Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Menagih utang susahnya minta ampun, akhirnya si pemberi utang -- piutang - bosan dan menyerah. Jujurly, saya pernah beberapa kali mengalaminya.
Tidak sekali dua kali, dengan orang berbeda di masa dan tempat berbeda. Semasa masih bujangan, dengan teman baik di Surabaya. Kemudian pindah ke Jakarta, ada teman sekantor yang tidak membayar utang.. Setelah menikah, kejadian serupa terjadi.
Kejadian terbaru, urusan pinjam meminjam tak selesai di tahun 2024 yang baru lalu. Sebenarnya bukannya tidak belajar dari kasus yang lalu, tetapi ada case yang tidak bisa dihindarkan -- nanti saya ceritakan detil-nya.
Yang pasti sangat manusiawi, seketika ada perasaan kesal dan kecewa. Apalagi kalau sedang tiada uang, dan benar-benar butuh. Maka pikiran langsung ingat, pada nama-nama pemangkir utang. Tetapi mau menagih enggan, karena sudah bisa menebak endingnya
Seiring berjalannya waktu, mau tak mau sikap nrimo itu datang. Sembari belajar mengikhlaskan, belajar berdamai dengan keadaan. Tetapi kepada si pengutang, dijamin sikap kita mulai berubah dan bergeser.
Yang semula dekat menjadi renggang, semula peduli menjadi acuh. Alergi berurusan dengan orang yang sama, enggan membuka hubungan pertemanan lagi. Karena jadi teringat, kejadian menyesakkan hati itu.
Benar, bahwa utang bukan sekadar uang. Tetapi menyangkut kredibilitas, menyangkut kepercayaan. Orang yang mangkir dari utangnya adalah orang yang sedang merugikan dirinya sendiri. Niscaya dijauhi yang pernah dekat, otomatis menutup pintu rejeki sendiri.
***
Sebenarnya sama sekali tidak ada larangan, orang memiliki utang. Karena kondisi terdesak dan kepepet, sangat bisa dialami orang kapan saja. Utang bisa menjadi jalan keluar, saat keuangan sedang tidak baik dan ada kebutuhan mendesak.
Namun berutang musti dibarengi niat baik, yaitu membayar sesuai kesepakatan. Kalau di waktu dijanjikan, nyatanya uang benar-benar kosong. Sebaiknya disampaikan, jangan lantas menghindar bahkan menghilang. Utarakan dengan kalimat yang santun, minta penangguhan waktu membayar.
Utang ibarat pedang bermata dua. di satu sisi melegakan disisi lain mengikat. Memang lega rasanya, saat kondisi sempit bisa memenuhi kebutuhan. Tetapi jangan abai, ada kewajiban membayar uang orang.
Berutang, adalah mempertaruhkan kredibilitas. Kalau tidak membayar utang, artinya siap menghancurkan nama baik diri. Akibatnya cukup fatal, baik untuk jangka pendek maupun panjang. Niscaya kepercayaan orang luntur, pada yang sengaja mangkir membayar.
Saya yakin, Kompasianer pasti mengimani. Bahwa utang akan dibawa mati, sedemikian dahsyatnya dampak tidak membayar utang. ---wallahu'alam bishowab.
Utang Bukan Sekadar Soal Uang tapi Kredibiltas
Suatu waktu, teman lama pernah satu kantor berkirim kabar. Bahwa ada restoran, minta dibuatkan video untuk promosi paket di hari besar. Selain mendapat menu direview, saya juga mendapatkan hak berupa fee.
Teman ini, kerap berbagi pekerjaan. Selain juga pemilik usaha rumahan, pertemanan dengan pelaku UMKM lain lumayan banyak. Kami punya kesepakatan, soal besaran pembagian fee. Kalau ada pengguna jasa, melalui jalur beliau.
Saya pribadi tidak kaku soal harga, terutama pada pelaku usaha kecil. Tidak jarang digratiskan, membayar dengan makanan yang sedang direview. Itung-itung membantu promosi, orang yang butuh tetapi tidak ada budget.
Tetapi kalau skala usaha-nya besar, misalnya sekelas resto atau caffee di Mall. Biasanya kami akan nego harga, sebelum terjadi kesepakatan.
Setelah kami sepakat, maka saya ke restoran dimaksud mengambil video. Setalah editing dan approval, diposting di medsos sesuai jadwal disepakati. Semua proses berjalan lumayan mulus, sampai pada hari pembayaran.
Gelagat mangkir mulai terbaca, ketika teman penghubung mengulur ulur waktu. Dari restoran mengaku sudah membayar, ditransfer ke rekening teman penghubung. Janji sehari dua hari ditunggu, seminggu dua minggu dijabani.
Ketika sudah masuk hitungan satu dua bulan, wapri saya dibalasnya lama. Alasannya sibuk, atau ketumpuk dengan wapri lain, dan macam-macam alasan. Pesan saya tadinya contreng biru, berubah contreng dua-- tidak berubah warna---sampai contreng satu.
Kalimat "utang bukan sekadar uang", benar-benar bukan kalimat kosong. Sejak saat itu, teman ini menghilang. Awalnya saya masih berusaha menagih, lama-lama mengikhlaskan dan malas untuk menagihnya.
***
Pintu rejeki teman ini berkurang, resto pernah dibuatkan video diperantarainya. Kini pemiliknya DM langsung, minta dibuatkan video yang baru. Konon sudah dicoba melalui teman yang biasa, tetapi responnya sangat lambat.
Kami bisa nego tanpa perantara, membuat kesepakatan dengan owner-nya langsung, Dan fee yang biasa dibagi, kini seratus persen utuh. Padahal kalau pertemanan dijaga baik, otomatis kami tetap melibatkan perantara.
Kredibilitas teman penghubung, jatuh di mata saya dan pemilik resto. Karena utang bukan sekadar uang, tetapi soal kredibilitas. Semoga bermanfaat.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Utang Bukan Sekadar Soal Uang tapi Kredibilitas"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.