Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) sering kali tak terungkap dan menjadi masalah kronis yang merusak kesehatan fisik serta mental korban, terutama perempuan dan anak-anak.
Mengapa banyak kasus KDRT tak terungkap? Apa yang menjadi penghambat?
Menurut data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA), dari tahun 2022 hingga bulan Juni 2023 terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban mencapai 16.275 orang.
Jika dilihat dari jenis kekerasannya, ditemukan sebanyak 7.940 adalah kasus kekerasan fisik, 6.576 adalah kasus kekerasan psikis, 2.948 adalah kasus kekerasan seksual, dan 2.199 adalah kasus penelantaran.
Masih dari data Simfoni PPPA, sepanjang Januari-Juni 2023 tercatat kasus kekerasan paling banyak adalah KDRT, sebanyak 7.649 atau 48,04 persen.
Data Komnas Perempuan mencatat terdapat 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2022. Dari jumlah itu 91% di antaranya merupakan kasus KDRT yang melibatkan istri dan anak sebagai korban, serta suami/ayah sebagai pelaku.
Banyak kasus KDRT yang pada akhirnya tetap tersembunyi dan tak bisa diungkap adalah karena kebanyakan masyarakat kita masih menganggap hal itu sebagai masalah privat.
Adanya anggapan itu menjadikan pihak lain di luar rumah tangga menjadi enggan untuk ikut campur apalagi memberi pertolongan.
Selain itu, korban seringkali tidak mampu mengungkapkan kekerasan yang dialaminya karena pertimbangan sosial, ekonomi, reputasi, dan anggapan bahwa perempuan tidak memiliki kekuatan di masyarakat akibat mengakarnya budaya patriarki.
Ditambah lagi, para korban yang umumnya perempuan juga takut akan menjadi janda karena stigma buruk yang menyelimutinya, apabila berani bertindak dengan menggugat cerai suami sebagai pelaku kekerasan.
Meskipun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga telah ada sejak 2004, kasus kekerasan di Indonesia masih terus meningkat.
Oleh karenanya, diperlukan dukungan dan upaya bersama untuk menegakkan keadilan bagi korban KDRT. Upaya ini perlu melibatkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk keluarga, tetangga, dan lembaga sosial.
Selain itu, tak kalah penting untuk memberikan pendekatan edukasi pada korban terkait self-esteem dan pemulihan trauma harus menjadi fokus utama.
Sebab, seringkali korban kekerasan akan emrasa frustasi dengan keadaan yang dialaminya, sehingga ia memilih untuk bungkam karena merasa tak ada jalan untuk keluar dari situasi buruk itu. Akibatnya, banyak korban kekerasan akan memiliki konsep diri yang rendah.
Maka dari itu, penting kiranya untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis korban dengan memberikan pendampungan serta edukasi mengenai hidup bermakna dan berharga. Dengan begitu korban perlahan akan mampu memiliki pilihan-pilihan hidup yang kelak dapat memerdekakan dirinya.
Pendekatan personal dan kolaboratif untuk pemulihan trauma juga menjadi kunci. Pemulihan trauma pada perempuan dewasa mungkin bisa lebih mudah, tetapi tidak demikian dengan korban kekerasan pada anak-anak.
Diperlukan pendekatan khusus dan perhatian ekstra untuk mengatasi trauma pada anak-anak agar tidak menjadi penghalang tumbuh kembangnya kelak.
Selain itu, peran media juga sangat penting dalam membuka ruang diskusi tentang KDRT. Publikasi yang lebih masif akan berita-berita mengenai kasus KDRT, upaya penanganan, dan cara-cara yang bisa dilakukan untuk membantu korban diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat sekaligus memotivasi tindakan preventif.
Melakukan edukasi serta penyuluhan akan dampak buruk KDRT dan pentingnya melibatkan peran semua pihak untuk mencegah kasus kekerasan terulang juga penting untuk dilakukan.
Menjalin kerja sama dengan LSM dan pihak terkait lain, seperti kepolisian serta lembaga perlindungan anak juga tak kalah penting.
Sinergi antar berbagai pihak dapat meningkatkan efektivitas penanganan kasus KDRT, memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korban, dan memberikan sanksi yang lebih tegas bagi pelaku.
Mengutip pemahaman cinta dari Erich Fromm, bahwasannya cinta seharusnya tidak melibatkan kekuasaan, dominasi, atau kekerasan.
Melibatkan masyarakat dalam pengungkapan kasus KDRT dan memberikan pendekatan holistik untuk pemulihan korban menjadi kunci dalam mengatasi fenomena kekerasan dalam rumah tangga ini.
Dengan melakukan berbagai upaya tadi, maka diharapkan kasus kekerasan, khususnya KDRT di Indonesia akan semakin berkurang.
Sekali lagi, ingatlah bahwa sejatinya cinta bukan untuk saling menguasai atau dikuasai, apalagi sampai menyakiti.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "KDRT: Fenomena Gunung Es yang Sulit Diungkap, Benarkah?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.