Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ludiro Madu
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Ludiro Madu adalah seorang yang berprofesi sebagai Dosen. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

BIsakah Menjamin Ketahanan Pangan lewat Real Food?

Kompas.com - 08/10/2024, 13:21 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Tantangan terbesar dan nyata yang mesti Indonesia hadapi saat ini adalah menjamin ketahanan pangan. Dari beragam solusi yang ditawarkan, muncul ide lewat makanan alami atau real food

Gerakan ini mengajak masyarakat untuk mengonsumsi makanan yang minim proses dan bebas bahan tambahan buatan.

Lalu, bagaimana gerakan ini bisa membantu ketahanan pangan Indonesia? Mari kita memakai cara pandang "ekonomi politik sehari-hari" atau everyday political economy yang dikembangkan oleh Lena Rethel.

Apa Itu Ekonomi Politik Sehari-hari?

Lena Rethel, seorang ahli ekonomi politik, mengusulkan cara baru untuk memahami bagaimana ekonomi dan politik saling mempengaruhi. Dia menyebutnya "ekonomi politik sehari-hari". 

Intinya, Rethel mengajak kita untuk memperhatikan hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari, seperti apa yang kita makan atau beli. Menurutnya, kebiasaan sehari-hari ini sebenarnya terhubung dengan sistem ekonomi dan politik yang lebih besar (Rethel, 2018).

Jika kita terapkan cara pandang Rethel, kita bisa melihat bahwa pilihan makanan kita sehari-hari sebenarnya punya dampak besar. Contohnya, ketika kita memilih membeli sayur organik dari petani lokal, kita tidak hanya membuat pilihan makanan yang sehat. 

Dengan cara itu, kita sebenarnya mendukung petani kecil dan membantu ekonomi lokal. Praktik ini sejalan dengan konsep "kedaulatan pangan" yang semakin mendapat perhatian dalam diskursus ketahanan pangan global.

Pemerintah Indonesia sendiri sudah mulai mendorong masyarakat untuk mengonsumsi makanan lokal yang sehat. Misalnya lewat program "Gerakan Makan Sayur dan Buah Nusantara" dari Kementerian Pertanian. 

Program ini mengajak masyarakat untuk lebih banyak makan buah dan sayur lokal (Kementerian Pertanian RI, 2020). Bukan melulu soal gizi, tapi program ini berujung pada dukungan kepada petani Indonesia.

Di kota-kota besar, kita bisa melihat munculnya tren urban farming atau berkebun di perkotaan. Di Surabaya, konon, ada lebih dari 3.000 kebun kota. Kebun-kebun ini tidak hanya menyediakan makanan segar untuk warga kota. Mereka juga menciptakan lapangan kerja dan membantu ketahanan pangan kota.

Tantangan

Meski ide makanan alami ini bagus, kenyataannya memang tidak mudah diterapkan begitu saja. Salah satu masalah besarnya adalah pengaruh perusahaan makanan besar. 

Perusahaan-perusahaan ini punya banyak dana untuk iklan dan membuat orang tertarik pada produk mereka. Akibatnya, banyak orang Indonesia yang masih lebih suka makan makanan cepat saji atau makanan olahan. 

Masalah lainnya, yaitu harga. Makanan alami atau organik biasanya lebih mahal. Ini jadi masalah bagi banyak keluarga Indonesia yang punya uang terbatas. 

Di sinilah, peran pemerintah jadi penting dalam membuat kebijakan. Tujuannya membantu masyarakat mendapatkan makanan sehat dengan harga terjangkau.

Salah satu program pemerintah yang bisa membantu adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini memberi bantuan pangan ke keluarga miskin. 

Pemerintah bisa menambahkan pelajaran tentang gizi dan cara mendapatkan makanan sehat dalam program ini. Mereka juga bisa membantu keluarga-keluarga ini mendapatkan akses ke pasar tani lokal.

Kebijakan bakal menarik ketika pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran menjalankan program makan gratis. Kaitannya adalah program itu mengangkat makanan alami atau real food.

Inovasi dan Solusi

Untungnya, banyak ide kreatif yang muncul untuk mengatasi masalah-masalah ini. Contohnya, ada aplikasi bernama TaniHub yang menghubungkan petani langsung dengan pembeli. 

