
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Tetapi, rasanya itu bukan salah paham. Sepertinya mas kasir tersebut tidak fokus mendengarkan dan mungkin hanya mengikuti kebiasaan yang sering dia hadapi. Maka jawabannya pun template saja sesuai kata yang paling cepat terdeteksi.
Jika begitu, apa bedanya dengan robot tak pintar yang hanya mendeteksi kata, mengenalinya, dan kemudian mengaitkannya dengan persediaan jawaban yang ada, tanpa memikirkan kembali nyambung atau tidaknya antara pertanyaan dan jawaban.
Lain waktu saya mendengar percakapan antara dua orang. Yang satu sedang menceritakan sesuatu, dan kemudian lawan bicaranya dengan tanpa rasa bersalah menimpali, "Kamu kena sindrom narsistik!"
Dalam hati saya membatin,"Koq gak nyambung?!!" Segitu mudahkah menentukan seseorang terkena sindrom tertentu???
Betapa seringnya pula orang memotong omongan orang lain tanpa berusaha mendengarkan untuk mengerti maksud dari sebuah kalimat. Segitu mindernya orang di jaman digital ini, sehingga harus berlomba menjadi orang yang "terlihat" paling tahu.
Tanpa sadar, model "live communication" atau komunikasi langsung tanpa text sekarang ini, menjadi sesuatu yang sulit karena kemampuan kebanyakan orang untuk mendengarkan semakin berkurang.
Mungkin lebih nyambung bicara lewat text, entah itu via WA, email, tulisan-tulisan di media sosial, video-video content, dsj. Entahlah!
Seharusnya bermedia sosial juga perlu bertanggung jawab dengan isi yang dibagikan. Daripada sekedar ikut-ikutan dengan pencapaian zaman now, semisal pencapaian jumlah follower sekian juta atau sekian milyar, ada baiknya berpikir juga mengenai konten yang membangun dan menginspirasi.
Era digital bukan sekadar algoritma yang diberlakukan oleh platform-platform online yang banyak dipakai masyarakat.
Tetapi, saya rasa, juga perlu tanggung jawab pribadi untuk menjaga diri masing-masing dan orang lain untuk tetap "normal" selayaknya mahluk sosial yang perlu saling mengerti satu sama lain dengan cara saling berbicara, mendengarkan, dan memahami.
Rendah hati masih perlu di era digital ini. Sehingga tidak perlu panik saat tidak mengetahui sesuatu. Justru, dengan demikian kita bisa mengingat siapa orang dalam lingkaran kita yang dapat diandalkan dalam hal yang sedang kita butuhkan.
Sementara kita sendiri tetap bersinar dengan kemampuan diri kita sendiri, yang tidak setengah-setengah.
Mari sama-sama mencegah brain rot!
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Efek Digital Dalam Hal Berkomunikasi"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang