
Kata Netizen
Delayed Gratification, Dana Pensiun, dan Masa Tua
Delayed Gratification, Dana Pensiun, dan Masa Tua
Kata Netizen
Memaknai Idul Kurban dan Diplomasi Kemanusiaan
Memaknai Idul Kurban dan Diplomasi Kemanusiaan
Kata Netizen
Sudah Sejauh Mana Pendidikan Kita Saat Ini?
Sudah Sejauh Mana Pendidikan Kita Saat Ini?
Kata Netizen
Masihkah Relevan Peran dan Tugas Komite Sekolah?
Masihkah Relevan Peran dan Tugas Komite Sekolah?
Kata Netizen
Masa Muda Sejahtera dan Tua Bahagia, Mau?
Masa Muda Sejahtera dan Tua Bahagia, Mau?
Kata Netizen
Jebakan Frugal Habit, Sudah Mencoba Hemat Tetap Saja Boncos
Jebakan Frugal Habit, Sudah Mencoba Hemat Tetap Saja Boncos
Kata Netizen
Indonesia dan Tingkat Kesejahteraan Tertinggi di Dunia
Indonesia dan Tingkat Kesejahteraan Tertinggi di Dunia
Kata Netizen
Mendesak Sistem Pendukung dan Lingkungan Adaptif bagi Difabel
Mendesak Sistem Pendukung dan Lingkungan Adaptif bagi Difabel
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau