Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pendidikan adalah fundamental dalam bernegara. Perlu perhatian serius agar pendidikan bisa terus ditingkatkan.
Jadi, dengan sistem pendidikan yang berjalan dengan baik, secara langsung merupakan keberhasilan dari suatu negara dalam melakukan pembangunan sumber daya manusia.
Maka bisa dibayangkan kalau itu terjadi sebaliknya akan berpotensi kegagalan dari suatu negara.
Sudah ada contohnya dari negara-negara lainnya, Finlandia, Slovenia, Jerman, dan Swedia menerapkan sistem pendidikan gratis bagi warga negaranya, bahkan bagi mahasiswa asing baik di sekolah negeri maupun swasta.
Sementara itu, negara yang masuk dalam kategori berkembang menuju maju, Indonesia memang belum menggratiskan biaya pendidikan tinggi.
Sampai saat ini, menurut laporan Tahunan SDGs 2023, program wajib belajar 12 tahun, mulai dari level pendidikan dasar (SD) hingga pendidikan menengah atas (SMA).
Kalau negara lain bisa menerapkan, bukan hal yang aneh jika kita bisa mendorong agar program wajib belajar diubah lagi menjadi hingga jenjang perguruan tinggi lewat revisi UU Sisdiknas.
Wacana tersebut diangkat lantaran banyak kisah anak-anak dari keluarga miskin yang potensial, namun tidak berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi.
Kalau Tidak Bisa Gratis, Murahkan!
Pengalaman kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS) hingga level Magister membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka bagi mereka yang sudah menjalani pasti mengerti ketika terjadi beragam protes yang dilayangkan soal kenaikan uang kuliah tunggal (UKT).
Sistem UKT ini diberikan kepada mahasiswa sesuai dengan kemampuan ekonominya. Maka dari itu, setiap mahasiswa akan memiliki nilai UKT yang berbeda-beda sesuai dengan kemmapuan orangtua.
Jadi ketika adanya wacana kenaikan biaya UKT akan berdampak pada kemampuan ekonomi mahasiswa. Sayangnya, seperti yang sempat beredar, pihak kampus hanya memberikan opsi supaya mahasiswa meminjam uang pada platform seperti pinjaman online (pinjol) untuk membayar UKT.
Imbas Mahalnya Biaya Pendidikan
Apabila pihak pemerintah dan kampus tidak mencari cara terbaik untuk menurunkan biaya UKT, maka imbasnya adalah calon mahasiswa (camaba) bakal mengundurkan diri.
Pada masa mendatang, baik PTN maupun PTS di Indonesia, akan sepi peminat mahasiswa yang mendaftar.
Bila kampus sepi peminatnya karena biaya UKT yang mahal, akan berimbas pada angka kemiskinan bisa naik.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena pendidikan merupakan faktor kunci dalam mengurangi/mengentaskan kemiskinan.
Pendidikan yang berkualitas dengan biaya yang terjangkau bisa memberi peluang tiap individu dari semua kalangan keterampilan dan pengetahuan.
Kalau itu bisa berjalan lancar, bukan tidak mungkin akan cukup untuk mendapat pekerjaan dengan gaji yang lebih baik.
Jika biaya pendidikan semakin mahal, hal ini akan berpengaruh pada jumlah mahasiswa yang mendaftar pada perguruan tinggi. Semakin sedikit SDM yang mendapatkan pendidikan berkualitas, semakin besar masalah yang dihadapi oleh pemerintah.
Untungnya Kalau Biaya Pendidikan Digratiskan
Menerapkan kebijakan pendidikan gratis di perguruan tinggi berdampak pada keuntungan bagi kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa.
Lewat pendidikan yang digratiskan bisa meningkatkan ekonomi dan mamajukan sektor teknologi. Pun, akan meningkatkan kesadaran akan kelestarian lingkungan, mengurangi tingkat kejahatan, memperbaiki kesehatan individu, dan mengurangi kesenjangan gender.
Singkatnya, pendidikan gratis memiliki potensi untuk memberikan berbagai hasil positif bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Pendidikan Gratis di Perguruan Tinggi, Bisakah Terwujud?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.