Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sukses dan meriahnya Pemilu 2024 tak hanya meninggalkan kegembiraan, namun juga duka yang mendalam. Satu aspek yang memilukan adalah kehilangan nyawa dari para petugas Pemilu 2024 yang dengan tulus menjaga demokrasi kita di tingkat paling dasar.
Berdasarkan data yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dalam jumpa pers hari Jumat (23/2/2024) dilansir dari KOMPAS.com, tercatat 90 petugas pemilu 2024 telah meninggal dunia. Dari angka tersebut, 60 di antaranya merupakan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), sementara 30 di antaranya adalah petugas ketertiban TPS.
Karena itu, sangat penting bagi penyelenggara pemilu untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan kajian mendalam guna mengurangi risiko kematian petugas pemilu di masa mendatang.
Berikut adalah beberapa aspek yang perlu diperhatikan, semoga dapat menjadi panduan bagi penyelenggara pemilu dalam melakukan kajian dan mitigasi risiko.
Dalam melaksanakan evaluasi risiko kematian petugas Pemilu 2024, perlu dipahami dengan lebih cermat sebaran usia dan penyebab kematian. Berdasarkan keterangan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi terungkap bahwa sebagian besar petugas yang meninggal memiliki usia di atas 40 tahun.
Oleh karena itu, revisi terhadap persyaratan teknis anggota KPPS menjadi langkah yang perlu dipertimbangkan, terutama terkait dengan batasan usia maksimum.
Dalam persyaratan saat ini, calon petugas KPPS harus berusia antara 17 hingga 55 tahun. Mengingat bahwa 2/3 dari petugas yang meninggal berusia di atas 40 tahun, penurunan batas usia maksimum menjadi 40 tahun dapat menjadi solusi. Meskipun risiko kematian tidak selalu berkaitan dengan usia, penurunan fungsi biologis organ tubuh seiring bertambahnya usia dapat memperbesar risiko kesehatan.
Langkah ini juga berhubungan dengan kesehatan petugas Pemilu 2024 yang tidak hanya dipengaruhi oleh kelelahan fisik semata, tetapi juga oleh riwayat penyakit bawaan seperti jantung, hipertensi, sesak napas, asma, dan lainnya.
Pada tahap pendaftaran, calon petugas KPPS diharuskan menyertakan surat keterangan sehat dari instansi kesehatan setempat. Namun, seringkali surat tersebut dianggap sebagai formalitas semata, tanpa melibatkan pemeriksaan kesehatan yang lebih mendalam selama seleksi petugas KPPS. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan apakah pemeriksaan kesehatan rutin dapat diintegrasikan dalam proses seleksi petugas KPPS.
Selain aspek kesehatan, pertimbangan terhadap penurunan batas usia maksimum juga memberikan peluang kepada generasi muda, seperti Gen Z dan milenial, untuk berperan aktif dalam Pemilu.
Pemilihan umum serentak, dengan pemilihan presiden dan wakil presiden bersamaan dengan pemilihan legislatif, telah meningkatkan beban kerja petugas KPPS. Dalam beberapa kasus, penghitungan suara dapat berlanjut hingga larut malam, bahkan pagi hari berikutnya.
Imajinasikanlah, dengan kehadiran pemilih mencapai 200-250 orang per Tempat Pemungutan Suara (TPS), setidaknya terdapat 1000-1250 surat suara yang harus dihitung dengan teliti. Selain itu, tugas administratif seperti rekapitulasi formulir C-1, memastikan kesiapan surat suara untuk tahap berikutnya, hingga penandatanganan berkas untuk menandai berakhirnya pemungutan suara di TPS, semuanya menambah beban kerja yang padat.
Melihat kondisi ini, konsep Pemilu 2014 yang memisahkan pemilihan umum presiden dan wakil presiden dari pemilu legislatif dapat dipertimbangkan kembali. Dengan cara ini, beban kerja dapat dibagi menjadi dua, dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden diselenggarakan bersamaan dengan pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sementara pemilu legislatif diselenggarakan secara terpisah.
Dari segi psikologis, pemisahan ini dapat memiliki dampak positif pada pemilih. Mereka akan memiliki waktu yang cukup untuk mengenal calon-calon yang akan mereka pilih, mengurangi risiko pemilihan sembarangan. Selain itu, partai politik dan calon juga dapat memaksimalkan kampanye dan sosialisasi.
Tentu saja, urutan pelaksanaan pemilihan, apakah pemilu legislatif atau presiden dan wakil presiden yang diadakan lebih dulu, dapat disesuaikan sesuai dengan pertimbangan tertentu.