
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sejak momen itu, bayangannya selalu mengikuti kemanapun saya melangkah. Hati tak tenang, gundah gulana, merana karena rindu yang tak berkesudahan. Sampai akhirnya saya memberanikan diri berkata, “Yuk nikah!”
Nunggu Apa?
Sayangnya, si dia menolak permintaan saya untuk menikah. Namun tak jadi masalah bagi saya saat itu.
Ngomong-ngomong sebelum saya putuskan untuk mengajak nikah, tentu saja sudah melalui berbagai proses pengamatan yang saya lakukan. Mulai dari mode investigasi teman terdekat, sampai coba-coba cari alamat rumah si dia dengan diam-diam.
Dari A sampai Z teman terdekatnya saya tanyai untuk mengetahui bagaimana kepribadiannya, dan saya pikir dia adalah perempuan paling tepat untuk saya nikahi.
Meski harus bergerilya, curi-curi informasi dari berbagai sumber, semangat saya luar biasa. Justru dari berbagai teman inilah saya semakin yakin bahwa ini adalah labuhan terakhir cinta saya. Cieee.
Hingga akhirnya saya memberanikan diri menyatakan siap untuk menikah. Memang agak ekstrem, tapi saya pikir ini keputusan terbaik, walaupun sempat terjeda beberapa saat untuk benar-benar duduk di pelaminan setelah penolakan pertama.
Setidaknya, PDKT modal nekat ini terasa lebih jantan, serius, dan melegakan. Saya tak perlu lagi menelan penasaran bulat-bulat yang bisa membuat hati selalu gundah. Saya juga tak perlu lagi bimbang diterima atau tidak, sebab jawaban apapun darinya sudah cukup jadi obat penasaran.
Dan terus terang, sikap ini terasa lebih manly , dalam arti berani, tegas, dan bertanggung jawab. Tidak ada drama ghosting-ghostingan, tidak tarik ulur. Serius ya serius. Bukan untuk main-main, bukan untuk sekadar mampir. PDKT modal nekat itu all in, semua cinta dan niat saya taruh di situ.
Anak muda, percayalah, tidak ada yang lebih melegakan daripada jujur pada perasaan sendiri. Itu pengalaman saya hampir dua dasawarsa lalu, ketika akhirnya memberanikan diri menyatakan cinta pada pujaan hati yang kini telah menjadi sigaran nyowo (belahan hidup/ istri) saya.
Kalau waktu itu saya memilih diam dan menunggu tanpa kepastian, mungkin saya masih akan terjebak dalam rindu yang tak pernah terbalas. Tapi keberanian untuk melangkah justru membuka jalan menuju kebahagiaan yang saya rasakan sekarang.
Jadi, jangan biarkan keraguan menahan langkahmu. Kalau memang serius, nunggu apa lagi? Mau PDKT model bagaimana lagi?
Kita ini berkejaran dengan umur, juga dengan para pesaing yang bisa saja lebih dulu datang. Dan bukankah PDKT modal nekat, sampai berani ngajak nikah, adalah cara terbaik untuk menjaga iman kita bersama? Berani nggak kamu?
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "PDKT Modal Nekat"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang