Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fransisca Dafrosa
Penulis di Kompasiana

Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Mencari Batas antara Teguran dan Kekerasan di Sekolah

Kompas.com - 31/10/2025, 08:19 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Menegur dengan tegas dianggap kekerasan.
Menegur dengan lembut dianggap tidak berwibawa.

Sebenarnya sampai di mana batas antara “menegur untuk mendidik” dan “bertindak yang melukai”? Di ruang kelas yang mestinya menjadi tempat tumbuh, batas itu kini terasa semakin kabur.

Belakangan, publik kembali dihebohkan oleh video viral seorang kepala sekolah yang dianggap menampar siswanya.

Dalam klarifikasinya, sang kepala sekolah mengaku sempat “memukul pelan” karena menahan emosi saat menegur siswa yang kedapatan merokok.

Peristiwa itu seketika menyebar di media sosial, menimbulkan perdebatan panjang: apakah itu bentuk kedisiplinan, atau sudah termasuk kekerasan?

Kini, guru hidup di masa yang serba rumit. Mereka dituntut tegas tanpa kehilangan empati, mendidik tanpa menyinggung perasaan, dan menjaga wibawa di tengah generasi yang tumbuh di dunia digital — cepat tersulut, cepat pula menyebar. Satu rekaman singkat bisa mengubah ruang kelas menjadi ruang sidang publik.

Dari Rotan ke Restorasi

Generasi 1990-an mungkin masih ingat masa ketika cubitan, rotan, atau hukuman berdiri dianggap bagian dari proses mendidik.

Namun zaman berubah. Paradigma baru pendidikan kini mendorong penerapan Disiplin Positif — pendekatan yang menekankan dialog, refleksi, dan tanggung jawab tanpa kekerasan fisik.

Psikolog anak Seto Mulyadi berulang kali mengingatkan, menegur boleh, asal tidak mempermalukan. Teguran seharusnya menyadarkan, bukan melukai.

Beberapa sekolah mulai menerapkan restorative circle, sebuah forum duduk bersama antara guru, murid, dan orangtua untuk mencari solusi tanpa hukuman fisik.

Meski masih terbatas, pendekatan ini memberi harapan bahwa disiplin bisa tetap ditegakkan tanpa meninggalkan rasa kemanusiaan.

Namun perubahan tak semudah teori. Guru di sekolah negeri menghadapi kelas besar, administrasi menumpuk, dan ekspektasi sosial yang tinggi. Dalam tekanan itu, menjaga emosi bukan hal mudah.

Antara Tegas dan Viral

“Dulu murid takut salah, sekarang guru takut viral.” Kalimat ini mungkin terdengar satir, tapi menggambarkan realitas pendidikan hari ini.

Relasi guru dan siswa kini lebih cair, bahkan kadang tanpa batas. Teguran keras yang dulu dianggap wajar, kini bisa berujung laporan. Sebaliknya, guru yang terlalu lembut dituding tidak punya wibawa.

Kondisi ini membuat banyak guru berjalan di atas garis tipis — mencoba menegakkan disiplin sambil menahan diri dari kesalahpahaman.

Satu gestur bisa disalahartikan, satu kalimat bisa dipotong lalu menyebar di dunia maya tanpa konteks.

Krisis Kepercayaan di Sekolah

Kasus SMAN 1 Cimarga di Lebak, Banten, menjadi contoh nyata. Aksi mogok 630 siswanya bukan sekadar bentuk protes, tapi cermin dari krisis komunikasi dan kepercayaan antara sekolah dan murid.

Remaja masa kini hidup di dunia yang sangat visual dan reaktif. Mereka lebih percaya pada video pendek di media sosial daripada klarifikasi resmi.

Saat sekolah gagal menjelaskan dengan cepat dan terbuka, ruang kosong itu diisi oleh rumor dan emosi.

Konflik seperti ini menunjukkan bahwa masalah di sekolah modern tak lagi sebatas urusan disiplin. Ini tentang bagaimana otoritas beradaptasi menghadapi publik digital.

Peran Orangtua di Tengah Kebingungan

Di tengah situasi sensitif seperti ini, orangtua memegang peran penting. Banyak kasus membesar bukan karena kekerasannya berat, tapi karena emosi yang lebih cepat menyebar dibanding dialog.

Sebelum membawa masalah ke media sosial atau ranah hukum, orangtua sebaiknya mendengar dua sisi cerita.

Sekolah pun perlu membuka diri, menjadi ruang diskusi, bukan benteng yang defensif. Di situlah disiplin bisa tumbuh — bukan dari rasa takut, tapi dari saling percaya.

Menegakkan Disiplin dengan Empati

Bisakah sekolah menegakkan disiplin tanpa kekerasan? Bisa, asal mau berubah. Perubahan itu dimulai dari cara berbicara, cara mendengarkan, dan cara memahami.

Kini, banyak guru belajar menahan nada suara, memilih kata dengan hati-hati. Bukan karena takut viral, tetapi karena sadar: kata-kata bisa membekas lebih lama daripada hukuman fisik.

Orangtua pun sedang beradaptasi. Mereka ingin anak dihargai, tapi juga disiplin. Mereka marah ketika anak ditegur, tapi khawatir ketika anak tumbuh tanpa batas. Kita semua, pada dasarnya, sedang belajar menyeimbangkan kasih sayang dan ketegasan.

Sekolah yang Memanusiakan

Sekolah seharusnya menjadi tempat tumbuh, bukan arena saling tuding. Guru juga manusia yang sedang belajar memahami generasi baru, sama seperti murid yang sedang belajar memahami dunia.

Kasus Cimarga memberi pengingat bahwa kita butuh batas yang jelas antara teguran dan kekerasan, antara wibawa dan arogansi, antara mendidik dan melukai.

Disiplin tidak harus keras, dan empati tidak berarti lemah. Karena sejatinya, pendidikan bukan soal siapa yang salah — melainkan siapa yang mau terus belajar menjadi lebih baik: guru, murid, maupun orangtua.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Antara Teguran dan Kekerasan, di Mana Batas Disiplin Sekolah?"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau