Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pernah dengar istilah fatherless? Singkatnya, fatherless adalah kondisi ketika seorang anak tumbuh tanpa kehadiran figur ayah dalam hidupnya.
Hadirnya sosok ayah bukan sekadar secara fisik, tetapi memberi perhatian kepada anak.
Ini bukan hanya soal ayah yang meninggal atau bercerai, tapi juga bisa terjadi ketika ayah ada secara fisik, tapi tidak benar-benar hadir secara emosional.
Misalnya, ayah yang terlalu sibuk kerja, tidak pernah ngobrol dengan anak, atau bahkan tidak peduli dengan perkembangan emosional mereka.
Masalahnya, fatherless ini punya dampak besar terhadap perkembangan emosional dan sosial anak.
Ayah bukan sekedar pencari nafkah, tapi juga sosok penting dalam membentuk kepercayaan diri, konsep diri, dan pemahaman anak tentang hubungan yang sehat.
Anak yang tumbuh tanpa figur ayah cenderung memiliki kecemasan tinggi, sulit percaya pada orang lain, dan lebih rentan mengalami ketidakstabilan emosi.
Salah satu dampak paling serius dari fatherless adalah anak bisa salah mengartikan cinta dan kasih sayang.
Anak perempuan yang tidak pernah merasakan kasih sayang dari ayahnya, misalnya, bisa tumbuh dengan kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi.
Akibatnya mereka cenderung mencari kasih sayang dari orang lain, bahkan rela menerima perlakuan buruk dalam hubungan hanya demi merasa "dicintai."
Sedangkan anak laki-laki yang tumbuh tanpa contoh bagaimana seorang pria seharusnya memperlakukan wanita, bisa jadi tidak paham cara membangun hubungan yang sehat, bahkan berpotensi jadi pasangan yang dingin atau kasar.
Jadi, fatherless bukan sekedar absennya ayah di rumah, tapi lebih dari itu—ini soal bagaimana anak kehilangan panduan penting dalam memahami cinta, kasih sayang, dan relasi yang sehat dengan orang lain.
Anak yang tumbuh tanpa figur ayah sering kali merasa ada yang "kurang" dalam hidup mereka. Tidak ada sosok yang bisa dijadikan panutan dalam hal perlindungan, bimbingan, atau sekadar tempat bersandar saat merasa lelah secara emosional.
Akibatnya, mereka tidak benar-benar paham bagaimana rasanya dicintai dengan tulus oleh seorang pria (untuk anak perempuan) atau bagaimana seharusnya bersikap sebagai laki-laki yang penuh tanggung jawab (untuk anak laki-laki).
Bagi anak perempuan, ayah adalah cinta pertama mereka. Dari ayahlah mereka belajar bagaimana seorang laki-laki seharusnya memperlakukan perempuan.
Kalau sejak kecil mereka terbiasa mendapat perhatian, pujian, dan kasih sayang dari ayah, mereka tidak akan mudah terbuai oleh rayuan laki-laki sembarangan di luar sana.
Tapi kalau dari kecil mereka tidak pernah merasakan itu, bisa jadi mereka akan "haus" perhatian dan menganggap siapa saja yang memberi mereka sedikit saja kasih sayang sebagai sosok ideal, padahal belum tentu demikian.
Sementara itu, anak laki-laki yang tumbuh tanpa figur ayah bisa kehilangan arah dalam memahami tanggung jawab dan kepemimpinan dalam keluarga.
Mereka tidak punya contoh nyata bagaimana menjadi pria yang kuat secara emosional, sehingga saat menghadapi masalah dalam hubungan, mereka lebih cenderung menghindar atau bersikap dingin, karena tidak tahu harus bersikap seperti apa.
Anak yang fatherless sering kali kesulitan membedakan mana cinta yang sehat dan mana yang hanya manipulasi belaka. Karena tidak punya contoh bagaimana hubungan yang baik seharusnya berjalan, mereka bisa jadi lebih permisif terhadap perlakuan buruk dalam hubungan.
Misalnya, anak perempuan yang dari kecil tidak pernah merasakan kasih sayang ayah bisa saja menerima perlakuan kasar dari pasangannya, tetapi tetap bertahan dengan alasan "setidaknya ada yang peduli."
Mereka merasa bahwa sedikit perhatian jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali, meskipun perhatian itu datang dengan perlakuan buruk.
Begitu juga dengan anak laki-laki. Tanpa figur ayah yang memberi contoh bagaimana memperlakukan pasangan dengan baik, mereka bisa tumbuh menjadi orang yang tidak paham pentingnya respek dan komunikasi dalam hubungan.
Bisa jadi mereka menjadi pasangan yang otoriter, cuek, atau bahkan abusive karena tidak pernah belajar bagaimana cara membangun hubungan yang sehat.
Ada dua kemungkinan ekstrem yang sering terjadi pada anak fatherless saat menjalin hubungan, yaitu mereka bisa jadi terlalu bergantung pada pasangan atau justru terlalu takut untuk membuka diri dan mempercayai orang lain.
Anak yang haus kasih sayang bisa menjadi terlalu clingy dalam hubungan, selalu takut ditinggalkan, dan rela melakukan apa saja demi mempertahankan pasangannya.
Mereka merasa tidak cukup berharga kalau tidak ada seseorang yang mencintai mereka, sehingga sering kali mereka bertahan dalam hubungan yang tidak sehat hanya karena takut kesepian.
Sebaliknya, ada juga yang malah membangun tembok tinggi dan enggan membuka hati karena trauma masa lalu. Mereka takut terluka, takut dikhianati, dan akhirnya memilih untuk menjaga jarak dengan orang lain.
Bahkan ketika menemukan pasangan yang baik, mereka tetap sulit percaya dan merasa selalu ada ancaman di balik hubungan tersebut.
Kondisi ini membuat mereka kesulitan menjalin hubungan yang sehat dan seimbang. Padahal, hubungan yang baik itu butuh keseimbangan antara memberi dan menerima, antara kepercayaan dan kemandirian.
Tapi karena sejak kecil mereka tidak punya contoh nyata dari ayah tentang bagaimana hubungan yang sehat seharusnya berjalan, mereka harus belajar sendiri dengan cara trial and error—yang sering kali penuh luka dan kekecewaan.
Kalau bicara soal kasih sayang dalam keluarga, banyak yang masih berpikir bahwa tugas seorang ibu adalah memberikan cinta dan perhatian, sementara ayah cukup jadi pencari nafkah.
Padahal, kehadiran ayah dalam kehidupan anak itu sama pentingnya. Bukan hanya untuk urusan ekonomi, tapi juga dalam membentuk pemahaman anak tentang cinta dan hubungan yang sehat.
Seorang ayah adalah sosok pertama yang mengenalkan konsep kasih sayang kepada anak, terutama bagaimana cara memperlakukan dan diperlakukan oleh orang lain.
Kalau sejak kecil anak sudah terbiasa merasakan cinta yang tulus dari ayahnya, mereka tidak akan mudah salah paham soal cinta di kemudian hari.
Banyak pria yang berpikir bahwa menunjukkan kasih sayang ke anak, apalagi anak laki-laki, itu tidak perlu dilakukan secara eksplisit.
Takut dikira cengeng atau kurang macho. Padahal, justru dari ayah-lah anak belajar bagaimana mencintai dan menghargai orang lain.
Cara ayah menunjukkan kasih sayang itu tidak harus selalu lewat kata-kata manis. Bisa lewat:
Anak yang sering dipeluk dan disentuh dengan kasih sayang oleh ayahnya akan tumbuh dengan rasa aman secara emosional.
Ini penting banget, terutama untuk anak perempuan, agar mereka tidak mudah mencari validasi dari laki-laki lain ketika dewasa nanti.
Anak harus tahu bahwa mereka bisa ngobrol dengan ayahnya, bukan hanya soal prestasi di sekolah, tapi juga tentang perasaan, ketakutan, dan harapan mereka. Ayah yang mendengarkan akan membuat anak merasa dihargai.
Tidak harus yang besar, kok. Sesederhana hadir di acara sekolah anak, menemani mereka main, atau sekedar menanyakan "Gimana harimu?" itu sudah cukup membuat anak merasa dicintai.
Kalau anak tumbuh dalam keluarga di mana ayahnya cuek, dingin, atau bahkan tidak pernah kasih perhatian, mereka bisa tumbuh dengan anggapan bahwa kasih sayang itu bukan sesuatu yang perlu diekspresikan.
Ini yang bikin banyak pria dewasa sulit menunjukkan cinta ke pasangannya, dan banyak wanita yang selalu merasa insecure dalam hubungan karena tidak pernah yakin apakah mereka benar-benar dicintai atau tidak.
Salah satu tugas penting seorang ayah adalah menjadi contoh bagaimana seorang laki-laki harus memperlakukan perempuan (dan sebaliknya).
Ini bukan hanya berdampak pada cara anak memperlakukan pasangannya di masa depan, tapi juga membentuk standar mereka dalam memilih pasangan.
Seorang ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Dari cara ayah memperlakukan ibu, anak akan belajar bagaimana seharusnya seorang perempuan dihargai.
Kalau ayahnya penuh kasih sayang, bertanggung jawab, dan menghormati ibunya, anak akan tumbuh dengan standar hubungan yang sehat. Mereka tidak akan mudah terjebak dalam hubungan toxic, karena mereka tahu seperti apa bentuk cinta yang benar.
Sebaliknya, kalau ayahnya kasar, dingin, atau tidak peduli, anak perempuan bisa tumbuh dengan pemahaman yang salah tentang hubungan.
Mereka mungkin akan berpikir bahwa cinta itu selalu penuh penderitaan atau bahwa mendapatkan sedikit perhatian saja sudah cukup, meskipun dari orang yang salah.
Anak laki-laki belajar bagaimana menjadi pria yang baik dari ayahnya. Kalau seorang ayah memperlakukan istrinya dengan penuh hormat dan kasih sayang, anak laki-laki akan mencontoh hal itu dalam hubungannya nanti.
Sebaliknya, kalau ayahnya adalah sosok yang kasar, tidak peduli, atau bahkan sering merendahkan perempuan, anak laki-laki bisa tumbuh dengan sikap yang sama. Mereka bisa jadi pasangan yang dingin, tidak peka, atau bahkan abusive karena menganggap itu hal yang biasa.
Ayah yang terlibat dalam kehidupan anak bukan hanya sedang mengasuh mereka, tapi juga sedang membentuk mereka menjadi individu yang lebih baik.
Anak yang tumbuh dengan kasih sayang dari ayah akan lebih percaya diri, lebih stabil secara emosional, dan lebih mampu membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.
Ayah, jangan biarkan kesibukan dunia membuatmu kehilangan momen berharga bersama anak. Mereka adalah amanah yang harus dijaga dan dibimbing dengan sepenuh hati. Jadilah Ayah yang hadir secara fisik dan emosional dalam setiap langkah kehidupan mereka.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Dampak Fatherless: Ketika Anak Salah Mengartikan Cinta dan Kasih Sayang"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.