Aplikasi ini pernah populer ketika di masa Covid-19 dan kabarnya bisa membantu petani menjual hasil panen mereka dengan harga yang lebih baik. Repotnya, perusahaan pemilik aplikasi itu sudah bangkrut dan bermasalah.

Ada juga program "Kampung Pangan Lestari" dari Kementerian Pertanian. Program ini mengajak masyarakat untuk menanam makanan mereka sendiri di lingkungan tempat tinggal mereka. 

Program-program semacam juga muncul diinisiasi pemerintah daerah, organisasi, atau masyarakat dengan tujuan serupa. 

Satu hal yang menarik, banyak makanan tradisional Indonesia sebenarnya sudah termasuk "makanan alami". Contohnya tempe, makanan dari kedelai yang kaya protein. 

Tempe sudah lama jadi makanan sehari-hari orang Indonesia. Mempromosikan makanan tradisional seperti ini bisa jadi cara yang bagus untuk mendorong orang makan makanan yang lebih sehat (Astuti et al., 2014).

Jadi, bagaimana makanan alami bisa membantu ketahanan pangan Indonesia? Jawabannya ada di kebiasaan kita sehari-hari. 

Pendekatan everyday political economy dapat membantu kita memahami bagaimana norma-norma sosial dan budaya mempengaruhi transisi menuju real food. Di Indonesia, makanan tradisional seringkali sudah merupakan bentuk real food. 

Tempe, misalnya, makanan fermentasi kedelai yang kaya protein, telah lama menjadi bagian dari diet sehari-hari masyarakat Indonesia. Mempromosikan dan melestarikan makanan tradisional semacam ini dapat menjadi strategi efektif untuk meningkatkan konsumsi real food dan memperkuat ketahanan pangan.

Dengan memahami ini, kita bisa membuat pilihan yang lebih baik dan bersama-sama membangun ketahanan pangan Indonesia yang lebih kuat.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Memperkuat Ketahanan Pangan Lewat Real Food?"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Buka Warung Makan, Kapan Waktu yang Tepat Rekrut Pegawai?

Buka Warung Makan, Kapan Waktu yang Tepat Rekrut Pegawai?

Kata Netizen
Katanya Susah Nabung, tetapi Belanja Terus

Katanya Susah Nabung, tetapi Belanja Terus

Kata Netizen
BIsakah Menjamin Ketahanan Pangan lewat Real Food?

BIsakah Menjamin Ketahanan Pangan lewat Real Food?

Kata Netizen
Eksistensi Toko Buku Bekas di Tengah Era Disrupsi

Eksistensi Toko Buku Bekas di Tengah Era Disrupsi

Kata Netizen
Logika Kelas Ekonomi antara Kaya dan Miskin

Logika Kelas Ekonomi antara Kaya dan Miskin

Kata Netizen
Stigma hingga Edukasi tentang Vasektomi

Stigma hingga Edukasi tentang Vasektomi

Kata Netizen
Tradisi Ngedekne Rumah dan Oblok-Oblok Tempe Berkuah

Tradisi Ngedekne Rumah dan Oblok-Oblok Tempe Berkuah

Kata Netizen
Antara Buku, Pendidikan, dan Kecerdasan Buatan

Antara Buku, Pendidikan, dan Kecerdasan Buatan

Kata Netizen
Antisipasi Penipuan lewat Digital Banking

Antisipasi Penipuan lewat Digital Banking

Kata Netizen
Apakah Kamu Termasuk Pendikte di Lingkungan Kerja?

Apakah Kamu Termasuk Pendikte di Lingkungan Kerja?

Kata Netizen
Tes Sidik Jari dari Sudut Pandang Psikologis

Tes Sidik Jari dari Sudut Pandang Psikologis

Kata Netizen
Utang, Paylater, dan Pinjol

Utang, Paylater, dan Pinjol

Kata Netizen
'Wedding Anniversary', Sederhana tetapi Penuh Makna

"Wedding Anniversary", Sederhana tetapi Penuh Makna

Kata Netizen
Bonding Orangtua Masa Kini, Anak adalah Teman

Bonding Orangtua Masa Kini, Anak adalah Teman

Kata Netizen
Kapan Sebaiknya Hewan Divaksin?

Kapan Sebaiknya Hewan Divaksin?

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau