Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kabar mengenai temuan beberapa kasus keracunan dari program MBG (Makan Bergizi Gratis) cukup menyedihkan.
Berbagai pertanyaan bermunculan, dari rumitnya program MBG hingga kelanjutannya.
Pada kenyataannya program ini terus dilanjutkan dengan beragam catatan dan evaluasi berjalan.
Namun jika harus mengeluh, sebagai seorang ibu yang mencintai anak-anaknya tentu tidak mau kalau anaknya harus mengalami keracunan MBG. Tidak mau pula mendengar ada korban keracunan meskipun itu bukan anak sendiri.
Makanan yang dimasak secara masal pasti berisiko tinggi. Entah itu karena masalah bahan yang kurang higienis dan terpapar bahan berbahaya, atau dari teknik pengemasan yang kurang teliti karena dilakukan secara massal -- basi misal.
Bahkan tidak menutup kemungkinan karena yang masak memilih bahan yang paling sederhana (dalam artian paling murah -- kualitas juga buruk) karena harus menekan biaya sebisa mungkin demi mendapatkan keuntungan.
Atau, karena harus berhemat karena dana pembuatan MBG belum turun. Yang terakhir ini murni hanya sebatas mugkin dan misal.
Meskipun enak dan lezat bahkan katanya bergizi (meski dengan harga yang minim), MBG tidak selamanya disukai semua siswa karena mungkin dengan menunya yang itu-itu saja.
Padahal andai saja uang jatah makan itu dialokasikan untuk bapaknya kerja, mungkin akan bisa membuat jutaan dapur kembali ngebul.
Setiap ibu bisa membuat masakan buat anak-anaknya dengan menu yang disukai dan membuat anak lebih bisa makan lahap.
Meskipun tidak dibekal untuk makan siang, setidaknya anak-anak bisa sarapan penuh dengan makanan fresh yang dibuat oleh ibunya sendiri di rumah.
Jadi, cerita tentang keracunan MBG semestinya tidak akan ada lagi, karena makanannya dimasak oleh ibunya sendiri.
Akan tetapi mungkin ini akan terus menjadi khayalan ya. Program MBG akan tetap berjalan. Maka untuk meminimalisir keracunan MBG agar tidak sampai terjadi lagi, beberapa saran dari seorang ibu yang gak bisa masak dan bukan siapa-siapa ini, mungkin bisa menjadi solusi.
1. Sampaikan MBG Berupa Bahan Masakan kepada Orang Tuanya.
Orang yang tercatat memiliki anak sekolah didaftar untuk mendapatkan bantuan bahan makanan yang bisa diambil setiap dua hari sekali (misal) di warung-warung penyedia yang ditunjuk secara bergilir.
Warung ini pun harus menampung hasil pangan yang berasal dari hasil petani dan peternak lokal yang sudah dinyatakan layak oleh pihak berwenang untuk menjamin kebersihan, kesehatan bahan pangan yang dibagikan.
Agar lebih merata, pelaksana program harus membagi giliran pembelian bahan pangan kepada petani/peternak setiap musimnya, agar tidak terjadi kecemburuan sosial. Dengan syarat jika ingin kebagian giliran, maka harus meningkatkan kualitas pangan yang dikelola.
Misal, untuk MBG bulan Januari, membeli kentang dari petani A, membeli ayam dari peternak B, dan bahan lain dari para petani/peternak lain.
Bulan berikutnya harus gantian, giliran petani B yang menjual hasil kentangnya dan peternak C yang menjual hasil ternaknya. Dengan catatan, dibeli dengan harga layak.
Selain mendukung program MBG, ini juga bisa berimbas pada peningkatan ekonomi rakyat/masyarakat setempat.
Para petani dan peternak lebih semangat dan lebih sejahtera karena mereka memiliki pasar yang jelas -- dibeli oleh pemerintah dan disalurkan pada orang lain yang notabene adalah para tetangganya sendiri.
Jadi, tidak ada tangan perantara, bahan makanan langsung dari petani/peternak dan dikonsumsi dimasak sendiri di setiap rumah. Selain anaknya bisa makan, seluruh anggota keluarga bisa kebagian.
2. Tugaskan Sekolah untuk Menyelenggarakan MBG Secara Langsung
Mungkin ini berat. Karena sekolah harus memiliki dapur umum yang memadai dan tenaga yang banyak untuk menyelesaikan masakan. Meskipun nyatanya sistem ini banyak dilakukan oleh pesantren.
Mereka memiliki dapur dan para tenaga kerja yang berperan sebagai juru masak. Makanan diproses setiap hari dan makan dalam keadaan hangat dengan sistem parasmanan.
Bagi sebagian sekolah mungkin masih terkesan ribet dan rumit karena belum terbiasa.
Namun dengan begini, kiranya dapat meminimalisir "pemangkasan" dana MBG karena dana turun sejumlah siswa yang tercatat di data dapodik dikalikan dengan nominal jatah siswa per porsi makan. Menu makan bisa dibuat secara maksimal. Bergizi juga kenyang.
Jika misal harus memilih jasa catering khusus, maka sekolah harus memastikan bahwa pihak yang diajak kerja sama adalah pihak yang bertanggung jawab. Sekolah wajib memiliki badan (bagian yang bertugas khusus) untuk mengawasi penyediaan MBG.
Namun dengan begini sekolah pun bisa memiliki banyak alternatif pilihan yang bisa memungkinkan menu yang lebih bervariasi.
Kalau ingin menjadwal menu sehat setiap harinya (lewat catering khusus atau tenaga kerja sekolah yang diberi tugas masak) atau sesekali pesan ke resto terpercaya yang sanggup menyediakan menu sejumlah siswa.
Makanan disajikan hangat dan fresh setiap harinya dengan bahan yang sehat dan higienis. Tidak lupa perjanjian tanggung jawab kedua belah pihak (sekolah dan pihak ketiga) yang dibuat dalam dokumen berkekuatan hukum.
Sekolah pun harus bertanggung jawab kepada penyalur dana (pemerintah) dan kepada anak dan orang tua sebagai penerima program.
Jika ada kelalaian dan kesalahan yang mengakibatkan terancamnya keselamatan siswa dari program ini, Kepala sekolah harus menerima konsekuensi yang sepadan.
Dengan demikian ketika ada kelalaian, maka tidak akan sukar menelusuri, tindakan dan sanksinya pun jelas. Tidak seperti sekarang, bayaran lambat, yang mengerjakan mungkin sebagian ada yang asal-asalan.
Belum lagi disinyalir ada pemangkasan anggaran yang bikin menu semakin minim. Akibatnya makanan yang disampaikan kepada anak-anak kurang berkualitas.
Ah, tapi ini seperti khayalan ya. Penulis hanya terus berharap jika program ini terus dilakukan, maka evaluasi di segala bidang kiranya terus dilakukan demi sistem yang jauh lebih baik.
Kasihan kan anak-anak. Jangan lagi ada korban. Mari kawal.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "MBG Tidak akan Keracunan Jika Dimasak oleh Ibu Sendiri"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.