
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dewasa ini, ketika saluran komunikasi terbuka untuk semua orang, kita lebih sering menjumpai orang-orang seakan tahu segala hal.
Apa saja dibahas dan diperbincangkan, tetapi ketika tahu aslinya justru tidak tahu apa-apa alias sok tahu.
Ya, dunia digital memfasilitasi itu, tetapi kita juga mesti sadari bahwa kemampuan tiap orang dalam memproses informasi berbeda-beda.
Belum lagi jika informasi yang didapat baru sepotong-potong agar ingin terlihat keren di mata orang lain. Ingat, tahu saja tanpa mengerti yang diomongkan bisa bahaya.
Padahal tidak serba-tahu-segala-hal itu tidak masalah. Kemudian, kita juga tidak mesti jadi ahli dalam segala bidang.
Biarkan saja ahli yang berbicara lebih banyak dalam bidangnya, sedangkan kita yang bukan ahli cukup buka pikiran saja, menerima informasi untuk mengerti sesuatu hal, tanpa perlu berusaha menjadi ahli juga.
Selain berasa tahu segala macam, efek digital juga sepertinya mengurangi kemampuan mendengarkan yang berefek pada miscommunication.
Sebagai contoh, percakapan saya dengan seorang kasir, ketika saya hendak membayar belanjaan dan sekalian menukar uang di sebuah warung baso.
Mas, saya mau bayar pake QRIS, tapi saya juga mau nuker uang lima puluh ribuan. Boleh?
Mas kasir malah menjawab begini, "Kalau mau ambil cash cuma bisa sepuluh ribu saja! Jadi ditambahkan ke jumlah pembayaran. Totalnya jadi 75 ribu".
Saya yang gak ngeh balik bertanya,"Maksudnya gimana?"
Dia pun mengulang kembali jawabannya.
Saya menjawab balik, "Err...maksud saya, saya mau bayar basonya pake QRIS, tapi saya butuh uang kecil, jadi saya mau nuker uang 50 ribuan. Bisa?"
Si mas malah mengulang lagi jawaban yang sama, untuk ketiga kalinya. Padahal rasanya saya bicara menggunakan bahasa Indonesia yang sederhana. Bukan menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing yang tidak umum.
Setelah dibantu temannya yang dari tadi berdiri melongo sambil memegang bungkusan baso pesanan saya, dan saya juga mencoba memilah omongan saya jadi dua bagian antara membayar belanjaan dan menukar uang, barulah komunikasi berjalan lancar. Pada akhirnya, kami semua tertawa menyadari kesalahpahaman tersebut.
Tetapi, rasanya itu bukan salah paham. Sepertinya mas kasir tersebut tidak fokus mendengarkan dan mungkin hanya mengikuti kebiasaan yang sering dia hadapi. Maka jawabannya pun template saja sesuai kata yang paling cepat terdeteksi.
Jika begitu, apa bedanya dengan robot tak pintar yang hanya mendeteksi kata, mengenalinya, dan kemudian mengaitkannya dengan persediaan jawaban yang ada, tanpa memikirkan kembali nyambung atau tidaknya antara pertanyaan dan jawaban.
Lain waktu saya mendengar percakapan antara dua orang. Yang satu sedang menceritakan sesuatu, dan kemudian lawan bicaranya dengan tanpa rasa bersalah menimpali, "Kamu kena sindrom narsistik!"
Dalam hati saya membatin,"Koq gak nyambung?!!" Segitu mudahkah menentukan seseorang terkena sindrom tertentu???
Betapa seringnya pula orang memotong omongan orang lain tanpa berusaha mendengarkan untuk mengerti maksud dari sebuah kalimat. Segitu mindernya orang di jaman digital ini, sehingga harus berlomba menjadi orang yang "terlihat" paling tahu.
Tanpa sadar, model "live communication" atau komunikasi langsung tanpa text sekarang ini, menjadi sesuatu yang sulit karena kemampuan kebanyakan orang untuk mendengarkan semakin berkurang.
Mungkin lebih nyambung bicara lewat text, entah itu via WA, email, tulisan-tulisan di media sosial, video-video content, dsj. Entahlah!
Seharusnya bermedia sosial juga perlu bertanggung jawab dengan isi yang dibagikan. Daripada sekedar ikut-ikutan dengan pencapaian zaman now, semisal pencapaian jumlah follower sekian juta atau sekian milyar, ada baiknya berpikir juga mengenai konten yang membangun dan menginspirasi.
Era digital bukan sekadar algoritma yang diberlakukan oleh platform-platform online yang banyak dipakai masyarakat.
Tetapi, saya rasa, juga perlu tanggung jawab pribadi untuk menjaga diri masing-masing dan orang lain untuk tetap "normal" selayaknya mahluk sosial yang perlu saling mengerti satu sama lain dengan cara saling berbicara, mendengarkan, dan memahami.
Rendah hati masih perlu di era digital ini. Sehingga tidak perlu panik saat tidak mengetahui sesuatu. Justru, dengan demikian kita bisa mengingat siapa orang dalam lingkaran kita yang dapat diandalkan dalam hal yang sedang kita butuhkan.
Sementara kita sendiri tetap bersinar dengan kemampuan diri kita sendiri, yang tidak setengah-setengah.
Mari sama-sama mencegah brain rot!
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Efek Digital Dalam Hal Berkomunikasi"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang